GERAKAN MAHASISWA 1998, SUATU ANALISA PERAN

Gerakan mahasiswa 1998 merupakan suatu gerakan yang menuntut perubahan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Hal ini dilatari oleh menderanya negara tercinta dalam krisis multidimensi yang tidak mampu diatasi pemerintah Orba. Gerakan mahasiswa 1998 ini telah berhasil menggulingkan rezim Orba dan melahirkan orde reformasi. 

Oleh: Timotius J

Pendahuluan

Universitas/PT merupakan salah satu institusi yang diandalkan dalam gerakan civil society di tanah air. Mahasiswa merupakan bagian penting dari civitas academika yang diharapkan dapat menampilkan suatu gerakan sosial. Bertolak dari kenyataan bahwa keberhasilan meruntuhkan rezim Orba dan datangnya Orde Reformasi tidak bisa dilepaskan dari gerakan mahasiswa 1998, maka artikel ini ingin merangkai bagaimana gerakan mahasiswa 1998 itu terjadi.

Analisa peran dalam gerakan sosial

Gerakan sosial merupakan salah satu tema menarik dalam kajian ilmu sosial, khususnya sosiologi. Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, term gerakan sosial biasanya digunakan untuk menunjukkan keanekaragaman yang luas akan usaha bersama untuk membawa suatu perubahan dalam institusi-institusi sosial tertentu atau menciptakan orde yang baru sama sekali. Tarrow menempatkan gerakan sosial sebagai politik perlawanan. Dalam hal ini, rakyat biasa dan kelompok-kelompok masyarakat yang lebih berpengaruh menggalang kekuatan untuk melawan para elit, pemegang otoritas dan pihak-pihak lawan lainnya. Politik perlawanan ini akan menghasilkan gerakan sosial manakala didukung oleh jaringan sosial yang kuat dan digaungkan oleh resonansi kutural serta simbol-simbol aksi sehingga mengarah ke interaksi yang berkelanjutan dengan pihak-pihak lawan. Lebih lanjut, mengacu pada Giddens, gerakan sosial tersebut diarahkan untuk mengejar kepentingan bersama dan dilakukan oleh pihak-pihak di luar lingkungan lembaga-lembaga yang mapan.

Bertolak dari pemahaman gerakan sosial seperti di atas, maka gerakan mahasiswa 1998 bisa dilihat sebagai suatu bentuk gerakan sosial. Gerakan mahasiswa 1998 merupakan suatu gerakan yang menuntut perubahan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Hal ini dilatari oleh menderanya negara tercinta dalam krisis multidimensi yang tidak mampu diatasi pemerintah Orba. Gerakan mahasiswa 1998 ini telah berhasil menggulingkan rezim Orba dan melahirkan orde reformasi. Ada banyak kalangan yang terlibat dalam gerakan tersebut, misalnya kelompok proreformasi, masyarakat luas, dan kaum intelektual atau kaum akademisi. Banyak kalangan yang menilai bahwa walaupun ada banyak ide dari kalangan-kalangan yang menginginkan reformasi, namun reformasi tidak bisa berjalan tanpa demonstrasi mahasiswa (baca: gerakan mahasiswa). Salah satunya adalah Prof Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif yang menyebut gerakan mahasiswa sebagai kekuatan pendobrak. Ia mengatakan demikian, “Mahasiswa merupakan kekuatan pendobrak. Walaupun ada Ide dari tokoh pembaru, reformasi, tapi tanpa demonstrasi mahasiswa saya rasa tidak berhasil….”

Dalam menggambarkan suatu gerakan, sosiologi menyiapkan beberapa model analisa. Gerd Theissen dalam upaya untuk memahami gerakan Yesus menggunakan tiga model analisa, yaitu analisa peran, analisa faktor dan analisa fungsional. Dengan menggunakan beberapa model analisa ini, Gerd Theissen coba mengantar sidang pembaca pada sebuah pemahaman sosiologis tentang jemaat Kristen Perdana.

Sebagaimana yang telah dibuat oleh Gerd Theissen, maka untuk mendapatkan gambaran gerakan mahasiswa 1998, di sini akan digunakan analisa peran. Menimbang banyaknya pihak yang terlibat dalam gerakan mahasiswa 1998, penelitian ini hanya terkonsentrasi pada peran kelompok mahasiswa. Sementara peran kelompok lain juga akan disinggung sejauh berhubungan dengan peran yang ditampilkan kelompok mahasiswa.

