Antiklimaks Manusia Postmodern

Oleh: Ervino Hebry Handoko

Penemuan-penemuan teknologi canggih itu bukannya membuat ia menjadi sungguh-sungguh manusia, melainkan justru mendepak ia menjadi tidak manusiawi dan tidak berbudaya. Inilah antiklimaks manusia-manusia postmodern.

Salah satu ciri yang menandai zaman modern adalah adanya optimisme terhadap subjektivitas manusia. Penekanan pada manusia otonom atau manusia yang mampu berpikir mandiri, yang Rene Descartes (1596—1650), seorang filsuf modern Prancis, sebut sebagai cogito, begitu menguat. Manusia tidak lagi tunduk pada alam, tetapi sebaliknya, menguasai hukum-hukum alam untuk kemudian digunakan untuk kebutuhan manusia. Manusia menjadi sentrum realitas dan kepentingannya ditempatkan di atas segalanya. Alhasil, antroposentrisme menjadi anak kandung modernisme. Inilah titik klimaks modernisme: keterpusatan pada manusia sebagai subjek otonom.

Cara berpikir modern ini semakin menguat pada abad 18, yang dikenal sebagai masa Pencerahan (Aufklärung), suatu masa di mana manusia dituntut untuk “berpikir sendiri” (sapere aude). Zaman ini tidak terlepas dari pengaruh Renaissance (abad 14-17) dan merupakan buah dari Empirisme dan Rasionalisme yang muncul pada babak awal modernisme. Gerakan Aufklärung ini melanda hampir semua negara Eropa, terutama Inggris, Perancis, dan Jerman. Sejak zaman ini, ilmu pengetahuan mengalami kemajuan pesat.

Penemuan-penemuan canggih, lebih khusus dalam bidang teknologi, bermunculan. Beberapa di antaranya adalah penemuan televisi oleh John Logie Baird, penemuan komputer oleh Charles Babbage, penemuan handphone oleh Martin Marty Cooper, hingga yang tercanggih sejauh ini, penemuan internet oleh Leonard Kleinrock. Melalui penemuan-penemuan ini, manusia betul-betul menegaskan diri sebagai subjek yang mampu berpikir sendiri. Dari alam, ia mampu menciptakan kreasi-kreasi baru yang canggih.

Namun, ketika memasuki zaman posmodern (sejak 1960-an), ada reaksi kritis terhadap cara berpikir modern, misalnya dari para filsuf mazhab Frankfurt (Adorno, Max Horkheimer, dll). Paradigma modern dipandang gagal menuntaskan proyek Pencerahan dan menyebabkan munculnya sejumput patologi modernitas. Modernisme mulai kehilangan landasan praktisnya untuk memenuhi janji-janji emansipatoris yang dahulu lantang disuarakannya. Modernisme yang dulu diagung-agungkan sebagai pembebas manusia dari belenggu mitos, takhayul, dan berhala kebudayaan Abad Pertengahan yang menindas, kini berbalik membelenggu manusia dengan aneka mitos dan berhala baru yang bahkan lebih menindas dan memperbudak manusia. Alih-alih menjadi subjek otonom, manusia postmodern justru kembali terperosok pada “sangkar-sangkar” yang dibuatnya sendiri.

Jika pada zaman pra-modern manusia tunduk pada alam dan berhala-berhala kebudayaan, pada zaman modern dan pascamodern manusia tunduk pada perangkat-perangkat temuannya sendiri, yang nyata dalam produk-produk teknologi. Pada prinsipnya, produk-produk teknologi memang sungguh membantu dan mempermudah manusia dalam banyak urusan. Kita, misalnya, dapat dengan mudah bekomunikasi dengan keluarga, kerabat, teman, dan orang lain hanya melalui smartphone dan gadget. Atau memudahkan kita dalam melakukan pekerjaan sehingga dapat mengefesiensi waktu dan tenaga. Namun, perlu diingat, kehadiran alat-alat teknologi itu juga bisa menjadi probematis, terutama ketika ia membuat manusia tergantung atau teradiksi. Tentu teknologi pada dirinya sendiri bersifat netral, namun di tangan manusia yang tidak mampu mengendalikan diri, ia tampak sebagai bahaya yang memberangus. Teknologi akan hadir sebagai candu yang membelenggu manusia. Fenomena inilah yang menandai manusia-manusia postmodern sekarang ini. Manusia-manusia zaman kiwari (zaman now?) mengalami “kecanduan teknologi” pada taraf yang akut.

