Dialog Kreatif Jati Diri Budaya-Kristiani dalam Perspektif Mgr. Wilhelmus van Bekkum

Oleh: Timotius J

Orientasi dasar dari karya pastoral Mgr. van Bekkum di Gereja Katolik Manggarai adalah dialog antara jati diri budaya dengan jati diri Kristiani. Bagi Mgr. van Bekkum sikap penting dalam dialog adalah keterbukaan dan penghargaan. Lebih jauh, dialog sejati mesti diarahkan untuk humanisasi budaya dan membarui jati diri Kristiani. Bentuk nyata dari dialog antara jati diri budaya dan iman Kristiani adalah integrasi budaya dalam liturgi Kristiani.

Pendahuluan

Gereja bukanlah menara gading yang menutup diri dan lepas-pisah dari konteks di mana Gereja berziarah. Dewasa ini, Gereja tengah berziarah bersama arus globalisasi yang ditandai oleh meningkatnya interkoneksi dan interdependensi antarkomunitas budaya. Di satu sisi, globalisasi membuka peluang terciptanya pola kebudayaan yang homogen. Namun, di sisi lain, globalisasi juga diwarnai perjuangan memperkuat identitas lokal. Bahaya yang mengintai dua kecenderungan tersebut adalah penjajahan budaya dan fanatisme budaya. Penjajahan budaya maupun fanatisme budaya, keduanya akan berujung pada krisis jati diri budaya. Karena itu, meskipun globalisasi berandil dalam humanisasi budaya, namun wajah lain dari globalisasi yang mesti diwaspadai adalah dehumanisasi budaya.

Berhadapan dengan realitas di atas, pergumulan tentang jati diri mesti menjadi panggilan dalam setiap refleksi teologi dan karena itu teologi kontekstual adalah suatu keniscayaan sebab jati diri selalu terangkai dalam konteks-konteks tertentu. Refleksi teologi kiranya hadir untuk menemukan Yesus Kristus dalam konteks-konteks yang paling berpengaruh pada kehidupan pribadi, jemaat dan masyarakat dalam tradisi iman yang diyakini. Dalam hal ini, refleksi teologi tidak lain merupakan suatu proses dialogal dan kontekstualisasi merupakan kenyataan di mana teologi membutuhkan interaksi dan dialog.

Teologi kontekstual baru ramai didiskusikan setelah Konsili Vatikan II. Meski demikian, Mgr. Wilhelmus van Bekkum sudah menghidupinya sebelum Konsili Vatikan II. Sebagai contoh bagaimana mengindahkan konteks dalam memaknai Firman Allah di Manggarai-Flores pada tahun 1950-an adalah Mgr. van Bekkum memasukkan perarakan persembahan dengan tarian-tarian gaya daerah Manggarai-Flores ke dalam ritus Romawi dan mengakomodir perayaan syukur (penti) dengan Liturgi Gereja yang dikenal dengan sebutan “Misa Kaba” (Misa Kerbau). Dalam Konsili Vatikan II, Mgr. van Bekkum turut serta dalam usaha untuk pembaharuan liturgi. John Prior memberi kesaksian bahwa hampir semua elemen pembaharuan liturgi yang kemudian disahkan Konsili, pernah dianjurkan oleh Mgr. van Bekkum tujuh tahun sebelumnya. Dalam artikel ini, penulis akan menguraikan bagaimana Mgr. van Bekkum memaknai Firman Allah dalam perspektif dialog antara jati diri budaya dengan jati diri Kristiani.

Siapakah Mgr. Wilhelmus van Bekkum?

Pewarta Lintas Budaya

John Prior mendeskripsikan Mgr. van Bekkum sebagai orang yang unik, tersendiri, bersendiri. Orangnya tidak hanya dibentuk sejarah tetapi juga mampu membentuk sejarah. Pembawaan diri ini tampaknya juga dipengaruhi oleh latar belakang keluarganya. Mgr. van Bekkum lahir pada tanggal 3 Maret 1910. Pekerjaan ayahnya, Geradus van Bekkum adalah koster Gereja. Hal ini menunjukkan bahwa Mgr. van Bekkum terlahir dan dibesarkan dalam keluarga yang sederhana. Tentang kesederhanaan ini, Pastor G. Rentick dalam suratnya kepada Pater Rektor, Johanes Bouma di Uden demikian: “…seorang anak yang baik, cerdas, berasal dari orangtua yang baik dan jujur, namun…tidak punya duit.” Selain berasal dari keluarga sederhana, van Bekkum juga kurang sehat.

Mgr. van Bekkum memulai ziarahnya dalam panggilan menjadi imam pada tahun 1922 di seminari menengah di Uden, Belanda. Kemudian, pada tahun 1929 dia memutuskan untuk bergabung dengan Serikat Sabda Allah (SVD). Masa-masa novisiat dan studi filsafat dilakoninya di Helvoirt, Belanda, sedangkan studi teologinya di Teteringen, di negeri yang sama. Mgr. van Bekkum akhirnya mengikrarkan kaul kekal pada tanggal 21 April 1935 dan tahbisan imam diterimanya pada tanggal 18 Agustus 1935. Meskipun beliau tertarik dengan negeri Cina, kongregasinya mengutus dia ke Kepulauan Nusa Tenggara, Indonesia.

Setelah mengikuti studi etnografi pada tahun 1935-1936, Mgr. van Bekkum meninggalkan Belanda menuju daerah misi pada tanggal 4 September 1936 dan tiba di Ende pada tanggal 13 Oktober 1936. Regio SVD mengutusnya untuk berkarya di Manggarai sehingga pada bulan Januari 1937, beliau mulai berkarya di Ruteng. Dari sejarah karya misi di Manggarai, Mgr. van Bekkum digolongkan sebagai misionaris perintis, imam ketujuh belas yang berkarya di Manggarai. Dengan demikian, perbincangan seputar perkembangan Gereja Katolik Manggarai mesti juga dihubungkan dengan karya misionernya.