Sasaran dari analisa peran di sini adalah untuk mendapatkan gambaran pola perilaku yang ditampilkan dalam gerakan tersebut. Dalam kaitan dengan gerakan mahasiswa yang ditelaah di sini, pola tingkah laku dibedakan atas dua, yaitu pola tingkah laku mahasiswa sendiri (perilaku internal) dan pola perilaku elemen-elemen lain yang terlibat dalam gerakan tersebut (perilaku eksternal).

Perilaku internal

Perilaku internal ini diarahkan untuk menggalang kekuatan dari rekan-rekan sesama mahasiswa sehingga bersatu membuat gerakan. Dengan kata lain, perilaku internal ini berhubungan dengan pola perilaku yang diarahkan untuk memperkuat barisan kelompok mahasiswa sendiri dan juga dalam melakukan gerakan secara bersama-sama oleh mahasiswa sendiri. Perilaku internal kelompok mahasiswa ini dapat terlihat dalam hidup berorganisasi, pembentukan aksi publik, yaitu aksi demo demonstrasi, pengorganisasian sarana (pers mahasiswa), dan pembentukan ide bersama (diskusi).

Organisasi dan jaringan

Berkaitan dengan organisasi gerakan mahasiswa 1998, ada yang berpendapat bahwa gerakan mahasiswa 1998 tidak memiliki pemimpin, tanpa organisasi sentral, kurang menekankan pada pentingnya koordinasi, tidak terstruktur serta tidak memiliki ideologi. Dengan demikian, tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa praktisnya gerakan mahasiswa sekarang 1998 bagaikan ayam kehilangan induk alias tidak ada yang memiliki kualitas sebagai pemimpin mahasiswa. Namun, hal ini tidak berarti bahwa gerakan mahasiswa 1998 tanpa organiasi. Sebagaimana setiap gerakan umumnya memiliki organisasi, demikian halnya dengan gerakan mahasiswa juga memiliki organisasi yang mengatur peran aktor dalam gerakan.

Dalam pengamatan Denny J A, salah satu faktor yang memicu adanya gerakan mahasiswa 1998 adalah para pelaku dan pemimpin mahasiswa itu sendiri. Dia menyatakan demikian: “Lingkungan hanya menyediakan lapangan yang memberikan kemungkinan bagi tumbuhnya gerakan. Pada akhirnya adalah seorang pemimpin yang harus memanfaakan lingkungan dan mengubah potensi menjadi aksi.” Di sini, ia mengakui bahwa institusi penting gerakan mahasiswa 1998 adalah adanya senat mahasiswa yang menaungi satu universitas. Institusi ini secara formal dan organisatoris memudahkan pemimpin mahasiswa menyatukan aksi selingkungan universitas. Kemudian aksi ini menjalan ke luar lingkungan universitas.

Apa yang diamati oleh Denny J A ini juga diamati oleh Arie Sujito dkk. Mereka mengamati bahwa di dalam kampus gerakan mahasiswa dimotori oleh kelompok radikal independen yang secara konsisten menyuarakan demokratisasi dan dihargainya hak-hak sipil di Indonesia. Kelompok inilah yang menyeret kekuatan formal-korporatif dalam kampus untuk masuk dalam arus besar itu terutama Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT).

Selain itu, gerakan mahasiswa juga memiliki jaringan antarkota sehingga tuntutan politik di tingkat makro menjadi lebih homogen. Beberapa forum di tingkat kota seperti forum kota, forum senat mahasiswa, pers mahasiswa, dan beberapa pusaran lain di tiap-tiap kota ternyata bersinggungan baik taktis maupun strategis. Selain itu, aktivis mahasiswa juga membuka jaringan dengan dengan aktivis-aktivis lainnya, seperti LSM dan intelektual kritis. Menurut Denny J A, jaringan informal antara universitas ini rupanya sudah dibangun oleh aktivis mahasiswa pada periode sebelumnya.

