Berdamai dengan Pandemi

Oleh: Timotius J

Hidup damai dengan pandemi kiranya juga mendorong semua pihak untuk merancancang bagaimana bisa hidup produktif dalam komunitas kecil tanpa ada mobilitas yang tinggi. 

Sejarah peradaban merekam bahwa pandemi dari masa ke masa seakan mengafirmasi gagasan Heidegger tentang keberadaan manusia sebagai keterlemparan di tengah dunia. Betapa tidak, nyawa manusia sedemikian rapuh di hadapan virus yang muncul tak disangkakan. Kematian banyak dalam sejarah pandemi dari maasa ke masa antara lain, wabah Yustianus/pes (tahun 541), Black death (tahun 1346-1353), pandemi Flu/Flu Spanyol (tahun 1918), dan Pademik HIV/AIDS (tahun 1981-sekarang).  Catatan sejarah pandemi dari masa ke masa ini mengingatkan siapa saja bahwa hidup manusia sedemikian rentan dan tanpa kewaspadaan, nyawa menjadi taruhannya. 

Sudah berbulan-bulan dunia berjalan bersama covid-19. Hingga bulan Juni ini, belum ada yang berani memastikan virus ini akan berakhir. Bahwa para ilmuwan terus berjuang untuk memukan vaksin, namun di antara ilmuwan sendiri belum memberikan jawaban yang sama dan pasti. Juga, belum ada klaim bahwa virus ini akan segera berakhir.

Sejumlah negara sudah mengambil jalan lock down untuk memutus dan mengendalikan penyebaran virus ini. Bebeberapa negara mengklaim berhasil dan otoritas negara perlahan membuka kembali pintu untuk bisa beraktivitas seperti sediakala. Misalnya, Spanyol yang menerapkan karantina paling ketat di Eropa selama tiga bulan mencabut keadaan darurat hari Minggu (21/06) dan membuka perbatasan bagi pengunjung dari hampir semua negara Eropa, tanpa harus melakukan karantina.  Negara lain, Amerika Serikat, tidak menerapkan lock down meskipun tingkat penularan virus di negara terbilang tinggi, yakni 23.000 kasus Covid-19 dalam satu hari. 

Sayangnya, lock down tidak sepenuhnya mengenyahkan virus ini dari muka bumi. James Gallagher menulis di BBC bahwa negara yang diyakini mampu mengontrol wabah ini kini khawatir pada kemunculan gelombang kedua. Kemudian, ia juga mengingatkan bahwa secara teoritis, kasus positif pada gelombang kedua bisa lebih banyak daripada yang pertama karena saat ini begitu banyak orang masuk kategori rentan.  Bahwa beberapa negara sudah membuka pintu untuk kembali ke pola hidup yang normal, namu tidak berarti bahwa situasi benar-benar pulih seperti sebelum merebaknya pandemi ini. Wuhan, titik awal dan bermula virus ini ditemukan, dinilai berhasil menerapkan lock down dan kini sudah kembali ke aktivitas normal tetap dihantui kecemasan kembalinya serangan covid-19. Demikian juga, negara-negara lain melonggarkan akses dengan tetap memberlakukan protokol kesehatan dengan ketat. 

Republik tercinta, Indonesia, tidak menenerapkan lock down. Beberapa daerah yang mengusulkan dapat merapkan PSBB sesuai dengan tingkat penyebaran virus ini. Pascapemberlakukan PSBB, virus ini belum juga sirna dan bahkan dibeberapa beberapa daerah tertentu jumlah pasien Covid-19 justru meningkat. 

Publik mengomentari bahwa ‘kegagalan’ meredam laju virus ini lebih disebabkan oleh kehendak lemah dan minimnya komitmen bersama anak bangsa sendiri. Sementara itu, ada juga yang berdalih bahwa diam di rumah tidak dapat memenuhi harapan untuk tetap produktif. Maka, jalan yang ditempuh adalah berdamai dengan situasi dan tetap berjuang di tengah ancaman virus ini demi dapur tetap mengepul dan perut tetap terisi.

Tentu, apresiasi positif untuk mereka yang berjuang tak kenal lelah menyelamatkan nyawa yang sudah di ambang maut dan meredam laju penyebaran virus ini. Masyarakat awam juga tentu sudah berjuang untuk membatasi dan menentukan skala prioritas dalam mobilitas dan beraktivitas di luar rumah. Tidak sedikit juga masyarakat yang penuh tanggung jawab dan taat menerapkan pola hidup sesuai dengan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan. Demikian juga sistem di ruang publik yang ditata sedemikian untuk menjamin setiap orang terhidar dari bahaya maut.

Belakangan ini, otoritas negara memilih untuk bisa hidup berdamai dengan covid-19. Akses terhadap fasilitas publik mulai dibuka. Tentu, hal ini dibarengi dengan kesiapan masing-masing otoritas dalam menyiapkan dan menyesuaikan banyak aspek yang menunjang kehidupan untuk bisa berjalan berdampingan dengan covid-19. Selain itu, masyarakat biasa pun kiranya sudah memahami dan siap untuk hidup berdampingan dengan virus ini. 

Hidup damai dengan pandemi kiranya juga mendorong semua pihak untuk merancancang bagaimana bisa hidup produktif dalam komunitas kecil tanpa ada mobilitas yang tinggi. Selain itu, kebijakan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi mesti juga berpijak pada kebijakan jangka panjang dan keberlanjutan melalui penguatan masyarakat dan komunitas lokal. Dampak bencana atau pandemi dialami oleh individu dalam komunitas setempat, dalam ruang-teritorial tertentu. Dengan demikian, permberdayaan komunitas, entah itu parokial maupun sektoral mesti digiatkan sehingga masyarakat tetap produktif dan berdiri tegak meskipun mobilitas dibatasi dan pada saat yang sama akses pemenuhan kebutuhan dasar antar wilayah terputus. 

Leave a Comment