Ekomomi yang Bermartabat

Oleh: Timotius J

Pola perekonomian yang mengakibatkan ketidakadilan dalam masyarakat dan ketidakseimbangan dalam tata alam menunjukkan bahwa kita sungguh telah jauh dari tujuan penciptaan.

Istilah ‘ekonomi’, yang berasal dari bahasa Yunani oikosdan nomos, pada hakikatnya berarti ‘tata pengelolaan rumah tangga’. Sebagai tata-kelola, istilah ‘ekonomi’ menunjuk pada proses atau usaha pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan hidup. Karena sumber daya selalu terbatas, padahal kebutuhan hidup sangat banyak, kemudian istilah ‘ekonomi’ juga menyangkut seni-memilih secara bijak antara banyaknya kebutuhan di satu pihak dan terbatasnya sumberdaya atau sarana di lain pihak. Setidaknya, kegiatan ekonomi dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan manusia untuk mencapai suatu tingkatan kesejahteraan atau kemakmuran dalam hidup.

Dalam rangka mencapai kebutuhan dan kesejahteraan hidup manusia, kita mengenal tiga macam kegiatan ekonomi, yaitu kegiatan produksi, kegiatan distribusi dan kegiatan konsumsi. Kegiatan produksi adalah usaha untuk menghasilkan atau menambah daya guna barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan. Sementara itu, kegiatan distribusi adalah usaha menyalurkan atau menyebarluaskan barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Usaha distribusi barang dan jasa meliputi perdagangan barang dan distribusi tenaga kerja. Dan, kegiatan konsumsi merupakan aktifitas manusia dalam memakai/menggunakan atau menghabiskan barang yang diproduksi.

Hidup secara manusiawi adalah hak paling asasi karena di atas hak itulah hak-hak lainnya dapat tegak berdiri, diperjuangkan dan diwujudkan. Kehidupan manusia adalah sesuatu yang diterima sebagai anugerah. Allah pemberi kehidupan menopang kehidupan manusia lain yang mengitari kehidupan manusia. Allah menganugerahi hidup kepada manusia sekaligus melengkapi hidup manusia dengan ciptaan lain yang dapat menopang hidupnya.

Prioritas utama dalam ekonomi adalah hidup manusia. Setiap orang berhak atas akses-akses sumber ekonomi dan hak itu harus dijamin dan dipertahankan di atas prinsip keadilan. Gereja juga meningatkan bahwa pengembangan ekonomi tidak dapat direduksi hanya pada peningkatan produksi, profit (keuntungan) dan penguasaan sumber ekonomi. Manusia sebagai pusat dan tujuan kemajuan ekonomi tidak bisa dan tidak boleh diganti oleh profit, penguasaan, peningkatan modal, apalagi manusia dikorbankan demi profit (keuntungan), akumulasi (penumpukan) atau penguasaan sumber ekonomi.

“Manusialah yang menjadi pencipta, pusat dan tujuan seluruh kehidupan sosial ekonomi” (GS 63). Manusia harus diprioritaskan. Sehungguhnya ekonomi bukan segala-galanya dalam pembangunan, melainkan manusia dalam keutuhannya. Ini berarti bahwa setiap upaya atau usaha ekonomi harus bermuara pada kesejahteraan semua manusia. Pencapaian kesejahteraan umum sebagai tujuan pokok usaha ekonomi menjadikan usaha membangun ekonomi itu bermartabat dalam dua arti: pertama, usaha tersebut tertuju kepada kepentingan manjusia. Upaya ekonomi menjadi bermartabat ketika diabadikan demi kepentingan manusiawi. Usaha ekonomi ada demi manusia agar manusia dapat hidup secara manusiawi. Kedua,usaha itu bermartabat jika manusia itu sendiri menjadi pelalkunya. Hal itu merupakan manifestasi kebebasan dan otonomi manusia. Manusia seyogianya secara mandiri dan bebas mengupayakan kesejahteraan hidpuanya sendiri atau hidup bersama.

Kisah penciptaan menuturkan bahwa Roh Allah melayang-layang di atas bumi dan memberi bentuk bagi bumi yang masih kacau, kosong, dan tidak teratur. Dengan demikian, dunia bukanlah sebuah suasana ketakteraturan. Kitab Suci mengingatkan kita akan kondisi awal yang dikehendaki Pencipta, yakni menghormati keluhuran martabat manusia dalam semangat kekeluargaan, seraya terus menjaga keseimbangan hidup seluruh ciptaan. Keseimbangan ini perlu dijaga dan dirawat oleh manusia. Sebagaimana manusia pertama ditempatkan dalam taman di Eden, kita pun dianugerahi rahmat untuk hidup bersama di tanah-air kita yang kaya dan indah, agar kita “mengusahakan dan merawat taman” ini.

Pola perekonomian yang mengakibatkan ketidakadilan dalam masyarakat dan ketidakseimbangan dalam tata alam menunjukkan bahwa kita sungguh telah jauh dari tujuan penciptaan. Rumah tangga ciptaan itu terganggu karena manusia menyalahgunakan kebebasannya. Manusia melihat sesamanya sebagai ancaman yang harus ditaklukkan.

Berekonomi secara adil merupakan wujud partisipasi kita dalam karya penciptaan Allah dan panggilan hidup manusia untuk hidup layak “dalam kesatuan dengan yang lain sebagai ciptaan Allah”. Sementara itu, ketidakadilan ekonomi merusakkan Gambar dan Rupa Allah. Manusia tidak boleh dikorbankan dalam pengejaran kepentingan ekonomi. Sebaliknya, manusia harus selalu “menjadi subjek, dasar dan tujuan” dari setiap kegiatan, termasuk kegiatan ekonomi. Dengan demikian, kegiatan ekonomi dapat mendorong dan memberdayakan setiap orang, terutama yang miskin dan lemah, untuk berpartisipasi dalam kehidupan bersama. Martabat luhur manusia yang diciptakan sesuai Citra Allah direndahkan oleh keserakahan untuk menumpuk keuntungan bagi diri sendiri sebanyak mungkin.

Aktivitas manusia akhirnya tertuju pada satu tujuan yaitu memelihara dan merawat dan mempertahankan hidup. Yesus tidak menolak kekayaan dan usaha memperbanyak kekayaan. Dia memuji hamba yang menggandakan talentanya dan mengecam hamba yang malas. Allah turut dimuliakan, apabila kita mengembangkan kekayaan alam dan bakat kita demi kesejahteraan bersama. Namun, Dia mengingatkan adanya bahaya kerakusan akan harta dan uang yang menghancurkan relasi antarsaudara. Hidup manusia tidak semata-mata diukur berdasarkan penumpukan harta kekayaan sebab manusia adalah ciptaan dengan banyak kebutuhan lain yang lebih luas daripada penumpukan harta kekayaan. Manusia dipanggil untuk “menjadi kaya di hadapan Allah”.

Leave a Comment