Perjalanan hidupnya diwarnai karir yang menantang. Awalnya, dia diberi tugas sebagai pastor kapelan. Kemudian, pada tahun 1940, dia diberi kepercayaan sebagai inspektur untuk sekolah dasar di seluruh Manggarai. Tanggung jawab yang mesti diembannya adalah menjaga sekolah-sekolah itu agar memenuhi persyaratan sesuai kesepakatan antara misi dan Pemerintah Belanda. Sementara itu, sekolah-sekolah itu berada terpencar di seluruh Manggarai dan masyarakat masih asing dengan sekolah.

Kemudian, dia diangkat sebagai Deken dan Rektor Manggarai pada tahun 1947. Beberapa tahun kemudian, pada tanggal 8 Maret 1951 Paus Pius XII menetapkan pemekaran Vikariat Apostolik Ende menjadi tiga vikariat, yaitu Ende, Larantuka dan Ruteng. Status Dekenat Manggarai dinaikkan menjadi Vikariat Apostolik Ruteng. Mgr. van Bekkum diangkat menjadi Uskup Tituler dari Tigia dan menjabat sebagai Vikaris Apostolik Ruteng. Penahbisannya sebagai uskup dilangsungkan pada 13 Mei 1951.

Hingga akhir hayatnya, beliau hanya berkarya di Manggarai. Meski demikian, salah satu hal yang tak dapat disangkal adalah keberadaannya sebagai orang asing di tengah gembalanya. Tidak mengherankan bahwa ketika berkarya di Manggarai, Mgr. van Bekkum berjuang untuk mengenal budaya Manggarai. Historiografi yang ditulisnya dengan sudut pandang orang luar sangat jelas menunjukkan bahwa beliau adalah orang asing yang berusaha untuk mengenal historisitas Manggarai. Bahkan menjelang ajalnya, beliau tetap tahu diri sebagai orang asing. Katanya, “Terima kasih kepada (kamu) semua, karena saya boleh hidup selama 61 tahun di tengah orang Manggarai.”

Pewarta Sabda dalam Bingkai Ius Commissionis

Mgr. van Bekkum merupakan anggota dari Serikat Sabda Allah (SVD). Serikat ini terbentuk di Eropa pada tahun 1875 oleh Arnold Janssen. Arah awal serikat ini didirikan adalah karya misioner di daerah misi. Pada tahun 1901 serikat ini diakui secara resmi oleh Takhta Suci dan konstitusinya mendapat approbasi resmi dari Paus pada tahun 1905. Dengan demikian, Serikat Sabda Allah telah diakui sebagai salah satu serikat religius dengan tujuan karya misi.

Dalam nukilan sejarah SVD sebagaimana digambarkan oleh Georg Kirchberger, ada beberapa karya pastoral yang menjadi warna khas karya misi SVD. Pertama, pendidikan bagi imam pribumi baik untuk menjadi anggota serikat maupun juga untuk imam-imam diosesan. Di sini, SVD berkeyakinan bahwa sebuah serikat misioner tidak boleh bersikap egoistis, melainkan harus dengan sekuat tenaga mendukung perkembangan Gereja lokal yang dilayani.

Kedua, kerasulan media komunikasi. Pendiri serikat ini sungguh menyadari peran media dalam karya pewartaan. Tidak mengherankan bahwa para misionaris SVD di setiap wilayah kerjanya mendirikan sebuah percetakan untuk mendukung karya misioner dan pembinaan iman serta keterampilan umat dengan barang-barang cetakan.

Ketiga, ilmu dan sekolah. Serikat ini sangat memperhatikan pendidikan. Namun, sejak awal ada pertentangan dalam menetapkan statuta di mana pendiri ingin membagi anggota dalam dua kategori, misionaris untuk orang kafir dan misionaris untuk mengembangkan ilmu dalam semangat Kristiani. Hal ini mendapat perlawanan dari anggota sehingga tidak dimasukkan dalam statuta. Walaupun demikian, dalam perjalanan waktu masih banyak anggota SVD yang mengembangkan ilmu pengetahuan.

Keempat, karya sosial. Para misionaris SVD memiliki perhatian yang serius dalam pengembangan karya sosial. Hal ini secara eksplisit tertuang dalam Konstitusi 115 dari Konstitusi Sementara hasil Kapitel 1967, yaitu “Cinta kasih apostolik hendaknya mendorong kita mengambil bagian dalam pembangunan….di bidang ekonomi dan sosial….”

Dalam bingkai karya misioner seperti di atas, SVD mulai mengambil bagian dalam karya misi di Indonesia pada awal abad 20. Sebelumnya, Serikat Jesuit merupakan satu-satunya serikat yang berkarya di Indonesia. Pada tanggal 1 Maret 1913 terjadi penyerahan resmi wilayah Nusa Tenggara dari Serikat Jesuit ke tangan SVD yang terjadi di Lahurus, Timor dari P. Adrianus Mathijsen, SJ kepada P. Petrus Noyen, SVD. Tidak lama berselang, 16 September 1913 wilayah ini ditetapkan menjadi sebuah wilayah Prefektur Apostolik. Pada tanggal 20 Juli 1914, atas persetujuan Vikaris Apostolik di Batavia dan Superior Serikat Jesuit, Vatikan memutuskan bahwa daerah misi di Flores dan sekitarnya diambil alih oleh SVD dari tangan para imam Jesuit. Kurang lebih tiga tahun kemudian, Jesuit mengakhiri misi di Flores pada 14 Mei 1917.