Demonstrasi

Menurut Ensiklik Populer Politik Pembangunan Pancasila, demonstrasi diartikan sebagai gerakan bersama-sama untuk mempertunjukkan kehendak atau pendapat. Pihak yang melakukan demonstrasi biasanya bertujuan untuk memprotes atau tidak setuju terhadap keadaan atau tindakan suatu badan, golongan atau tindakan seseorang. Di sini, demonstrasi merupakan ekspresi suatu relasi yang erat antara manusia dengan hati nuraninya di mana demonstrasi terjadi ketika kebebasan dan otonomi individu tereliminasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Dengan demikian, demonstrasi harus dibedakan dengan kerusuhan yang cendrung destruktif sebagaimana yang terjadi di di berbagai tempat di Indonesia pada tahun 1996-1998.

Menurut catatan Kompas, demonstrasi mahasiswa 1998 pertama kali dilakukan oleh mahasiswa Universitas Indonesia pada tanggal 26 Februari di Kampus UI, Depok Jawa Barat dengan substansinya adalah reformasi di bidang politik dan ekonomi dalam mengatasi krisis. Dalam bulan-bulan berikutnya, demonstrasi mahasiswa kian marak di seluruh tanah air. Puncak demonstrasi mahasiswa adalah pendudukukan gedung MPR/DPR pada tanggal 18 Mei hingga 22 Mei 1998 dan Soeharto akhirnya mengundurkan diri dari jabatan sebagai presiden Republik Indonesia. Tentang peristiwa pendudukan gedung MPR/DPR, Harian Kompas menulis sebagai berikut:

“Puluhan ribu mahasiswa dari puluhan perguruan tinggi di wilayah Jabotabek, selasaa (19/5) “menduduki gedung DPR/MPR. Mereka bukan saja memadati pelataran DPR, tetapi juga menaiki kubah gedung, memenuhi taman-taman, lorong-lorong, maupun rungan lobi. Ini merupakan demonstrasi terbesar yang dilakukan oleh mahasiswa selama 30 tahun terakhir di Gedung DPR/MPR”

Setelah Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan, demonstrasi mahasiswa masih berlanjut. Hal ini membuktikan bahwa demonstrasi yang mereka lakukan tidak semata-mata untuk menuntut Soeharto mundur, tetapi lebih merupakan seruan agar reformasi di segala bidang harus dilaksanakan. Sekurang-kurangnya demonstrasi ini dilakukan di Ujung Pandang, Solo, Medan.

Pers Mahasiswa

Pers mahasiswa merupakan salah satu sarana yang digunakan oleh gerakan mahasiswa dalam memperjuangkan dan mempublikan aspirasi reformasi di kalangan mahasiswa. Kala itu, ada begitu banyak pers mahasiswa yang lahir seperti bergerak, XPOS, dan KdP di Jakarta, Gugat dan Turun Ke Jalan di Yogyakarta, Teknokra dari Universitas Lampung, dan Suara Airlangga dan retorika di Surabaya. Tentang kehadiran pers mahasiswa ini, mingguan Time edisi 30 Maret 1998 menyebut pers mahasiswa sebagai salah satu pendukung yang tak terduga di panggung unjuk rasa. Menurut Time pers mahasiswa bahkan menjadi sasaran nara sumber bagi pers manca negara, seperti Suara Airlangga (Unair) dan Bergerak (UI Depok).

Tentang kehadiran pers mahasiswa, Aris Sumantyoko menyatakan bahwa memang pers mahasiswa bukan syarat gerakan tetapi ketika ada ia benar-benar bermanfaat sebagai bagian penting dan tak terpisahkan dari proses gerakan mahasiswa. Sebagaimana yang dikemukanan oleh Melania Wahyu W (koordinator buletin Gugat dari UGM) pers mahasiswa juga hadir untuk menampung ketidakpuasan para aktivis mahasiswa tentang pemberitaan media massa umum tentang aksi reformasi yang dinilai sangat singkat atau sangat kecil porsinya. Hal senada juga diungkapkan oleh Fadihabaru, pemered Teknokra dari Universitas Lampung di mana ia mengatakan: “Upaya kami adalah melaporkan berbagai kejadian nyata yang tidak dilaporkan secara jelas oleh media massa umum. Kalau koran umum di luar kampus tidak berani mengungkapkan yang sebenarnya, koran kampus mengupas secara detail kejadiaannya.”

