Oleh: Benya Jegaut
Apakah aku dan mama meminta kakak untuk mencari papa? Apakah kakak sudah mendapatkan surat dari pemerintah dan berstatus orang Indonyang legal? Tadi pagi aku lihat siapa? Apakah itu jiwanya kakak?
Bunyi weker menyadarkan Ann dari tidur. Kali ini Ann yang bersegera mengangkat tubuh lalu mematikan weker yang terletak di samping bantal mamanya. “Sepertinya weker jatuh lagi tadi malam”, gumamnya.
Ann kemudian beranjak menuju tempat diletakkannya patung Bunda Maria. Dia menyalakan lilin yang berada di depan patung. Patung itu berada tepat di samping kanan tempat tidur mereka. Di pojok. Cukup tinggi dari tempat tidur mereka. Setelah itu Ann menunggu mamanya untuk berdoa.
Ann duduk di tempat tidur. Kedua kakinya ke belakang dijadikan alas untuk duduk. Sesekali direntangnya lurus ke depan. Kadang juga dia mencenguk. Matanya ke arah cahaya lilin.
“Aku melihat lilin itu cepat meleleh. Lain daripada biasanya. Api itu rasanya begitu panas. Dan sepertinya seluruh kalori yang dihasilkan tubuhku menyatu pada mata-mataku. Kemudian kedua mataku membawa kalori itu menuju api lilin itu. Apalagi kalau papa ada di sini dan sama-sama memandang lilin ini. Pasti lilin ini dalam sekejap saja habis oleh kalorinya sendiri, aku dan papa. Biar nenek cukup hanya memandang dari jauh dari hadirat Sang Khalik. Biar orang-orang hidup saja yang melakukan hal ini. Lalu bagaimana dengan Kakak Riki dan mama? Kalau kakak dan mama ikut, lilin ini tidak cocok. Maunya pakai lilin yang lebih besar. Atau biar mereka tunggu giliran berikutnya dengan lilin yang baru. He…em….”
Ann tersadar dari khayalnya. Mama belum juga bangun. “Aku sebaiknya berdoa sendiri.” Ann pun berdoa dengan menyampaikan ujud yang selalu aku-keluarga sampaikan setiapkali berdoa. Ujudnya: mohon penyertaan Tuhan dan doa-doa Bunda Maria dalam karya papa agar ia berhasil, tetap sehat dan bisa kembali.
Sebelum beranjak dari tempat tidur Ann bingung. Kenapa mamanya belum juga bangun? Biasanya mama yang lebih dulu sadar lalu menepuk-nepuk lenganku dengan lembut. Ann bisa saja membangunkan mama tapi Ann tidak mau mengganggu tidurnya. Barangkali mama sangat lelah. Atau mungkin mama sakit? Dalam ketakpastian itu Ann bergegas ke dapur untuk memasak air sesuai kebiasaan keluarganya.
Ann, seorang gadis kecil yang ditinggalkan oleh papanya belasan tahun lalu. Kata mamanya, papa pergi mencari nafkah di negeri seberang. Jauh. Ann mengenal wajah papa lewat foto yang tergantung pada dinding ruang tamu.
“Aku selalu mengelus-elus wajah papa dalam foto itu. Seingatku, aku pernah membuat sebuah karangan, tugas dari guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Aku mendeskripsikan papa menurut apa yang diceritakan foto itu. Baju kaus berkerah yang bersih dan apik. Rambutnya yang agak keriting. Alis mata yang lebat. Hidungnya mancung dengan dagu sedikit ditumbuhi jenggot. Selain itu aku melihat dalam foto itu sinar mata papa yang tak pernah redup. Matanya putih, bersih dan terang. Aku sungguh-sungguh mendeskripsikan kekhasan papaku. Aku lebih banyak membahasakan sinar matanya yang tak pernah kabur oleh usia dan debu yang melekat pada foto itu dengan bahasa yang sungguh hidup. Aku mendapat nilai dengan predikat sangat baik. Aku juga tahu banyak tentang papa dari Kakakku Riki. Dia berusia lima tahun di atasku. Tapi kadang aku tidak mempercayainya karena dia pernah bercerita bahwa papa hebat. Pemberani, hampir sama seperti yang aku tonton dalam sinetron-sinetron. Setelah aku tanya kepada mama, itu tidak benar. Lalu yang benarnya mana? Apakah semua yang diceritakan Kakak Riki salah? Mama biasanya tidak langsung menjawab pertanyaanku. Beberapa hari kemudian baru dia menjelaskannya. Sementara asyik menuangkan air ke dalam termos, Ann mendengar suara mamanya.