Kita menjumpai peranti-peranti teknologi tampak seperti berhala-berhala baru. Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, sering kita jumpai di kalangan pelajar mulai dari SD sampai mahasiswa, gadget tampak menjadi kebutuhan yang primer. Bangun tidur, di trotoar jalan, di dalam rumah, di rumah ibadat, di dalam kelas, gadget tidak pernah ditinggalkan. Konsentrasi lebih banyak diarahkan pada gadget sehingga segala sesuatu yang sesungguhnya jauh lebih penting malah diabaikan. Maka, objek-objek berhala baru pun bermunculan: handpone, gadget, mbah google, santo facebook, santa whatsapp, dan sebagainya. Manusia-manusia postmodern begitu tergantung pada perangkat-perangkat ini. Di hadapan produk-produk ini, ia terobjektivikasi, terdeterminasi, terjerat dengan sangat kuat, dan akhirnya tunduk pada hegemoni perangkat-perangkat modern tersebut. Ia menjadi tidak bebas lagi, tidak otonom lagi (karena dikondisikan oleh peranti-peranti tersebut), atau lebih tepatnya, menjadi “budak” alat-alat yang diciptakannya sendiri. Ini sudah termasuk tingkat kecanduan yang kronis. Disadari atau tidak, kecanduan ini membawa masalah pelik bagi pertumbuhan karakter manusia.

Manusia-manusia postmodern tumbuh menjadi sosok-sosok asosial, yang mengeksklusi diri dari yang lain dan lebih menikmati dunianya sendiri. Di ruang-ruang publik, seperti di terminal, di ruang tungggu bandara, di dalam angkutan umum, dan sebagainya, orang sibuk dengan gadget -nya, dan lantas mengabaikan kehadiran manusia-manusia konkret di sekitarnya.

Ia mendekatkan sosok-sosok yang jauh dan maya dan menjauhkan mereka yang dekat dan konkret. Manusia-manusia postmodern hanya peduli pada sosok-sosok artifisial di depan layar gadget-nya daripada sosok yang real dan aktual di sekitarnya. Budaya bercengkerama pun perlahan luntur. Orang hanya sibuk dengan gawainya sendiri. Penemuan-penemuan teknologi canggih itu bukannya membuat ia menjadi sungguh-sungguh manusia, melainkan justru mendepak ia menjadi tidak manusiawi dan tidak berbudaya. Inilah antiklimaks manusia-manusia postmodern.

Saya secara pribadi merasa miris dengan kondisi ini. Alangkah baik kita bersama-sama memikirkan solusi untuk mengatasi gejala buruk ini, sebelum masalah yang lebih besar menghantam generasi kita. Menurut hemat saya, solusi ini harus dimulai dengan proses edukasi di dalam keluarga. Orang tua mesti perketat pendidikan di dalam keluarga. Menurut hemat saya, bila masalah itu masih dalam batas normal hal itu bisa diatasi sendiri dengan metode terapi sederhana, misalnya membangun komitmen untuk tidak menggunakan gadget pada momen tertentu dengan cara menonaktifkan gadget. Tidak membawa gadget ke kampus atau ke Gereja, karena tanpa barang itu pun tidak mengurangui kekusukan kita untuk berdoa dan ketekunan kita untuk belajar. Selain itu pergunakan waktu luang untuk berdiskusi, dan membaca buku hal ini bisa mengurangi dorongan yang mengharuskan kita mendekatkan diri dengan gadget.

Bagi mereka yang kecanduannya sampai pada titik kronis, diperlukan terapi khusus dari pihak psikolog misalnya, yang berkompeten dalam bidang ini. Lebih dari semua itu, alangkah baik kita lebih dahulu mecegah daripada mengobati kemudian. Saya berharap sedini mungkin kita membiasakan diri untuk mengajarkan anak untuk tidak dibiasakan menggunakan gadget, terlepas nanti ada sindirin bahwa cara demikian kolot atau membuat anak geptek. Kita mesti sadar, perubahan terkadang tidak selalu membawa kebaikan, sejauh itu memberi efek positif kita terima, tetapi bila yang terjadi malah sebaliknya, semestinya dengan tegas kita menolaknya meskipun itu sulit.

Orangtua mesti mengajarkan kepada anak-anak secara terbuka bahwa betapa besarnya pengaruh negatif dari gadget tersebut bagi perkembangannya. Orang tua mesti membiasakan anak-anak dengan model permainan yang lain yang bisa menghasilkan keringat bukan hanya bergantung pada aplikasi permainan yang ada dalam gadget. Keseriusan dan kepekaan orang tua sangatlah diperlukan dalam mengatasi masalah kronis ini. Selain itu dalam menghadapi kasus seperti ini, peran istitusi pendidikan tidak kalah penting.

Sangat diharapakan bahwa pihak sekolah mesti mengeluarkan suatu aturan yang mewajibkan setiap siswa untuk tidak menggunakan gadget selama pelajaran berlangsung. Aturan ini kelihatanya mengekang kebebasan murid, atau bahkan kelihatan kuno namun bagaimana pun juga mutu pendikan mesti menjadi pertimbangan utama. Sangat tidak mungkin seorang murid memahami secara penuh apa yang dijelakan guru bila selama pelajaran ia menyibukan diri dengan gadget-nya. Kita tentu berharap langkah-langkah yang ditawarkan di atas membantu generasi muda kita tidak lagi menjadi budak dari benda yang kita ciptakan melainkan menjadi manusia kongktit yang mempunyai kehendak untuk menentukan yang baik dan mengabaikan yang buruk. Hanya dengan cara demikian kita sampai pada suatu tujuan akhir yang namanya kebahagiaan sejati bukan kebahagiaan yang semu, yang terpenjara.

Leave a Comment