Oleh: Anselmus D Atasoge
Agama lahir dalam ruang dan waktu tertentu dengan segala konteksnya yakni historisitas yang berkaitan erat dengan sosio-kultur, sosio-politiknya, dengan karakteristiknya yang unik-khas.
Pada mulanya, ia lahir dari intuisi awal seorang manusia yang memiliki ‘bakat religius’ yang istimewa yang kemudian dipandang sebagai pendiri agama. Ia pun hidup sesuai gagasan dan cita-cita-idealisme tokoh utama yang menjadi inspirator sekaligus pendirinya. Isi intuisinya adalah karakter universum sebagai sebuah keharmonisan dan solidaritas bersama. Isi intuisi pendiri agama itu selanjutnya diperkaya oleh berbagai pengalaman dan interpretasi para pengikut dan penganutnya. Dalam perjalanannya, ia pun dikembangkan oleh para penganutnya sesuai konteks dan dinamika kehidupan para penganut-pengembannya.
Dari bakat religiusnya yang mendapat ilham dari Allah sendiri, dia mengajarkan kepada pengikutnya tentang hukum-hukum kebaikan yang mengantar manusia menuju keselamatan. Dalam aras pemikiran ini, agama kemudian dipandang sebagai sebuah himpunan ajaran yang diwujudkan dalam hukum dan sikap hidup manusia. Hukum dan sikap hidup itu mengarahkan manusia menuju keteraturan. Karena itu, dapatlah dikatakan bahwa agama merupakan sebuah institusi keteraturan. Ia menawarkan kepada manusia sikap-sikap ideal yang menyingkapkan bagaimana keharmonisan dan solidaritas semesta dapat diwujudkan. Melalui ajarannya yang diwujudnyatakan oleh para pemeluknya, manusia-manusia dibantu untuk mewujudkan kemungkinan-kemungkinannya sendiri untuk mewujudkan keharmonisan dan solidaritas tersebut.
Ketika menyebar ke segala penjuru, ia berjumpa dengan ruang dan waktu ‘yang baru’. Ia tidak hadir di dalam ruang dan waktu yang hampa. Ia berjumpa dengan sekian banyak ‘model-model kepercayaan’ yang telah dihidupi oleh manusia di ruang yang baru ia jumpai. Di sana ada kepercayaan-kepercayaan lokal, di sana ada pula agama-agama lain yang telah mendahului kehadirannya. Perjumpaan-perjumpaannya dengan ‘yang lain yang sudah ada’ di ruang yang sama bisa saja melahirkan tiga dinamika utama yakni benturan, akomodasi dan hibriditas.
Dari posisinya, ia bisa memandang ‘yang lain’ sebagai yang ketinggalan bahkan dipandang sebagai ‘kafir’ ketika ditilik dari paradigmanya yang mungkin memandang agama sebagai yang memiliki kitab suci, nabi, doktrin ketuhanan yang maha esa dan mendapat pengakuan internasional. Ia bisa juga menganggap yang lain salah dan sesat serta mengklaim bahwa kebenaran (truth claim) hanya dimilikinya. Karena menganggap yang lain salah dan sesat, maka muncullah aksi proselytization yakni usaha mengkonversi orang yang dianggap sesat ke dalam pangkuannya.
Di sisi lain, bisa juga terjadi bahwa perjumpaan itu merupakan sebuah perjumpaan akomodatif. Dalam diskursus ini, akomodasi dipandang sebagai pertemuan saling mengisi dan tidak saling menjatuhkan. Agama dunia, misalnya, diterima namun di sisi lain substansi seperti kepercayaan terhadap leluhur tetap dijaga. Sekedar contoh, meski telah mengafiliasikan diri ke dalam salah satu agama dunia seperti Katolik dan Islam, namun agama leluhur Lamaholot masih juga dihidupi oleh kelompok suku tertentu atau lewo (kampung tertentu) di Flores Timur.
Perjumpaan juga melahirkan apa yang disebut gejalah hibriditas. Hibriditas artinya menerima agama tapi separuhnya saja, sisanya tradisi-budaya-agama setempat. Sekedar contoh, agama dunia yang tiba dan telah dihidupi penganutnya di bumi Lamaholot ‘dibawa-masuk’ ke dalam konteks budaya Lamaholot ataupula membawa agama leluhur khususnya dan budaya pada umumnya ke dalam konteks agama dunia. Di sini nampak fenomena kontekstualisasi agama dunia atau Lamaholotisasi Katolik dan Islam.
Kontaminasi sosial (perjumpaan yang terus-menerus) antara agama dunia dan agama leluhur Lamaholot berdampak pada hibriditas koeksistensial antara keduanya. Kontaminasi sosial semacam ini disebabkan oleh ada perjumpaan yang terus-menerus di mana di dalam perjumpaan tersebut agama dunia dan agama leluhur ‘saling berbicara’ satu sama lain, saling berinteraksi, saling memberi dan menerima sehingga terjalinlah relasi komprehensif yang mengarah kepada kesaling-pengaruhan satu terhadap yang lain dan melahirkan sebuah ekspresi keagamaan baru.