Penerbitan pers mahasiswa tidak bebas dari hambatan. Hambatan ini datang dari intervensi pihak luar yang masuk melalui tangan struktur organisasi kampus. Hal ini misalnya dialami majalah Arrisalah Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dana penerbitan majalah ini tidak dicairkan oleh pihak rektorat karena pada edisi sebelumnya Arrisalah memuat berita seputar kekayaan pejabat negeri. Padahal Dana untuk penerbitan ini berasal dari uang SPP mahasiswa sendiri.

Diskusi

Pada tanggal 18 April 1998 Senat Mahasiswa IPB menyelenggarakan dialog aksi mahasiswa Indonesia. Pada kesempatan tersebut, hadir sekitar 4000 mahasiswa PTN/PTS di Bogor dan juga utusan-utusan dari kota lain. Adapun tema yang diangkat dalam kegiatan itu adalah “Kesamaan Visi dan Identifikasi Reformasi oleh Mahasiswa: suatu Keharusan.”

Pembicara dalam kegiatan itu berasal dari mahasiswa sendiri, seperti Nurdin dari Presidium SM IPB, Cahyo Pamungkas (Ketua II badan eksekutif SM UGM Yogya), , Rama (ketua SM UI) dan Fitrah (Sekum SM UI). Dialog ini di buka Purek III IPB Dr. Pallawarukka sedang Pudek Famipa IPB, Rizaldi Boer, bertindak sebagai moderator dialog.

Pada kesempatan tersebut, Cahyo Pamungkas menegaskan bahwa visi gerakan mahasiswa yang harus diperjuangkan adalah perubahan. Dia mengatakan: “sekarang ini, kita tidak lagi menyamakan visi karena visi kita (mahasiswa) sama , yaitu perubahan. Diam berarti pengkianatan dan diam berarti tertindas.” Cahyono menolak ajakan pejabat agar mahasiswa membuat konsep untuk perubahan politik maupun ekonomi. Baginya: “Itu bukan tugas mahasiswa, kita mahasiswa mengingatkan kalangan pimpinan pemerintahan terhadap dilema-dilema yang terjadi saat ini.” Sementara itu, Rama menyatakan bahwa pemerintah hanya memberikan solusi-solusi yang bersifat simbolis. Ia mengatakan; “Desakan-desakan untuk melakukan reformasi dari mahasiswa dijawab dengan solusi dialog. Bagi kita dialog bukan puncak perjuangan kita.”

Setelah Soeharto mengundurkan diri dari tahta kepresidenan, gerakan mahasiswa melihata bahwa Indonesia baru belum terwujud. Sementara itu, masyarakat umumnya sudah siap untuk menghadapi Pemilu 1999 yang diyakini sebagai soluisi bagi terwujudakan suatu perubahan ke arah kehidupan yang lebih demokratis dan beradilan sosial. Sementara itu, ada kalangan mahasiswa terutama kelompok mahasiswa radikal yang tidak sependapat di mana pemilu dapat membawa perubahan. Karena itu, gerakan mahasiswa radikal mengadakan konsilidasi-konsidasi di antara mereka, membuat koalisi-koalisi, diskusi-diskusi untuk mencari solusi agar negara bisa keluar dari krisis.

Puncak dari konsolidasi itu adalah Rembug Nasional Mahasiswa Indonesia tanggal 28 Maret sampai dengan 1 April 1999 di Udayana Bali. Kegiatan ini diikuti oleh 101 orang dari 52 organisasi gerakan mahasiswa dari 16 propinsi yang menghasilkan empat butir resolusi. Keempat resolusi itu adalah pertama, pemilu yang diselenggarakan oleh rezim Habibie 7 Juni 1999 merupakan pemilu yang tidak demokratis, tidak jurdil karena dihasilkan oleh DPR hasil pemilu 1997. Kedua, tidak percaya pada pemilu yang akan diselenggarakan sebagai solusi atas krisis multidimensi yang melanda Indonesia. Ketiga, pembentukan sebuah pemerintah transisi yang berasal dan tak terpisah dengan arus besar gerakan rakyat dan bebas dari unsur-unsur yang sebelumnya menindas rakyat. Pemerintah transisi ini bebas dari intervensi militer atau demokrasi sipil. Keempat, mereka melihat adanya keyakinan politik di kalangan rakyat Aceh dan Irian Jaya untuk menentukan nasipnya sendiri bukan sekedar masalah disintegrasi dan juga menuntut referendum untuk Timor Leste.