Tanggung jawab SVD dalam menjalani karya misionernya didasarkan pada kebijakan Propaganda Fide yang dikenal dengan Ius Commissionis. Kebijakan ini menyatakan bahwa Takhta Suci lewat Propaganda Fide menyerahkan tanggung jawab wilayah misi kepada suatu ordo atau serikat. Ordo/serikat tersebut bertanggung jawab untuk segala bentuk karya misioner dalam wilayah misi. Para Wali Gereja bagi suatu daerah misi juga diambil dari antara anggota ordo/serikat yang bersangkutan. Permintaan ordo/serikat untuk berkarya di satu daerah misi oleh Wali Gereja harus seijin pembesar tertinggi ordo/serikat. Demikianlah, ketika Nusa Tenggara diserahkan kepada SVD, maka segala karya misioner menjadi tanggung jawab SVD.

Ada pun realisasi tanggung jawab dalam karya misi itu dapat dilihat pada beberapa hal berikut. Pertama, Flores-Sumba Contract/Regeling. Kontrak ini muncul pada tahun 1913, tetapi kemudian mendapat penolakan dari pemerintah di Belanda. Melalui perundingan dan perubahan formulasi, kontrak ini diumumkan pada tanggal 20 Oktober 1915. Isi dari kontrak ini adalah misi/zending bebas menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran dengan biaya ditanggung oleh pemerintah dan pemerintah tidak akan mencampuri urusan itu selama misi/zending menjalankan usaha ini dengan hasil yang memuaskan. Selain itu, dalam kontrak ini disebutkan bahwa Nusa Tenggara dibagi ke dalam dua wilayah, yaitu wilayah misi dan wilayah zending. Misi Katolik hanya berkarya di wilayah Flores, Timor Tengah Utara, dan Belu sedangkan zending Protestan berkarya di Sabu, Rote, Sumba, Kupang, Timor Tengah Selatan, Alor dan Pantar. Dengan demikian, tidak ada cross missionering kedua wilayah itu.

Bertolak dari kontrak itu, Mgr. Noyen secara bertahap membuka sekolah-sekolah misi. Dalam hal ini, uskup bertindak sebagai penguasa tunggal dibantu oleh seorang inspektur sekolah misi. Inspektur sekolah misi bertanggung jawab untuk mengadakan inspeksi sebagai persiapan inspeksi oleh pemerintah. Dalam pelaksanaannya, misi SVD menyelenggarakan pendidikan dengan diboncengi pewartaan Sabda. Di sini, sekolah menjadi pusat misi dan kemajuan karya misi dicapai lewat sekolah-sekolah. Sekolah merupakan kantong strategis kristianisasi.

Kedua, manuale pastorale. Pada tahun 1922, Superior Jenderal SVD mengunjungi Nusa Tenggara dan pada kesempatan itu diadakan Konferensi Misi di Ndona pada tanggal 20-26 Maret. Konferensi itu diadakan dengan tujuan untuk membahas program dan metode pastoral yang sama di seluruh Nusa Tenggara. Dalam perkembangan selanjutnya, konferensi misi ini diadakan secara berkala yang berpuncak pada Sinode Ndona tanggal 16-22 Agustus 1935 di bawah pimpinan Vikaris Apostolik H. Leven SVD. Hasil dari Sinode itu dibukukan pada tahun 1939 sebagai Manuale Pastorale. Philip L. Riwu mengakui bahwa dengan adanya pedoman pastoral dan sikap para misionaris yang secara tertib melaksanakannya merupakan salah satu kunci keberhasilan karya SVD di Nusa Tenggara.

Ketiga, Flores Timor Plan. Pembangunan yang terorganisasi dan terkoordinasi untuk Nusa Tenggara dapat dilaksanakan dengan baik melalui Flores Timor Plan. Hal ini diawali dengan survei di Flores dan Timor oleh ahli dari Jerman untuk merancang rencana pengembangan sosial ekonomi umat berbasiskan data dan fakta di lapangan. Hasil dari survei itu tertuang dalam FTP di mana program kerja itu berisikan 357 proyek yang dialokasikan di sekitar 28 tempat sebagai pusat. Proyek-proyek itu dibagi ke dalam tujuh bidang, yaitu (1) Pertanian dan perikanan, (2) pertukangan dan home industry, (3) perumahan, (4) kesehatan dan pekerjaan sosial, (5) Pendidikan formal dan nonformal, (6) perhubungan dan (7) organisasi dan kaderisasi.

Untuk merealisasikan cita-cita menjadikan Flores sebagai Pulau Katolik, mengutip Fransiska Widyawati, ada pun langkah yang ditempuh adalah membaptis sebanyak mungkin orang lokal. Pembaptisan dijalankan tanpa memahami betul soal agama Katolik. Setelah dibaptis, mereka diberi pengajaran sederhana dan dari antara mereka dipilih untuk menjadi guru agama. Kemudian guru agama ini mempersiapkan dan juga membabtis orang lain untuk menjadi Katolik. Dalam karya pembaptisan ini, para misionaris lebih mengutamakan pembaptisan anak-anak. Dengan kata lain, para misionaris memprioritaskan pembaptisan generasi muda ketimbang generasi tua.

Konteks Pastoral Mgr. Wilhelmus van Bekkum

Manggarai: Peralihan dari Komunitas Tertutup ke Komunitas Terbuka

Menurut Robert Lawang, struktur sosial masyarakat Manggarai yang murni dapat dilihat sebelum tahun 1600-an di mana belum ada pengaruh asing di Manggarai. Adapun struktur sosial-budaya asli Manggarai adalah sistem kekerabatan wa’u. Dalam sistem klan patrilineal ini, anggota klan dapat tinggal dalam satu béo (kampung) atau juga dapat tinggal di kampung yang berbeda. Jika anggota klan tinggal di tempat yang berlainan, maka dalam kesempatan-kesempatan tertentu, mereka akan berkumpul, seperti nempung, penti, dan kelas.

