Gadis Palue

 

Aku menyorongkan tangan, memperkenalkan diri dengan dua huruf  (fr) di depan namaku. Yah aku hadir di sini untuk membantu pastor paroki selama perayaan natal.

Oleh: Timo J  

Hari ini, Maumere tidak semanis yang didendangkan dalam lagu Maumere Manise. Di langit, awan pekat menutupi sinar mentari yang sebenarnya sudah meninggi. Rasanya kota kecil ini tak lagi diizinkan menikmati hangatnya sinar surya. Dari arah Laut Flores, angin bertiup lumayan kencang. Pintu-pintu rumah yang menghadap ke laut tampak tertutup. Rupanya bukan karena penghuni rumahnya belum bangun, tetapi ini merupakan sikap jaga-jaga agar pintu rumah tidak rusak dibanting angin. Kata orang, beginilah suasana yang kerap terjadi pada tiap penghujung tahun. Mereka menamainya musim barat.

Pelabuhan Sadang Bui tidak sekelam musim barat ini. Orang-orang hilir mudik mendekati dermaga yang sudah tua. Di dermaga, KM Sirimau sedang bersandar. Ada banyak penumpang yang turun dan banyak pula yang menaiki tangga kapal. Di sisi kiri dermaga, berjejer beberapa perahu motor. Para penumpang melompat dengan ringan ke dalam perahu-perahu itu. Awak motor sibuk mengangkut barang-barang penumpang ke perahu motor.

Ini merupakan pengalaman perdana bagiku. 

Dengan langkah gemetar, aku mendekat ke sisi kiri dermaga lalu melompat dengan ragu ke perahu. Teman-teman di asrama telah memberitahuku tentang ganasnya laut di sekitar tanjung. Kini aku membayangi diriku bak sebongkah batu yang terjun tanpa hambatan ke dasar laut seandainya perahu ini akan mengalami nasib sial di tempat angker itu. Aku memang tidak tahu berenang, bahkan di bak mandi saja aku pernah tenggelam.

Belum lama berselang, awak motor mengangkat jangkar. Serentak aku menyampaikan salam pisah pada Nusa Bunga sembari membisikkan Kepada Bunda: “Doakan aku Kepada Putera-Mu agar aku bisa kembali menapakkan kaki di tanah tumpah darahku.”

Perahu membawa diriku ke tengah laut, menjauh dan makin jauh dari daratan. Makin lama, Maumere kelihatan makin kecil dan akhirnya tidak terlihat sama sekali.

Dua jam berlalu, kini aku dipenjarakan rasa jenuh. Perahu mulai oleng lantaran tingginya gelombang. Apalagi angin makin kencang dan rintik-rintik hujan mulai berjatuhan. Aku terkenang St. Fransiskus Xaverius yang konon pernah melintasi perairan ini. Untuk mengusir kejenuhan, aku berniat membaca riwayat ziarahnya di sini. Namun, ternyata aku lupa membawanya.

Seorang penumpang di depanku berteriak: “Oe…, ada ikan Lumba-Lumba di sana.” Aku mengalihkan pandangan ke tempat yang ditunjukkannya. Terlihat beberapa ekor Lumba-Lumba meloncat ke permukaan lalu kembali ke dalam air. Sepertinya mereka datang untuk menyampaikan ucapan selamat datang dan selamat mengarungi laut yang agak ganas di penghujung tahun ini. Motor terus melaju ke arah barat, sementara Lumba-Lumba menuju ke timur.

Lumba-Lumba tak terlihat lagi, maka aku  menoleh ke sisi kanan dan dua bola mataku bersua dengan dua bola mata indah milik gadis hitam manis. Tak pernah kusadari kehadirannya di sampingku. Alis matanya bak lekukan pantai berpasir putih yang memantulkan sinar mentari pagi.

Tak sepatah kata pun terucap dari mulutku. Juga si gadis tetap mengatup mulutnya. Dua pasang mata berbicara dalam diam. Seketika, bumi seakan berhenti berputar. Entah berapa menit berlalu, tergurat senyum menawan di bibirnya. Sebelum aku puas menikmati senyumnya, ia sudah mengalihkan bola matanya ke tempat lain.