Perilaku Eksternal

Perilaku eksternal yang dimaksudkan di sini adalah pola perilaku elemen-elemen lain yang terlibat dalam gerakan tersebut. Di sini, perhatian diarahkan pada pola perilaku yamg ditampilkan sebagai tanggapan terhadap kelompok mahasiswa. Di sini, perilaku eksternal dapat terlihat dalam Soeharto sebagai presiden, ABRI, kelompok proreformasi, dan masyarakat luas.

Soeharto

Berdahadapan dengan krisis ekonomi yang berlum terpulihkan, mahasiswa dan kalangan lain menuntut reformasi. Menanggapi seruan reformasi, Soeharto menyatakan bahwa reformasi dapat dilaksanakan pada tahun 2003 ke atas. Walapun pada kesempatan berikutnya melalui Alwi Dahlan dan R. Hartono, ditegaskan bahwa Soeharto selaku presiden pada intinya membuka pintu bagi munculnya berbagai langkah reformasi, namun secara inplisit tampak keengganan Soeharto untuk melakukan reformasi dengan segera sesuai dengan tuntutan banyak kalangan. Soeharto berkilah, sebelum reformasi harus dibuat persiapan dan penelitian yang mendalam.

Berhadapan dengan Soeharto yang berusaha untuk mepertahankan status quo ini, mahasiswa mengajukan tuntutan yang radikal, yakni Soeharto harus mengundurkan diri. Hampir seluruh perguruan tinggi di tanah air menyuarakan hal yang sama, Soeharto mengundurkan diri. Soeharto akhirnya mundur jari jabatan sebagai presiden.

Pada saat-saat akhir sebelum mengundurkan diri, Soeharto masih berjuang untuk mempertahankan kekuasaannya. Berdasarkan penuturan Prof. Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif dalam wawancara dengan Kompas, Soeharto agak berat untuk mengundurkan diri. Ma’arif menuturkan demikian:

“Pak Harto sendiri tidak mengira akan terjadi perubahan yang cepat. Dia merasa kekuatannya masih besar dan solit. Bahkan pada tanggal 20 Mei malam dia tidak yakin akan jatuh. Pkl. 20.00 WIB dia masih mencoba mengutak-atik strategi pemerintahannya. Tetapi setelah Nurcholish Madjid yang diminta jadi ketua Komite Reformasi menolak tawaran itu, Pak Harto mulai ragu. Malam itu ABRI juga menyatakan tidak sanggup lagi mengamankan ditambah Harmoko memberi ultimatum agara mengudurkan diri dalam dua kali 24 Jam. Maka, mau tidak mau Pak Harto harus mengudurkan diri.”

ABRI

Pada masa Orba, ABRI mempunyai fungsi pertahanan dan keamanan dan fungsi sosial politik. Dalam kaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan, ABRI berurusan dengan soal pertahanan dan keamanan di mana ABRI adalah alat negara yang diatur oleh pemerintah. Sementara dalam kaitan dengan fungsi sosial politik, ABRI bukan alat negara atau pemerintah tetapi lebih merupakan salah satu kekuatan sosial politik yang ada dalam masyarakat. Di sini ABRI bertujuan untuk memajukan kepentingan rakyat. Hal ini menjadi nyata ketika ABRI memiliki wakil di DPR. Dengan demikian, ketika wacana reformasi bergulir tidak heran kalau banyak kalangan yang menaruh harapan sekaligus mempertanyakan peran ABRI.

Menanggapi seruan kelompok proreformasi, maka pada pertengahan Maret 1998 Pangab Wiranto mengutus para stafnya agar melakukan pendekatan degan tokoh-tokoh kritis dan mahasiswa. Kassospol ABRI Letjen TNI Bambang Yudhoyono diutus menemui Amien Rais di Yogyakarta. Sedangakan dialog dengan mahasiswa diagendakan berlangsung pada 4 April dengan mediator ketua Ikatan Keluarga Besar Lasykar Arief Rachman Hakim, Djusril Juhsan. Acara dialog yang diagendakan sedianya ini batal karena sebagian besar mahasiswa menampik ajakan ABRI itu. Mahasiswa menilai bahwa ajakan itu hanya tawaran sepihak dan belum ada kesepakatan mengenai format dialog. Selain itu, mahasiswa juga menolak acara yang dinilai hanya seremonial, simbolis, pemuas sementara dan tidak menyentuh esensi persoalan. Kalaupun mau berdialog, mahasiswa lebih suka berdialog langsung tanpa lewat perantaraan tokoh lain. Bahkan ada yang lebik suka bila berdialog langsung saja dengan Presiden Soeharto.