Setiap béo hidup dan tinggal terpisah tanpa ada rasa kesatuan dengan béo-béo yang lain. Lebih lanjut setiap béo memiliki lima hal berikut: mbaru gendang, waé téku, compang, boa dan lingko. Otoritas tertinggi dalam setiap béo adalah tu’a béo/tu’a golo yang merupakan gabungan dari tu’a panga atau anak laki-laki yang sudah berkeluarga dari klan tersebut. Badan ini dikepalai oleh orang yang paling tua dalam struktur kekerabatan wa’u. Keputusan yang diambil biasanya selalu merujuk pada warisan yang diturunkan dari pendahulu yang mengedepankan bantang cama réjé léléng dan lonto léok. Hal menonjol yang berhubungan dengan béo adalah mengutamakan kepentingan umum, seperti kebersihan béo, perawatan dan pemeliharaan hukum adat, pelaksanaan ritus-ritus adat.

Kebutuhan ekonomi bergantung pada lodok lingko (membuka dan membagi kebun baru), tobok (membagi ulang kebun yang sudah di garap pada musim sebelumnya) dan peternakan. Karakter dari pola berkebun lodok lingko dan tobok adalah sistem ladang berpindah-pindah. Ladang-ladang tidak digarap sepanjang tahun; setelah panen usai, kebun dibiarkan tanpa dirawat hingga musim berikutnya tiba. Jika tidak memberikan hasil yang cukup, kebun itu tidak dikerjakan lagi dan dibiarkan begitu saja dan pada akhirnya dilepaskan. Sementara dalam peternakan, orang Manggarai tidak ada kebiasaan untuk memelihara ternak dalam kandang. Hewan piaraan, terutama babi, kerbau dan kuda ini sangat dibutuhkan dalam urusan adat, seperti belis. Dilihat dari sisi ekonomis, orang Manggarai tradisional relatif sama. Kekurangan kebutuhan primer ditalangi oleh kearifan untuk ngende, tuda dan paar weki.

Disinyalir bahwa kehadiran pengaruh asing membawa perubahan besar situasi-situasi di atas. Dalam hal ini, kekuasaan Bima diterima sebagai faktor luar yang mempercepat proses integrasi Manggarai. Kekuasaan Bima membagi Manggarai ke dalam satuan administratif yang disebut dalu. Perkembangan yang lebih signifikan mulai terasa pada awal ke XX dengan hadirnya Belanda dan Misi Katolik di Manggarai. Belanda dan Misi Katolik mempercepat integrasi Manggarai dengan pengangkatan Alexander Baroek, putera Manggarai sebagai raja.

Integrasi Manggarai dan pengangkatan putra pribumi memimpin Manggarai membawa beberapa perubahan. Pertama, komunitas kecil béo tidak lagi menjadi komunitas tertutup dan terpisah melainkan masing-masing komunitas kecil berada dalam jejaring sosial budaya yang berhubungan dengan yang lain. Hal ini menjadi nyata dalam integrasi Manggarai di mana kedaluan yang sudah terbentuk pada masa penguasaan Bima kini berada dalam jaringan relasi vertikal dan horisontal.

Bersamamaan dengan proses integrasi ini, (kedua) perubahan lain yang patut dicatat adalah perubahan pola pertanian, yakni dari pertanian sederhana ke pertanian modern yang ditandai dengan percetakan sawah dan penanaman kopi sebagai komoditas ekonomi. Dengan demikian, jika sebelumnya lahan pertanian hanya diolah pada musim tertentu, lalu dibiarkan tanpa perawatan maka mulai pada masa ini, lahan pertanian mulai diolah dengan baik dan pelan-pelan dipelihara. Dengan kata lain, terjadi perubahan dari sistem ladang berpindah-pindah ke sistem ladang menetap.

Selain dua hal di atas, (ketiga) perkembangan lain adalah, orang Manggarai sudah mulai mengenyam dunia pendidikan. Kehadiran dunia pendidikan mendatangkan kategori sosial yang baru, yaitu pegawai (kantor) dan guru. Kehadiran pegawai dan guru ini menimbulkan kegoncangan mental yang mana ada orang yang tidak berkebun tetapi bisa hidup lebih baik dari para petani yang bekerja menghasilkan padi, jagung dan lain-lain. Untuk mereka ini disebut limé nggélok (tangan bersih) dan mereka dianggap sebagai orang-orang istimewa di mana gaya hidup mereka mirip dengan orang Belanda dan berbeda dengan orang Manggarai. Diakui bahwa kehadiran mereka membawa pengaruh bagi kehidupan orang manggarai.

Bertolak dari gambaran di atas, situasi Manggarai pada zaman itu berada dalam peralihan penting bagi perkembangan Manggarai selanjutnya. Dalam peralihan itu, kehadiran pihak asing memainkan peran penting dalam memantik perubahan. Pihak asing dengan kuasa dan kelebihan yang dimiliki merubah hidup orang Manggarai baik dari segi ekonomi, politik maupun budaya. Singkatnya, kontak dengan dunia luar memungkinkan terjadinya peralihan.

Gereja Lokal Mulai Bertumbuh dan Berkembang

Umumnya diterima bahwa pewartaan iman Kristen Katolik memasuki Flores pada abad ke-16. Hal ini dimulai di Flores Timur di mana pada tahun 1959 seorang saudagar mempermandikan Raja Solor dan anggota keluarganya. Misi solor ini cukup berkembang baik di mana misionaris Portugis menjadi ujung tombak karya misi dan berhasil mendirikan Gereja dan seminari. Dalam perjalanan selanjutnya, Misi Solor mengalami kesulitan. Ada banyak misionaris yang mengalami penganiayaan dan penyerbuan. Bertolak dari situasi ini, maka dibangunlah benteng. Sementara itu, Bangsa Portugis juga sering menyerang orang-orang setempat yang dianggap sebagai pemberontak. Hal ini justru menimbulkan kebencian yang lebih besar kepada Portugis.