Kini perahu melewati perairan di mana ada daratan yang menjorok cukup jauh ke tengah laut. Di kejauhan, samar-samar aku melihat pulau kecil. Dalam hati, aku bertanya: “Mungkihkah itu Palue yang hendak kutuju?” Sementara itu, suasana laut semakin tidak bersahabat. Hujan, angin, dan ombak seakan bersekongkol untuk merenggut perahu beserta seluruh isinya. Air laut sampai-sampai masuk ke dalam badan motor. Keringat dingin mulai mengalir dari pori-pori kulit. Aku agak gugup untuk bertanya pada penumpang lain, tapi aku yakin inilah tempat angker yang telah diperingatkan oleh teman-teman. Si  gadis tetap tenang di tempatnya.

Dalam kecemasan yang kian menjadi-jadi, aku mengutuki masa kecilku yang enggan berlama-lama di air. Aku juga mempersalahkan guru-guru olah raga yang tidak melatih aku berenang. Belasan tahun aku hanya diajar melihat gambar hitam putih di buku olah raga kumal tentang aneka gaya renang. Aku hanya dipaksa menghafal gambar tetapi tidak melatih berenang.

Laju perahu kian lambat dan makin banyak air yang masuk ke dalam badan perahu. Awak motor sibuk mengangkut dan membuang air dengan jerigen. Kalau tidak demikian, bisa-bisa motor ini akan penuh dengan air dan besar kemungkinan motor akan tenggelam. Si gadis tetap tenang di tempatnya. Melihat si gadis, aku tersadar dan pikiran jernihku meneguri diriku. “Seandainya musim barat ini berhasil merenggut perahu ini, aku tetap tidak bisa berbuat apa-apa setelah mempersalahkan diri dan orang lain”, demikian kata hatiku.

Untuk mengurangi rasa panik, aku coba merenungi kisah Sang Guru yang berjalan di atas air. Kala itu hari sudah gelap, para murid sendirian dalam perjalanan menuju Kapernaum. Sementara itu, laut bergelora karena angin kencang. Ketika mereka sudah berjalan sejauh tiga mil, mereka melihat Sang Guru berjalan di atas air mendekati perahu. Ketakutanlah mereka, tetapi Sang Guru berujar: “Aku ini, jangan takut!” Seketika itu juga, perahu itu sampai ke pantai yang mereka tuju.

Aku teringat pula akan penjelasan eksegetis tentang teks ini. “Jangan takut” artinya  jangan mulai takut dan jangan lanjutkan takut. Demikian dosen Kitab Suci menerangkan teks ini kepada kami dalam suatu kesempatan kuliah. Dengan merenungi ini semua, rasa takut dalam diriku perlahan-lahan sirna dan kini aku bisa menikmati perjalanan yang mencemaskan ini dengan tenang.

Kira-kira lima jam setelah meninggalkan Maumere.

Di depanku, terlihat jelas pulau dengan puncak gunung yang berasap. Dari samping kanan,  aku mendengar: “Kak, tidak lama lagi kita akan sampai di Palue. Yang berasap itu puncak gunug api Roka Tenda.”

Aku begitu terkesima dengan suara si gadis ini. Suaranya indah bak gong yang pernah ditabuh teman-teman dalam suatu pentas budaya Palue. Kakiku ingin sekali ber-tandak sebagaimana yang pernah diperagakan oleh teman-teman dari Palue ini. Tiba-tiba dalam diriku terjadi sesuatu yang aneh. Jantungku berdebar kian kencang, nafas terasa berat, dan seterusnya….

Kini kakiku berdiri di tanah Palue. Si Gadis mendekatiku. Ia mengulurkan tangan sembari memamerkan senyumnya. Si gadis menyebut namanya. Barulah aku tersadar akan jati diri dan maksud kehadiranku di sini. Aku menyorongkan tangan, memperkenalkan diri dengan dua huruf  (fr) di depan namaku. Yah aku hadir di sini untuk membantu pastor paroki selama perayaan natal.

Menuju Palue, 20 Des. ‘08

Leave a Comment