Oleh: Anselmus D. Atasoge
Segenap umat beriman dari aneka agama besar meyakini Allah yang disembah dan diagungkan sebagai yang Mahabesar (Akbar), tetapi juga serentak Mahadekat (Akrab). Allah yang akbar juga ‘akrab’ dengan semua umat yang mengimaniNya, dan serentak pula meng-akrab-kan semua umat beriman yang beraneka-ragam (P.Tule, 2003). Karenanya, semua agama mengajarkan dan mengajak umat berimannya agar ‘akrab’ dengan sesama penganut agama lain, ‘akrab’ pula dengan lingkungan sekitar, dan ‘akrab’ dengan nilai-nilai budaya dan masyarakatnya yang beraneka wajah.
Sejatinya, agama membuat bangsa manusia merasa bersaudara dan sama-sama saling mengajak untuk menciptakan kebaikan bersama dalam semangat perdamaian dan keadilan. Meski setiap agama mengajarkan tentang ‘kebaikan bersama’ selalu akan ada kemungkinan bahwa masyarakat beragama jatuh ke dalam salah satu kerkah seismik yang memotong putus dunia (Jean-Jaques Pèrennès, 2008) dalam pecahan-pecahan: Aku-Engkau (Kristen-Islam; Islam-Non-Islam) dengan kepentingannya masing-masing (Karel Steenbrink, 2004).
Kelly James Clark (2014) menarasikan situasi awali tentang tiga agama Abraham (Yahudi, Kristen, Islam) terkait agama dan kekerasan yang jatuh dalam kerkah seismik seperti itu. Secara singkat, narasi Clark hendak mengatakan beberapa hal berikut ini. Pertama, bangsa Israel yang dahulunya pernah ditindas di tanah mereka dan dipaksa ‘merantau’ ke tanah pembuangan pada akhirnya setelah kembali dari tanah pembuangan ‘melahirkan kembali’ aksi penindasan kepada orang lain (Palestina) dan juga kaumnya sendiri yang berani mempertanyakan kebijakan Israel. Mereka yang pernah ditindas berubah menjadi penindas. Kedua, cinta kasih tak berbatas yang diamanatkan oleh Kitab Suci sebagai hukum yang terutama dan terbesar masih dijalankan oleh orang-orang Kristiani dengan membangun batas-batas yang sempit bagi cinta mereka. Ketiga, Islam dipandang sebagai ‘penebar ketakutan’ terutama sejak peristiwa 11 September meskipun Nabi Muhammad mengajarkan tentang keramahtamahan kepada orang-orang asing yang dijumpai.
Kelly tidak sedang memproklamirkan bahwa agama adalah sumber segala kejahatan seperti yang ‘dituduhkan’ oleh beberapa pemikir yang digolongkan sebagai ateis baru di antaranya, Ricard Dowkins, Christopher Hitchens dan Sam Harris. Ketiga pemikir ini melihat agama sebagai akar atau sumber dari segala kejahatan. Christopher Hitchens, seperti yang dikatakan Kelly, bahkan mengatakan bahwa agama itu meracuni apa saja. Narasi Kelly bermaksud hendak menangkis tuduhan para ‘ateis baru’ yang menuding agama sebagai akar dari semua kejahatan. Bagi Kelly, sejauh kita memahami secara penuh apa yang diimani oleh anak-anak Abraham, sesungguhnya kita mendapatkan pengertian bahwa kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang beragama atau oleh agama itu sendiri seperti yang dituduhkan oleh kaum ateis baru bukanlah berakar dari agama. Agama anak-anak Abraham (Yahudi, Kristen dan Islam) mengajarkan tentang kebaikan dan agama itu sendiri merupakan sebuah kekuatan untuk kebaikan.