Dari Pulau Solor, misionaris Dominikan mengunjungi Larantuka. Perlahan-perlahan, misi ini berkembang ke arah barat Pulau Flores. Bahkan Pulau Ende yang sekarang beragama Islam adalah juga wilayah yang berhasil dikristenkan pada abad ke-16. Dari karya misionaris perintis ini, tercatat ada sekitar 25.000 umat Katolik dari Flores Timur hingga Ende. Karya misi dari Bangsa Portugis rupanya berakhir pada abad ke 16 dengan kedatangan Belanda.

Meskipun Flores sudah mengalami karya misi Gereja pada abad ke-16, namun hal ini tidak menyebar hingga ujung barat Pulau Flores. Manggarai yang berada di ujung barat Flores merupakan bagian paling akhir yang berkenalan dengan kekristenan. Kabar Gembira mulai menyapa Manggarai pada tahun 1912 di mana pada tanggal 17 Mei 1912 misionaris Yesuit, P. Hendrikus Looijmans mempermandikan beberapa orang Manggarai di Jengkalang Reo. Walaupun sudah ada yang dibaptis menjadi Katolik, hingga kedatangan SVD belum ada karya misi yang tetap untuk Manggarai.

Serikat SVD untuk pertama kali berkenalan dengan Manggarai pada tahun 1914 ketika P. Noyen menjelajahi Manggarai. Namun, SVD sesungguhnya mulai berkarya di Manggarai pada tahun 1920. Kehadiran misionaris SVD mempercepat pertumbuhan Gereja lokal. Misionaris SVD yang pertama kali berkarya di sana adalah P. Bernhard Glaneman. Dia membuka stasi misi di Ruteng pada tahun 1920 dan menetap di sana. Pada tahun berikutnya, 1921, P Wilhelmus Yansen membuka stasi misi yang kedua, yaitu Lengko Ajang dan P Frans Eickmann membuka stasi misi yang ketiga di Rekas pada tahun 1924.

Gereja lokal ini mengalami pertumbuhan yang cepat. Dari tiga stasi ini, Gereja terus berkembang pesat. Pada tahun 1929 wilayah misi Manggarai ditetapkan sebagai dekenat. Hingga pesta perak misi SVD di Flores pada tahun 1939, umat Katolik Manggarai berjumlah 65.592. Selama tahun yobel itu terjadi pembabtisan sebanyak 7.388 jiwa, termasuk 3.197 anak-anak. Lebih lanjut, keberadaan Gereja lokal ini makin kuat ketika status Dekenat Ruteng ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik. Akhirnya, Gereja muda ini oleh kemurahan Takhta Suci ditingkatkan menjadi keuskupan pada tanggal 3 Januari 1961.

Memahami Karya Pastoral Mgr. Wilhelmus van Bekkum

Keterbukaan dan Penghargaan: Sikap Dasar dalam Dialog

Mgr. van Bekkum memasuki Manggarai ketika masyakarat Manggarai sedang beralih dari komunitas tertutup menjadi komunitas terbuka. Belum lama sebelumnya, Manggarai telah mulai terbuka dengan dunia luar. Sebelumnya, sudah ada yang berminat untuk memperhatikan budaya Manggarai, seperti J.W. Meerburg. Namun, Mgr. van Bekkum boleh dikatakan sebagai orang pertama yang memberikan perhatian khusus pada budaya Manggarai.

Ketertarikan terhadap budaya dapat juga diterima mengingat dia merupakan misionaris perintis (imam ke-17 yang menetap di Manggarai) untuk karya misi di Manggarai. Hingga akhir hayatnya, dia hanya berkarya di Manggarai. Meski demikian, salah satu hal yang tak dapat disangkal adalah keberadaannya sebagai orang asing di tengah dombanya. Tidak mengherankan bahwa ketika berkarya di Manggarai, Mgr. van Bekkum berjuang untuk mengenal budaya Manggarai.

Mgr. van Bekkum merupakan orang pertama yang menulis historiografi Manggarai. Dalam kerendahan hatinya Mgr. van Bekkum menyadari kekayaan yang terkandung dalam suatu budaya sembari mengakui keterbatasannya dalam mengenal budaya lain. Dia menulis demikian: “Selama mengumpulkan bahan adat untuk suatu maksud tertentu, saya belum menjumpai satu titik terangnya soal adat ini.” Pernyataan ini juga menunjukkan kesadaran bahwa dengan sudut pandang sebagai orang asing, Mgr. van Bekkum memiliki keterbatasan dalam memahami budaya Manggarai. Meski demikian, salah satu hal yang dipetik adalah dirinya telah berusaha seturut kemampuannya untuk mengenal dan memahami budaya Manggarai.

Menjelang ajalnya, Mgr. van Bekkum tetap tahu diri sebagai orang asing. Katanya, “Terima kasih kepada (kamu) semua, karena saya boleh hidup selama 61 tahun di tengah orang Manggarai.” Dalam ungkapan terima kasih ini, meskipun sebagai orang luar dengan peradaban barat yang lebih maju, beliau tetap memilih untuk mengakhiri hidupnya dan menyatu dengan tanah Manggarai. Pilihannya untuk mengakhiri hidup di tanah Manggarai dapat dilihat sebagai ungkapan kecintaan dan penghormatan terhadap budaya Manggarai.

Sebagai orang asing, mengenal budaya lain bukanlah perkara mudah. Selain itu, dia tidak ditugaskan sebagai etnolog atau antropolog oleh serikatnya. Dalam kesibukan untuk menjalankan tugas pastoralnya, Mgr. van Bekkum masih meluangkan waktu untuk mempelajari budaya Manggarai. Baginya, karya pastoral hanya mungkin membuahkan hasil jika karya itu didasari oleh komitmen untuk memperhatikan secara seimbang antara karya routine (rutin) dan research (riset). Dari sini, diakuinya pula hal ini hanya mungkin jika memiliki sikap untuk mengurbankan diri. Apa yang dikatakan ini bukanlah kata-kata hampa. Kesungguhannya dalam mengenal budaya Manggarai telah menjadi sumbangan berharga bagi Gereja Katolik Manggarai dan untuk orang Manggarai seluruhnya.