Beberapa waktu kemudian, dialog yang diselenggarakan oleh ABRI berhasil dilaksanakan. Namun, ABRI tidak mengundang senat mahasiswa atau perwakilan dari Perguruan Tinggi besar seperti UI, UKI, Jayabaya, Unpad Bandung, ITB, dan UGM. Berkaitan dengan hal ini, Wiranto mengatakan demikian: “Tidak ratanya undangan terhadap SMPT ini tidak ada nuansa politik. Tidak juga menganaktirikan dan menganakemaskan. Tetapi semata-mata hanya untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan dialog. Saya minta maaf kepada SMPT yang tidak kita undang dalam kesempatan pertama ini.”

Sementara Kassospol ABRI Letjen TNI Bambang Yudhoyono mengatakan demikian: “Sebelumnya kita telah rundingkan dengan mereka akan ada dialog seperti ini yang bebas dari isu penjinakkan gerakan mahasiswa dan bebas dari formalita dan sebagainya. Sebagian yakni 70 % menyatakan akan datang. 15 % mengatakan kami akan bicarakan dengan teman-teman. Kemudian 15 persen lainnya mengatakan tidak sepaham dengan ABRI lebih baik melakukannya dengan presiden. Bahkan ada yang menyangsikan dialog itu sendiri.” Kepada yang menolak itulah ABRI tidak memberikan undagan.

Dalam dialog tersebut, menanggapi perkembangan di masyarakat, Wiranto menyatakan: “ABRI sangat peka terhadap berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini. Namun dalam menanggapinya, ABRI tetap bertumpu pada sapta marga.” ABRI pasti mendukung reformasi namun secara gradual dan dalam kerangka konstitusional. Sementara menanggapi tuntutan mahasiswa agar Presiden Soeharto mundur dari jabatannya, Wiranto menjawab bahwa pemilihan Soeharto sebagai presiden sudah melalui suatu proses konstitusi yang panjang. Namun, jika kemudian ada suara-suara dari elemen bangsa yakni mahasiswa yang menginginkan seperti itu, maka masih ada elemen bangsa lain di masyarakat yang tidak sependapat dengan mahasiswa.

Menanggapi sikap ABRI dalam hubungan dengan reformasi, Prof. Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif mengatakan bahwa secara pribadi memang ada yang mendukung reformasi, tetapi secara korps sikapnya mengambang. Hal ini tampak dalam pernyataan kalangan ABRI bahwa apa yang terbaik bagi rakyat, terbaik bagi ABRI. Namun, di pihak lain mereka tetap setia kepada panglima tertinggi (pangti)nya. Padahal dalam kenyataan Soeharto sebagai pangti sudah terputus komunikasinya dengan rakyat.

Dengan ini, tampaklah bahwa tidak mengherankan kalau ada yang berpendapat bahwa gerakan mahasiswa 1998 berhasil menumbangkan Orba tanpa campur tangan militer. Bahkan gerakan mahasiswa 1998 justru mendapat represi dari militer. Dalam berbagai demonstrasi tidak jarang terjadi bentrokan fisik dengan aparat, misalnya pada Sabtu (25/4) terjadi bentrokan antara aparat keamanan dengan mahasiswa di mana mahasiswa melempar batu ke arah aparat dan disambut tembakan peluru karet, bahkan gas air mata. Hal ini misalnya terjadi di Lombok, Medan, Jambi. Selama demonstrasi 1998, di pihak mahasiswa ada banyak yang menderita luka ringan dan serius. Bahkan demonstrasi 1998 juga telah menelan korban di pihak mahasiswa. Di perkirakan ada 15-20 orang mahasiswa yang meninggal. Berhadapan dengan sikap militer seperti ini, tidak mengherankan jika gerakan mahasiswa 1998 juga menyindir militer dalam lagu perjuangan yang mudah diikuti oleh massa, yaitu “sial-sialan aparat kayak preman”