Dari perspektif Islam, dijumpai bahwa Alquran sendiri mendorong dan memerintahkan para penganut agama untuk berbuat kebaikan dalam semangat cinta kasih (al-Ma’idah (5):48; al-Baqarah (2): 148) dan membangun toleransi satu dengan yang lainnya. Jalan-jalan menuju cita-cita itu terbentang luas. Salah satu jalan yang tak henti-hentinya diperjuangkan adalah dialog bersama dalam semangat kasih. Agama-agama membutuhkan dialog sebagai jembatan untuk menciptakan keharmonisan bertoleransi sekaligus memperjuangkan keutuhan rahmat Tuhan bagi semua manusia yang beragam (al-Zukhruf (43):32; al-Baqarah (2):105; Ali Imran (3): 74; Fatir (35):2) demi kemajuan martabat kemanusiaan yang satu dan sama (al-Baqarah (2): 213; Hud (11): 118 dan Yunus (10): 19).
Saling mengasihi ini adalah sebuah sikap yang menembusi perbedaan sebab keberadaannya adalah keberadaan tanpa mempertimbangkan siapakah diri yang lain itu, apa agamanya, apa keyakinannya, apa sesembahannya, apa budayanya, apa prinsip hidupnya.
Ikhwal menciptakan kebaikan bersama oleh agama-agama, saya teringat akan kisah tentang Nabi Ibrahim dan seorang penganut agama Zoroaster yang dikisahkan oleh Hedieh Mirahmadi (2014). Nabi Ibrahim itu seorang nabi yang tidak senang kalau duduk makan sendirian saja. Karenanya, setiap kali sebelum makan Nabi Ibrahim akan mengundang seseorang untuk makan bersamanya.
Suatu hari, Nabi Ibrahim mengundang seorang penyembah api untuk makan bersamanya. Sebelum menikmati makanan itu, Ibrahim meminta sang penyembah api itu untuk mulai doa dalam nama Tuhan yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Tiba-tiba saja penganut Zoroaster itu berkata:”Kamu ingin membeli agama saya dengan makananmu ini? Saya seorang penyembah api, mengapa saya harus menyebut nama Tuhan?
Sontak saja, kata-kata ini mengejutkan Nabi Ibrahim yang adalah seorang yang seharian mengajarkan tentang Tuhan yang Maha Esa, Sang Pencipta. Orang yang sedang berada di hadapannya ini yang telah diundangnya hendak makan bersamanya dan ingin mengucap syukur atas makanan ini dengan menyebut apa sembahannya? Sungguh mengejutkan Ibrahim. Ibrahmin selanjutnya memintanya untuk meninggalkan meja makan.
Namun, apa yang terjadi selanjutnya? Segera Tuhan mengirim wahyu kepada Ibrahim. “Selama lebih dari Sembilan puluh tahun orang ini sama sekali belum pernah menyebut nama-Ku, meskipun demikian Aku memberikan makanan tanpa pernah gagal, sementara kamu kedapatan sulit untuk memberi makan satu kali pun. Tidak peduli apakah dia menyebut namaKu atau tidak, kamu tidak boleh makan sampai kamu membawanya kembali dan membuatnya bergembira. Jika tidak kamu lakukan, Aku akan menghapusmu dari daftar para nabiKu”. Demikian isi wahyu Tuhan kepada Nabi Ibrahim.
Segera setelah itu, Nabi Ibrahim bergegas mencari laki-laki tersebut. Pada saat Nabi Ibrahim melihatnya, dikerjanyalah lelaki itu. Ketika dikejar, lelaki itu dihinggapi ketakutan sehingga berlari menjauhi Nabi Ibrahim. Namun, Nabi terus mengejarnya sembari memintanya berhenti. Ketika Nabi mendapatinya, berkatalah Nabi Ibrahim: “Saya telah ditegur oleh Tuhan saya demi kamu!” Nabi menjelaskan apa yang sesugguhnya yang telah terjadi padanya. Dan, laki-laki itu terkejut dan berkata: “Wahai Ibrahim, jika Tuhanmu sedemikian rupa menghardikmu karena aku, maka Dia pantas menjadi sesembahan.”
Ada banyak makna sekaligus pesan yang tersirat di balik kisah ini. Namun, satu yang pasti ialah bahwa kisah ini menyajikan contoh pengajaran agama tentang bagaimana menciptakan kebaikan bersama melalui jalan kasih yakni kesaling-mengasihi antara sesama yang berbeda keyakinan agama. Saling mengasihi ini adalah sebuah sikap yang menembusi perbedaan sebab keberadaannya adalah keberadaan tanpa mempertimbangkan siapakah diri yang lain itu, apa agamanya, apa keyakinannya, apa sesembahannya, apa budayanya, apa prinsip hidupnya.