Perjumpaan antara budaya Manggarai dan iman Kristiani hanya mungkin terjadi karena keterbukaan masing-masing pihak. Manggarai adalah suatu masyarakat yang responsif dan adaptif terhadap Kekatolikan. Orang Manggarai mudah untuk menerima dan berkonversi dari agama tradisional ke agama dunia serta mengadopsi Kekatolikan sebagai bagian dari identitas mereka. Bagi orang Manggarai, iman Katolik tak dapat dialami dalam bentuknya yang murni terpisah dari ekspresi-ekspresi budaya.

Dalam keterbukaan itu, iman Kristiani sejatinya menghargai budaya setempat. Mgr. van Bekkum dalam Konsili Vatikan II merupakan salah satu anggota komisi liturgi yang getol menyuarakan pemakaian bahasa setempat dalam liturgi. Selain itu, ia juga mengakomodir orang-orang dari budaya setempat untuk terlibat dalam komisi liturgi. Mgr. van Bekkum menandaskan:
I considered my people much wiser than myself, especially the aged ones among them,”…, “and so like a pupil I was always ready to learn whatever I could from them, especially whatever in their culture had possibilities of adaptation in the field of liturgy.”

Sasaran Dialog: Humanisasi Budaya dan Pembaruan Iman

Iman Kristiani dapat berkembang dan bertahan karena adanya ruang perjumpaan dengan budaya setempat. Dengan kata lain, iman Kristiani selalu bertumbuh dalam konteks. Karena itu, dialog timbal-balik antara keduanya sejatinya akan memperkaya kedua belah pihak.

Mgr. van Bekkum merupakan salah satu pembicara pada Kongres Liturgi Internasional di Asisi pada tahun 1956. Pada kesempatan itu, dia berbicara tentang pembaharuan liturgi untuk keperluan misi. Baginya, kebaktian religius asli budaya setempat tidak boleh dibuang dan menjadi hilang karena pemakluman kabar gembira. Sebaliknya, para misionaris hendaknya menghormati keanekaan dan dunia ritual masyarakat setempat dan menjadikannya dengan fungsi baru dalam kebaktian Kristiani. Demikian ia berpandangan:
The age-old rites of these people give expression to the most delicate nuances of spiritual experience, and it is a very real loss if we do not give at least the nobler forms of their ritual a new function in Christian worship. (Upacara lama mereka memberikan ekspresi pengalaman spiritual dengan nuansa lembut dan hal itu tampak akan hilang jika kita tidak memberikan sedikit bentuk yang baik dari ritual mereka dengan suatu fungsi dalam kebaktian Kristiani).

Mgr. van Bekkum mengakui adanya perubahan sebagai buah dari adanya kontak dengan dunia luar. Watak khas orang Manggarai ialah reseptif dalam artian mudah menerima pengaruh luar, entah itu pengaruh baik atau buruk. Berhadapan dengan kepribadian seperti ini, Mgr. van Bekkum mengakui bahwa orang Manggarai mudah bertransformasi ke arah cara hidup yang lebih baik. Di pihak lain, adanya kontak dengan dunia luar juga mengakibatkan kehilangan unsur-unsur tertentu. Salah satu hal yang diamatinya adalah kepercayaan tua atau lama akan hilang dari kehidupan bersama dalam jangka waktu beberapa windu.

Dialog sejati tidak hanya dinyatakan dengan mengambil nilai-nilai budaya untuk kepentingan asing. Salah satu hal yang dihayati oleh Mgr. van Bekkum adalah memberikan kritik kebudayaan dalam rangka humanisasi budaya. Jika mata batin melihat yang amanusiawi dalam suatu budaya, sikap yang tepat adalah tidak membiarkan hal itu tetap berjalan. Pergumulan Mgr. van Bekkum dapat terbaca dari pertanyaan berikut: “Apakah manfaatnya kelak hendak menempatkan satu suku bangsa sebagai obyek hidup dalam sebuah museum?”

Di pihak lain, budaya Manggarai telah memperkaya iman Kristiani. Di sini, dialog dengan budaya Manggarai telah memungkinkan pembaruan iman. Mgr. van Bekkum mengakui bahwa kehidupan kafir dapat membantunya dalam memahami liturgi secara baik. Sebelum bertemu dengan kekayaan rohani dalam budaya setempat, Mgr. van Bekkum kurang menghayati liturgi dengan baik. Namun, dalam perjalanan waktu dia akhirnya mengakui kecintaan terhadap liturgi juga menjadi buah dari pertemuannya dengan “bangsa kafir”. Berkaitan dengan hal ini, dia menegaskan bahwa dalam menghidupi liturgi setiap misionaris perlu mengindahkan sudut pandang budaya setempat terutama dalam kebaktian religiusnya.

Integrasi Budaya dalam Liturgi sebagai Dialog antara Jati Diri Budaya dan Iman Kristiani

Para misionaris SVD menyadari bahwa karya pewartaan tidak boleh lepas pisah dari budaya setempat. Hal dapat terbaca dari perhatian mereka terhadap budaya Manggarai. Mgr. van Bekkum berkisah demikian: “Diri saya baru memasuki wilayah Manggarai kira-kira pada tanggal 21 Januari 1937. Di situ saya bertemu dengan 10 pater dan mengalami suasana pastoral yang luar biasa. Keadaan paroki, bahasa daerah, adat istiadat, kebudayaan, itulah bahan harian pembicaraan Mereka.” Perhatian terhadap budaya juga sangat nyata ketika para misionaris berkatakese dan merayakan ibadat dalam bahasa Manggarai. Selain itu, mereka giat menerjemahkan doa-doa Gereja ke dalam bahasa Manggarai. Hal ini diteruskan pada masa kegembalaan Mgr. van Bekkum. Misalnya, dalam hasil sidang Dewan Konsultores 1961 tertuang beberapa hal berkaitan dengan penerjemahan dan pemakaian bahan terjemahan dalam liturgi.