Ketika ia masuk dalam konteks waktu yang berbeda, maka ia tak serta-merta menghadirkan begitu saja konteks waktu yang mengitarinya pada saat kelahirannya. Ia sudah pasti berjumpa pula dengan konteks waktu ‘kekinian’ saat ia mendarat dan ‘kekinian’ yang terus berjalan bersamanya. Isi intuisi pendiri dan pengembannya saat itu mesti ‘dibaca-ulang’ untuk waktu kekinian. Pembacaan ulang tidak bermaksud ‘menjungkir-balikkan’ isi intuisi yang berkarakter universum sebagai sebuah keharmonisan dan solidaritas melainkan ‘membumikannya’ sesuai permasalahan kehidupan kekinian.
Ketika membaca konteks permasalahan kehidupan masa kini dari sudut pandang agama, Fazlur Rahman, seorang pemikir Islam asal Pakistan yang dikategorikan sebagai pemikir neomodernis, menyarankan agar pembaca permasalahan tersebut hendaknya mengambil nilai dan pelajaran dari kitab suci. Saran Rahman mengandung arti bahwa sebelum melakukan refleksi nilai yang termaktub dalam kitab suci Alquran, misalnya, seseorang harus mempelajari bagaimana konteks sosio-historis ayat-ayat di dalam Alquran. Melaluinya, seseorang akan menemukan pesan moralnya. Bertolak dari pesan moral itulah, seseorag kembali memikirkan persoalan yang dihadapi dunia masa kini dan menghadirkan solusi atasnya.
Tariq Ramadan, seorang pemikir Islam asal Swiss, memperjelas gagasan Rahman. Baginya, segala kompleksitas yang dihadapi masa kini harus dirinci dengan jelas dan tegas ketika setiap pembaca al-Qur’an berhadapan dengan distansi sosio-kultural-politik, kebahasaan, psikologi sosial dan historis. Menurutnya, pelbagai pesan global yang termaktub dalam ajaran Islam tersembunyi di balik kerumitan keilmuan yang harus dipecahkan secara utuh, komprehensif dan integral. Karena itu, baginya, hanya dengan menguasai bahasa Arab, mustahil seseorang bisa memahami Islam seutuhnya.
Kitab Suci kaum kristiani dan muslim, Alkitab dan Alquran, mengandung arti dan makna yang mendalam bagi para beriman pemiliknya. Bagi orang Katolik, Alkitab merupakan pedoman hidup. Demikian pula bagi orang Islam, Alquran merupakan petunjuk hidup. Namun, ada persoalan yang bisa muncul di sana ketika kedua sumber hidup dan petunjuk hidup ini tidak dengan ‘terang’ memberikan jalan bagi pedoman dan petunjuk hidup itu. Ada bagian-bagian yang interpretable atau yang belum jelas arti dan maknanya. Atau, ada kemungkinan bahwa arti dan maknanya yang asli tidak sesuai lagi dengan konteks kehidupan manusia zaman sekarang sehingga dibutuhkan upaya reinterpretasi.
Di lain pihak, perlu diterima juga kesadaran bahwa teks tertulis memiliki kemungkinan keterbukaan akan pluralitas makna. Di titik ini, teks-teks suci itu memerlukan ‘jalan-jalan, cara’ untuk bisa memahaminya. Arti dan makna perlu dieksegesekan (ditarik keluar) agar menjadi terang. Sepanjang sejarah kedua agama besar ini, lahirlah sejumlah ‘jalan-cara’ untuk memahami arti dan makna Kitab Sucinya. Di dunia keilmuan keislaman dapat dijumpai pelbagai metode dan pendekatan yang muncul di antaranya tafsir bahasa, fikih, filsafat, tasauf dan sosiologi kemasyarakatan.
Sementara di dunia Katolikpun pun ditemui hal yang sama. Metode dan pendekatan yang digunakan antara lain metode historis-kritis, analisis literer (retoris, naratif, semiotik), juga ada pendekatan tradisi (kanonik dan sejarah pengaruh teks/wirkungsgeschicte), pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu manusia (sosiologis, antropologi budaya, psikologis dan psikoanalisis) dan pendekatan-pendekatan kontekstual (liberasionis, feminis). Hemat saya, di titik ini dibutuhkan jalan-cara modern yang dipakai untuk ‘menarik keluar’ arti dan makna agama-agama termasuk teks-teks Kitab Sucinya, ketika seseorang hendak menggunakannya sebagai sumber dan inspirasi dalam memecahkan persoalan-persoalan kehidupan zaman sekarang. Salah satu jalan adalah apa yang hermeneutika Kitab Suci.
Dalam pandangan Abdullah Saeed, seorang pemikir Islam dari Universitas Melbourne Australia, untuk sampai pada manifestasinya yang utuh, setiap manusia beragama perlu menginterpretasikan ajaran-ajaran agama. Di titik ini, hermeneutika dibutuhkan. Tekanan Saeed ialah agama senantiasa diejawantahkan menurut paradigma sosio-kultural masing-masing kaum beriman, sesuai dengan lingkungan sekitarnya yang mustahil diseragamkan.