Oleh: Timotius J
Perantau tidak boleh dilihat sebagai sarana untuk mencapai tujuan, melainkan martabat manusia harus menjadi tujuan utama. Perantau hendaknya diberdaya sebisa mungkin agar mereka sungguh-sungguh mengaktuliasasikan diri mereka dengan bekerja.
Ajaran Sosial Gereja (ASG) berpendirian bahwa kemampuan perencanaan dari sebuah masyarakat juga dan terutama nian diukur berdasarkan prospek lapangan kerja yang mampu ditawarkannya. Pendirian ini dilatari kenyataan di mana orang-orang yang menganggur atau setengah menganggur mengalami berbagai konsekuensi negatif mendasar dalam kepribadiaan mereka dan mereka berisiko disisihkan dalam masyarakat, menjadi korban pengucilan sosial.
Menurut data yang disebarkan dalam situs resmi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, jumlah penganggur di negara kita pada bulan Februari 2012 diperkirakan sebanyak 7,61 juta jiwa. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi memang optimis bahwa jumlah penganggur akan berkurang pada tahun-tahun mendatang. Diperkirakan, pada tahun 2014 jumlah penganggur akan menurun sebesar 5,1%. Meskipun demikian, angka pengangguran itu masih relatif tinggi. Sementara itu, data bulan Agustus 2011 jumlah penganggur di Nusa Tenggara Timur saja berjumlah 57.999 orang (laki-laki: 29.749, Perempuan: 28.250). Kita berharap jumlah ini bisa berkurang dari tahun ke tahun.
Tampaknya tingginya angka pengangguran ini telah memaksa banyak saudara kita untuk mengadu nasip di negara lain. Menariknya, persoalan ini tidak hanya diderita oleh negara kita. Laporan United Nations menunjukkan bahwa pertumbuhan migrasi internasional adalah 3,1 persen dari pertumbuhan populasi global. Di sini, fenomena migrasi merupakan persoalan internasional abad ini.
ASG mengakui bahwa perantauan dapat menjadi sumber pembangunan. Ketimpangan yang sangat besar antara negara kaya dan negara miskin merupakan salah satu alasan dibalik pertumbuhan jumlah migran internasional. Pada tahun 2008, total aliran pengiriman uang diperkirakan 444 miliar Dolar Amerika Serikat dan dari jumlah tersebut, 338 miliar dolar USA mengalir ke nengara-negara berkembang. Dengan demikian, para migran turut berandil dalam pembangunan di negara asalnya. Selain itu, perantau juga turut mendukung pembangunan di negara tujuan. Para perantau dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja yang bila tidak demikian akan tetap tidak terisi di berbagai sektor dan wilayah di mana tenaga kerja lokal tidak memadai jumlahnya atau tidak sudi bekerja dalam jenis pekerjaan bersangkutan.
Sementara itu, di sisi lain fenomena perantauan juga membawa serta proses dehumanisasi. Salah satu bentuknya adalah kolonialisasi psikologis. Sebagaimana semua bentuk kolonialisasi, kolonialisasi psikologis juga melihat yang lain sebagai kaum lemah. Kolonialisasi psikologis melemahkan mental korban. Para migran seringkali mengalami perilaku yang tidak terpuji, seperti penipuan, kontrak-kontrak palsu, pemotongan atas upah secara tidak adil oleh para calo dan majikan yang tidak jujur dan hak-hak mereka tidak diindahkan sebagaimana mestinya.
Berhadapan dengan proses dehumanisasi yang dialami oleh perantau, ASG menghimbau hal-hal berikut: pertama, lembaga-lembaga di negara-negara tuan rumah mesti menjaga dengan saksama guna mencegah penyebaran godaan untuk mengeksploitasi para pekerja asing. Kedua, segala hal yang diskriminatif terhadap pekerja asing dihindari. Ketiga, para imigran harus diterima sebagai pribadi dan dibantu bersama dengan keluarga mereka untuk menjadi bagian kehidupan bermasyarakat. Keempat, syarat-syarat yang memacu peningkatan peluang-peluang kerja di tempat asal orang-orang tersebut harus digalak sebanyak mungkin. Seruan-seruan ini, bermuara pada penghargaan atas martabat manusia. Perantau tidak boleh dilihat sebagai sarana untuk mencapai tujuan, melainkan martabat manusia harus menjadi tujuan utama. Perantau hendaknya diberdaya sebisa mungkin agar mereka sungguh-sungguh mengaktuliasasikan diri mereka dengan bekerja.
Jika perantauan merupakan salah satu jalan mengatasi pengangguran, maka kiranya otoritas publik harus menangani masalah perantauan searif mungkin. Regulasi yang sangat rumit dan ketat sehingga sulit terjangkau oleh mereka yang ingin memperbaiki nasipnya di negara lain perlu ditinjau kembali. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penanganan perantau ilegal. Adalah mutlak bahwa hak-hak asasi manusia tidak dapat dipengaruhi oleh status yuridis seseorang. Hukum dibuat untuk manusia dan bukan sebaliknya. Karena itu, tidak dibenarkan memperlakukan hukum sebagai tuan atas manusia. Hak setiap orang untuk memilih merantau demi mencari pekerjaan dan suatu hidup yang lebih baik hendaknya dihargai.