Tanpa mengabaikan karya baik dari semua misionaris lainnya, dua nama yang disebut-sebut dalam pengintegrasian budaya Manggarai dalam Kekristenan adalah Mgr. van Bekkum dan Jilis A. J. Verheijen. Pada tahun lima puluhan, Mgr. van Bekkum mulai memasukkan unsur-unsur adat ke dalam liturgi. Inisiatif ini merupakan terobosan berani dan serius ke arah inkulturasi liturgi di Flores. Upaya ini merupakan jalan yang mengharumkan budaya Manggarai dan sekaligus mengantar Mgr. van Bekkum menjadi tokoh penting dalam Konsili Vatikan II untuk Komisi Liturgi.

Dalam semangat inkulturatif, upacara penti (syukur panen) dintegrasikan dalam ekaristi kudus. Untuk pertama kali misa penti ini diadakan di Riwu dan Manus. Ada pun perayaan syukur ini dimulai dengan memberi penghormatan kepada leluhur di mana imam mengadakan pemberkatan makam. Ritus ini dilanjutkan ke tempat penimbaan air dan air berkat yang diambil dari situ dipakai untuk memberkati semua rumah teristimewa kamar tidur orang tua di seluruh kampung. Puncak dari kegiatan ini adalah misa di tengah kampung di mana wakil dari setiap klan mengelilingi altar. Perayaan syukur ini dikenal dengan sebutan “Misa Kaba”.

Selain misa kaba, upaya pengintegrasian ini yang juga masih terpelihara baik sampai sekarang tampak pada penggunaan Dere Serani. Dere Serani merupakan buku nyanyian yang di dalamnya berisi kumpulan lagu-lagu asli Manggarai yang bisa dipakai dalam perayaan liturgi. Bahwa sebelum Mgr. van Bekkum tiba di Manggarai sudah diberi dorongan, tetapi usaha ini baru mendapat tanggapan serius pada tahun 1936 (tahun masuknya Mgr. van Bekkum di Manggarai). Kontribusi dari Mgr. van Bekkum adalah memberikan dorongan dan motivasi sehingga pada tahun 1960 Dere Serani Jilid II dicetak yang berisikan 52 lagu hasil karya 24 komponis. Pada tahun 1963 Dere Serani berkembang lebih pesat lagi. Untuk cetakan ketiga, ada 96 lagu asli dan 84 lagu terjemahan.

Dalam Konsili Vatikan II, Mgr. van Bekkum merupakan salah satu Bapa Konsili yang getol memperjuangkan penggunaan bahasa ibu dalam liturgi. Bahkan dia berharap agar semua bahasa menjadi bahasa sakramen. Sebab dengan menggunakan bahasa ibu, vitalitas dan kekayaan liturgi akan tercapai. Dengan kata lain, penggunaan bahasa ibu akan menjadikan pewartaan itu dimengerti dan diresapi. Apa yang menjadi keyakinannya sungguh dihayati dalam karya pastoralnya. Misalnya, surat gembalanya diterjemahkan ke dalam bahasa Manggarai.

Mgr. van Bekkum mencemaskan bahwa ketika orang-orang menjadi Kristen, mereka kehilangan warisan religius, sosial dan budaya yang sudah lama dan yang mempresentasikan hal fundamental dalam hidupnya, keyakinannya dan tindakannya. Mgr. van Bekkum menandaskan:
When a pagan becomes Christian, what in fact happens? First of all he loses all the religious, social, and cultural heritage which he had in the old tradition and which represesnted to him the fundamental things in his life, his convictions and his actions.”

Kenyataan seperti ini merupakan hasil dari cara pandang yang bertolak dari luar terutama pada pandangan ilmiah dan hal ini menyulitkan misionaris untuk memahami apa yang sedang dilepaskan kaum kafir dalam kristenisasi. Kabar Gembira kiranya tidak membuang atau menghilangkan ritus-ritus pribumi, tetapi berjuang untuk mengkristenkan upacara-upacara setempat dan dengan demikian menampung semangat religus melalui sarana rahmat dan pada saat yang sama memerangi hal yang sia-sia.

Bertolak dari pengakuannya tentang ritus-ritus yang ada dalam budaya setempat, Mgr. van Bekkum berpendapat bahwa ritus-ritus itu dapat dintegrasikan ke dalam liturgi Katolik. Di sini, ritus-ritus pribumi dilihatnya sebagai persiapan untuk liturgi Katolik. Tindakan tersebut merupakan jawaban untuk memenuhi kerinduan umat beriman akan kebaktian yang menyapa mereka. Meski demikian, perlu diwaspadai bahwa tindakan tersebut tidak boleh mengabaikan hal-hal esensial dari kekristenan.

Penutup

Salah satu ciri dasar Konsili Vatikan II adalah dialog. Bagi Karl Rahner sebagaimana dikutip oleh Georg Kirchberger, Konsili Vatikan II merupakan tanda Gereja memasuki era baru, yaitu dari Gereja Eropa menjadi Gereja sedunia. Hal ini berarti bahwa penghayatan iman Kristiani juga dipengaruhi dan dibentuk oleh pelbagai bentuk kebudayaan seluruh dunia. Di sini, Gereja mesti berdialog dengan konteks di mana ia bertumbuh dan berkembang. Tanpa dialog dengan konteks, iman Kristiani tidak akan mengakar dalam suatu konteks budaya.