Bagi Mirahmadi, kisah ini mengisyaratkan tema tentang bagaimana agama-agama yang beragam membangun sikap penerimaan satu dengan yang lainnya. Bagi Mirahmadi, ‘Tuhan tidak mengharuskan semua ciptaanNya hanya menerima satu agama saja!’. Lebih dari itu, menurut Mirahamdi, ‘kisah ini menunjukkan kepentingan yang ditempatkan Tuhan dalam praktek kebaikan terhadap setiap orang tanpa memandang pandang apakah mereka menerima Tuhan atau tidak’. Hemat saya, dasar penerimaan keberbedaan itu adalah mulianya harkat dan martabat manusia. Siapapun manusia dengan segala latar belakang yang dibawanya sejak lahir adalah mulia di mata Tuhan, serentak pula di mata manusia.
Membaca kisah Nabi Ibrahim, saya pun terajak untuk menghadirkan kembali kisah perumpamaan Yesus tentang The Good Samarithan dari kisah Injil. Orang Samaria yang murah hati, suku yang dipandang asing oleh kelompok Yahudi, rela melepaskan prasangka buruk terhadap bangsanya dan melakukan sebuah passing over. Dia tidak melewati korban perampokan dari pinggiran jalan lain seperti dua tokoh yang lainnya. Ia menambatkan tunggangannya, mendekati korban, memapahnya, membopongnya dan mengantarkannya ke tempat perawatan. Dia tidak meninggalkannya begitu saja melainkan ‘mengurusinya’ meski dia tak kenal siapa orang yang dibantunya. Dia tidak menjadikan ketidak-kenalannya itu sebagai halangan untuk berbuat baik.
Ada sebuah perasaan sekaligus kebutuhan yang sama dari agama-agama. Perasaan dan kebutuhan itu berkaitan dengan perjuangan mewujudkan kebaikan bersama demi kesempurnaan jati diri kemanusiaan. Berhadapan dengan bencana alam yang menimpa manusia misalnya, setiap orang atau institusi dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang nun jauh di sana pada umumnya menyatakan ‘turut mengalami penderitaan sesama manusia yang mengalami bencana dengan ‘bergerak melebih batas keagamaannya’ untuk membantu meringankan penderitaan akibat bencana tersebut. Ada semacam satu ‘gerakan ke pinggiran jalan lain’ atas dasar kemanusiaan.
Pada titik tertentu, perhatian terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan dan juga kepedulian terhadap keutuhan ciptaan pada umumnya merupakan satu gerakan global yang bersifat kritis terhadap globalisasi ekonomi yang lebih mengutamakan profit ketimbang jati diri kemanusian dan terutama nian tanpa mempedulikan beban yang harus dipikul banyak penghuni bumi dan ketahanan bumi itu sendiri. Karenanya, persoalan-persoalan kemanusiaan dan ancaman terhadap ketahanan bumi tersebut tak pelak lagi mengundang reaksi seluruh umat manusia yang merasa bersatu atas dasar kemanusiaan dan kesadaran bersama sebagai sesama penghuni bumi yang satu dan sama.
Segenap umat beriman dari aneka agama besar meyakini Allah yang disembah dan diagungkan sebagai yang Mahabesar (Akbar), tetapi juga serentak Mahadekat (Akrab). Allah itu ‘akrab’ dengan semua umat yang mengimaniNya, tetapi serentak pula meng-akrab-kan semua umat beriman yang beraneka-ragam. Karena itu, sejatinya, agama membuat bangsa manusia merasa bersaudara, dekat satu sama lain. Kedekatan itu menjadi modal bersama untuk menciptakan kebaikan bersama. Di dalamnya, ‘para penganut agama mengecap kebahagian sejati, kebahagiaan sebagai saudara-saudari seharkat-semartabat.*