“Ann….”
“Ya, ma!” Balas Ann sembari berjalan cepat ke bilik.
“Mama sakit?”
“Tidak, mama baik-baik saja.”
“Atau mama memikirkan Kakak Riki? Ma, kakak masih ada. Dia belum bangun. Saya sangat yakin dia sungguh mencintai kita. Ma, pagi ini Ann mesti cepat ke sekolah. Kami ada apel bendera.”
Selama di perjalanan ia terus berpikir dan tanya tentang situasi rumahnya. Pertanyaan terus muncul meski dia sudah duduk di dalam kelas. Aku tidak tahu apa yang mama kerjakan di rumah sekarang. Apa mama melanjutkan pekerjaannya yang sudah dimulai minggu lalu? Aku tahu mama pasti sangat capek karena sendirian mengurus sawah. Kami sudah ketinggalan dari para tetangga dan warga kampung lain. Tenaga mama tidak sebanding dengan mereka yang mampu mengupahi orang lain. Di kampung kami upah untuk satu orang yang bekerja sehari penuh Rp10.000,-. Demikian kalau lebih dari satu orang. Pasti uang yang dikeluarkan lebih besar. Mama memang masuk anggota Campe Tau (saling bantu). Ini kelompok kecil yang anggotanya tidak lebih dari sepuluh orang. Anggota kelompok ini akan bekerja di sawah/kebun anggotanya secara bergilir tanpa upah. Ini semacan arisan tenaga.
Aku juga ingat Kakak Riki. Akhir-akhir ini kakak menjadi bahan cerita aku dan mama. Aku yakin orang-orang sekampung juga. Dia tidak seperti dulu. Kakak jarang di rumah. Dan kalaupun ada di rumah dia lebih banyak diam. Kakak sering berbicara ketika sedang tidur. Dia berbicara dengan teman-temannya. Dalam pembicaraannya kakak sering menyebut nama sebuah negeri yang jauh. Setelah itu dia diam sampai akhirnya bangun. Aku masih ingat sikap kakak dulu. Dia baik dan kehadirannya dalam kebersamaan kami selalu menyenangkan. Dulu dia memanggilku dengan Enu (nona), panggilan kesayangan di daerah kami. Saat itu aku sungguh merasakan kasih sayang papa lewat kembarnya, Kakak Riki. Kakak punya sinar mata yang sangat mirip dengan sinar mata papa dalam foto yang tergantung pada dinding ruang tamu.
“Ma, kenapa mama menangis?” tanya Ann.
“Ann, apa benar tadi pagi kamu melihat Riki tidur di sini?”
“Iya ma,” jawab Ann kecil.
“Ann ini surat Kakak Riki.” Ann mengulurkan tangannya dan menerima surat itu dari mamanya. Isinya singkat:
“Mama dan Adik Ann yang sangat Riki cintai. Selama ini aku bergulat cukup lama. Apakah aku pergi atau tidak ke Malaysia bersama teman-temanku. Mereka teman-teman sepermainan Riki. Pada akhir pergulatanku aku memutuskan untuk pergi ke sana. Pertama sekali, tujuanku bukan untuk mencari nafkah, tapi mau mencari kabar yang pasti tentang keberadaan papa. Aku janji, aku akan cepat pulang.”
“Apakah aku dan mama meminta kakak untuk mencari papa? Apakah kakak sudah mendapatkan surat dari pemerintah dan berstatus orang Indonyang legal? Tadi pagi aku lihat siapa? Apakah itu jiwanya kakak? Tuhan, bersama Bunda-Mu kami berdoa lindungilah dan pertemukanlah kakak dengan papa agar suatu saat mereka bisa kembali dan berkumpul bersama aku dan mama di rumah ini. Amin.”