Mgr. van Bekkum telah menghayati dialog antara jati diri budaya dengan jati diri Kristiani sebelum Konsili Vatikan II. Bahkah ia merupakan salah satu Bapa Konsili yang getol menyuarakan agar Gereja berdialog dengan budaya setempat. Tampaknya, dialog telah menjadi daya dorong dalam menjalankan karya pastoralnya. Dialog sejati akan memperkaya budaya di satu sisi dan pembaruan iman Kristiani di pihak lain. Sebagai bentuk dialog kreatif antara jati diri budaya dengan jati diri Kristiani, Mgr. van Bekkum telah mengintegrasikan nilai budaya ke dalam liturgi Kristiani sebelum Konsili Vatikan II.

Referensi:

Baack, B. J., “Karya SVD Di Flores Dalam Bidang Sosial Ekonomi” dalam Hendrik Jawa, et al., Dalam Terang Pelayanan Sabda. Ende: Provinsi SVD Ende, 1990, hlm. 144-160. 
Boelaars, Huub J. W. M., Indonesianisasi Dari Gereja Katolik Di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Camnahas, Antonio, “100 Tahun SVD Di Indonesia: Konteks Historis, Kesuksesan, Kegagalan, Dan Retrospeksi Historis Untuk Masa Depan SVD” (Ms.). Maumere, 6 September 2013.
Chen, Martin, “Tahun Rahmat Tuhan Telah Datang” (Luk. 4:19) Refleksi Praksis Pastoral 100 Tahun Gereja Katolik Manggarai”, dalam Martin Chen dan Charles Suwendi (Eds.), Iman, Budaya dan Pergumulan Sosial. Jakarta: Obor, 2012, hlm. 2-37.
Jawa, Hendrik, “Karya SVD Di Bidang Pendidikan”, dalam Hendrik Jawa, et al., Dalam Terang Pelayanan Sabda. Ende: Provinsi SVD Ende, 1990, hlm. 86-109.
Jehandut, Bonefasius, Uskup Wilhelmus van Bekkum Dan Déré Serani. Jakarta: Nera Pustaka, 2012.
Kirchberger, Georg, “Sejarah Serikat Sabda Allah”, dalam Hendrik Jawa, et al., Dalam Terang Pelayanan Sabda. Ende: Provinsi SVD Ende, 1990, hlm. 21-41.
____, “Pengantar”, dalam Georg Kirchberger (Ed.), Gereja Berwajah Asia. Ende: Nusa Indah, 1995, hlm. 6-12.
Lawang, Robert, “Stratifikasi Sosial Di Cancar Manggarai-Flores Barat”. Disertasi, Universitas Indonesia , Jakarta, 1989.
Mboi, Ben, “Seratus Tahun Societas Verbi Divini (1913-2013)” (Ms.). Maumere, 6 September 2013.
Mukese, John D. dan Eduard Jebarus, Indahnya Kaki Mereka (Jilid I). Ende: Provinsi SVD Ende, 2004.
Möhlmann, Anton dan Wolfgang Ndouk, “Kronik Sejarah 75 Tahun SVD Berkarya Di Indonesia”, dalam Hendrik Jawa, et al., Dalam Terang Pelayanan Sabda. Ende: Provinsi SVD Ende, 1990, hlm. 45-68.
Prior, John M., “Sekapur Sirih”, dalam Bonefasius Jehandut, Uskup Wilhelmus van Bekkum Dan Déré Serani. Jakarta: Nera Pustaka, 2012, hlm. iii-x.
Riwu, Philip L., “Karya SVD Di Flores: Beberapa Sumbangan Pastoral”, dalam Hendrik Jawa, et al., Dalam Terang Pelayanan Sabda. Ende: Provinsi SVD Ende, 1990, hlm. 67-85.
Satu, Adam, “Karya Patoral SVD Di Manggarai 1914-Sekarang dan Masa Mendatang”, dalam Martin Chen dan Charles Suwendi (Eds.), Iman, Budaya dan Pergumulan Sosial. Jakarta: Obor, 2012, hlm. 38-52.
Sejarah Gereja Katolik Indonesia, I. Jakarta: Dokumentasi Penerangan KWI, 1974.
Sejarah Gereja Katolik Indonesia, III b. Jakarta: Dokumentasi Penerangan KWI, 1974.
van Bekkum, Wilhelmus, “Gedanken Zur ‘Constitutio De Sacra Liturgia”, dalam Verbum. Vo. 6, 1964, hlm. 124-136.
________, “Laporan Sidang Pertama Konsultor-Konsultor Dioses Ruteng 27 Juli-29 Juli 1961”, (Ms).
________, “Surat Puasa” (Ms.). 1952.
________, “Surat Puasa” (Ms.). 1955.
________, “Surat Puasa” (Ms.). 1956.
________, “Surat Puasa” (Ms.). 1958.
________, “Surat Puasa” (Ms.). 1961.
________, “The liturgical Problems of The Missions”, dalam Worship. Vol. XXXVII, No. 8, August-September 1963, hlm. 501-508.
________, “Warloka-Todo-Pongkor En Brok Geschiedenis van Manggarai”. Cultureel Indie Achst Jaargang E Brill-Leiden Juli/Agustus, VI, 1945, hlm. 144-152, Mei/Juni, VIII, 1946, hlm. 65-75 Juli/Agustus, IX, 1946, hlm. 122-130.
Widyawati, Fransiska, “The Development Of Catholicism In Flores, Eastern Indonesia: Manggarai Identity, Religion, And Politics”. Disertation, Gadjah Mada University, Yogyakarta, 2013.
http://conciliaria.com/2012/11/bishops-describe-liturgy-concerns-in-press-cnferences/. Diakses pada 25 nopember 2013.
http://archive.catholicherald.co.uk/article/7th-february-1958/10/penitential-but-it-certainly-keeps-you-warm-. Diakses pada 25 November 2013.
http://mv.vatican.va/3_EN/pages/x-Schede/METs/METs_Main_06.html. Diakses pada 1 April 2014.

Leave a Comment