Oleh: Timotius J
Pandemi (Covid-19) ini dapat menjebak setiap orang pada pesimisme dan fatalisme. Orang tidak lagi menjaga semangat juang dan tidak berani mencari peluang-peluang baru untuk mempertahankan hidup. Lalu, apakah umat beragama jatuh dalam hal yang sama ataukah mempromosikan optimisme untuk bisa keluar dari jebakan pandemi ini? Dalam situasi wabah, umat beragama tentu tidak kehilangan orientasi bagaimana beragama.
Melampui Ritualisme – Menolak Ilusi
Setelah sekian waktu umat beragama tidak menjalani ibadah bersama di tempat ibadah, kini ada kerinduan untuk kembali beribadah seperti semula. Sebagian umat beragama sudah melewati hari raya besar keagamaan yang dirayakan tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Umat Hindu baru saja melewati Hari Raya Nyepi yang dilaksanan sesuai arahan untuk membatasi kehadiran umat di tempat ibadah. Demikian pula, umat Kristen Katolik dan Kristen Protestan, telah melawati Hari Raya Paskah. Dan kini, umat Islam yang tengah menjalani masa puasa juga mengalami hal yang sama.
Di tengah pandemi Covid-19 yang belum bisa diprediksi kapan berakhir ini, kerinduan untuk kembali beribah bersama di tempat ibadah dapat dicermati dari dua hal. Pertama, agama merupakan tempat pelarian untuk mencari ketenangan di tengah kesulitan yang dihadapi dan serentak menjustifikasi ritualisme. Joakim Wachs mengetengahkan bahwa ritual agama merupakan salah aspek kunci dari setiap agama, selain pengalaman keigamaan, kepercayaan, dan komunitas kultis (dalam Koten, 2005: 27-35). Ketika orang berlari pada agama hanya untuk mendapat ketenangan batin semata, maka agama adalah ilusi sebagaimana pandangan Freud atau candu dalam pandangan Marx.
Kedua, kerinduan tersebut adalah pertanda kedewasaan iman. Agama dan tempat ibadah bukan sebagai tempat pelarian untuk mencari ketenangan. Juga, kerinduan tersebut bukan karena otoritas agama memupuk rasa rindu pemeluk agama yang melanggengkan ritualisme. Dalam situasi pandemi ini, otoritas agama telah memberikan kelonggaran dalam melaksanakan ibadah atau ritual. Hal ini serentak mematahkan pendekatan reduksionis Freud bahwa agama sebagai amnesia kronis karena agama tidak hanya terpaku pada kelaziman dalam melaksanakan ritual. Praktik keagamaan adalah sesuatu yang rasional dan tanggap terhadap konteks pemeluknya.
Beragama Lintas Batas
Di tengah wabah ini, umat beragama kiranya peka terhadap penderitaan yang dialami manusia. Berhadapan dengan penderitaan, umat beragama dapat menggumuli apakah wabah ini merupakan tanda bahwa janji Allah belum dipenuhi dan karena itu menggerakan umat beragama untuk menggumuli janji Allah dalam diri penderita? Atau, siapakah yang bertanggung jawab atas penderitaan itu apalagi terjadi di luar kendali manusia? Banyak hal yang bisa digumuli oleh umat beragama berhadapan dengan pengalaman penderitaan, termasuk pandemi Covid-19. Bagaimana pun, di hadapan penderitaan, umat beragama tidak boleh bungkam.
Nilai dan pandangan masing-masing agama dapat menjadi pijakan dalam merawat peradaban dan menghantar para pemeluknya pada cara hidup yang baru. Dalil-dalil agama menjadi inspirasi untuk gerakan bersama menumbuhkan optimisme di tengah wabah ini di mana iman pribadi diarahkan pada harpan akan masa depan yang memungkingkan semua bergerak dalam aksi solidaritas.
Kini, refleksi teologi umat beragama bergerak dari titik yang sama, yakni pandemi Covid-19. Dalam konteks ini, agama-agama mesti mampu menumbuhkan semangat juang dan memiliki ketahanan personal untuk bersatu dalam nafas yang sama menghadapi masa depan dengan optimisme. Dalam gerakan bersama itu, agama harus mampu menjelaskan hidup beragama sebagai sumber inpirasi dalam perang melawan pandemi covid-19 mulai dari komunitas kecil sehingga memberikan aura positif bagi semua umat beragama.
Agama bukanlah ilusi atau candu dan karena itu umat beragama hendaknya tindak melanggengkan ritualisme. Kerinduan beribadah kiranya dibarengi gerakan untuk bersama-sama dengan pihak terkait terlibat melawan musuh yang tidak kelihatan itu. Dalam situasi ini, umat beragama diharapkan untuk mencari dan meneguhkan iman dalam pencarian pribadi. Namun, iman yang personal itu mesti menjadi tanda solidaritas untuk optimis menatap hari esok di tengah penderitaan yang dialami saat ini.
Dalam konteks Negara Indonesia, agama-agama dengan caranya masing-masing telah mengambil jalan untuk mengatasi pandemi ini. Pemimpin agama telah merefleksikan situasi ini dengan meneguhkan iman umat dan serentak mengajak masing-masing pemeluk agama untuk bisa bersolider dalam melawan gempuran pandemi ini. Agama-agama tentu menjalani aksi tertentu berpijak pada dalil masing-masing agama. Namun, paling tidak bahwa dalil-dalil itu bertemu pada titik yang sama yaitu semangat untuk melawan Covid-19 dengan menghentikan sementara ibadah yang dilaksanakan secara bersama-sama.
Mungkinkah ada seruan bersama berangkat dari pandangan/pijakan teologi yang berbeda untuk kemudian bersatu dalam mempromosikan gerakan bersama agar umat beragama terlibat menggumuli pandemi ini. Agama-gama bergandengan tangan dengan berbagai elemen yang turut berjuang mengatasi penderitaan yang dihadapi oleh umat beriman. Tentu, agama harus berada bersama meraka yang paling rentan untuk terjebak dalam kungkungan fatalisme, menyuarakan solidaritas, memperkuat optimisme dan menghalau pesimisme di tengah gempuran pandemi Covid-19 ini.