Kelompok Proreformasi

Reformasi yang didengungkan oleh mahasiswa juga tidak terlepas dari ide-ide tokoh-tokoh proreformasi. Ketika 10 ribu mahasiswa berkumpul di kampus UI Depok sehari stelah presiden dan wapres disumpas, salah satu tokoh proreformasi Amien Rais memberikan siraman rohani kepada mereka. Dalam kesempatan tersebut, dosen Fisipol UGM ini kembali menegaskan ulitmatumnya, yaitu akan mengerahkan people power yang damai jika dalam tempo enam bulan pemerintah yang baru terbentuk tak mampau mengatasi krisi ekonomi dan moneter. Mayor jenderal (purn.) Hariadi Darmawan membacakan pernyataan keprihatianan yang menuntuut pemerintah segera mengatasi berbagai krisis. Sementara itu yang juga Inspektur Jenderal Departemen Kehutanan itu mengakau tak taku kehilangan jabatannya gara-gara aksi kprihatinan, “Harus ada yang menyerukan kebenaran betapun pahitnya. Saya bukan superman tapi saya lebih takut kepada Allah.

Sementara itu, tokoh proreformasi yang lain, yaitu Prof Dr. Selo Soermardjan menganjurkan agar para mahasiswa untuk meneruskan perjuangan dalam mewujudkan reformasi. Selain itu, beliau juga mengingatkan para mahasiswa untuk ikut berperan aktif menentukan kehidupan bangsa apalagi di tengah krisis (ekonomi). Baginya adalah suatu kewajiban agar para mahasiswa untuk memberikan sumbangsihnya terutama melalui intelektualitasnya.

Dukungan dari golongan proreformasi ini telah memberikan semangat besar kepada para mahasiswa untuk terus berjuang. Hasilnya aliansi civitas academica ala UI di mana para mahasiswa bergabung dengan dengan para dosen dan senior mereka menular ke berbagai Kampus dari UGM, Unhas, universitas airlangga. Bagkah rektor Universitas Dokter Soetomo Surabaya, Poncol Marjada, samapi menginstruksikan mahasiswanya ikut apel akbar keprihatinan.

Masyarakat luas

Gerakan mahasiswa juga tidak bisa dilepaskan dari masyarakat luas. Ketika Indonesia terjerembat dalam krisis ekonomi, harga sembilan bahan pokok melambung. Pemerintahan Soeharto tidak sanggup memulihkan keadaan ekonomi. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah semakin besar.

Ketika gerakan mahasiswa kian marak, masyarakat luas memberikan dukungan dan bersama-sama menuntut reformasi. Dukungan dari masyarakat juga tampak dalam partisipasi kaum relawan di mana para ibu sederhana menyiapkan nasi bungkus dan minuman bagi para mahasiswa yang dikoordinir oleh Kalyanamitra. Di Solo, Paku Buwono XII dari kraton Surakarta memberikan dukungan yang secara simbolis dengan memberikan sumbangan sebesar 1.111.111 kepada gerakan mahasiswa yang memperjuangkan reformasi. Dalam kesempatan tersebut, beliau mengatakan bahwa sumbangan ini merupakan simbol persatuan masyarakat dan rakyat yang harus dipertahankan hingga perjuangan selesai. Menyambut dukungan dari rakyat, Udin salah satu aktivis mahasiswa mengingatkan para mahasiswa agar tidak terlena dengan mundurnya Soeharto.

Selain menerima dukungan dari masyarakat luas, gerakan mahasiswa juga mendapat tantangan dari masyarakat. Hal ini terjadi karena ada oknum-oknum yang memboncengi perjuangan para mahasiswa. Peristiwa ini nyata ketika mahasiswa Jakarta menduduki gedung MPR/DPR didatangi oleh kelompok pemuda dan masyarakat yang mengaku berasal dari Tanjungpriok, Tanah Abang, dan pendekar Banten serta Bogor yang dipimpin oleh Sumargono Ketual pelaksana harian KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam), Fadly Zon direktur Eksekutif institute forPolices Studies serta Andreabto dari Humanika) Kelompok ini secara tegas mendukung Habibie dan meminta mahasiswa segera bubar dari Gedung MPR/DPR.

Dalam peristiwa ini hampir saja terjadi bentrokan fisik, untung saja ada beberapa mahasiswa melakukan pendekatan dengan para pimpinan mereka. Di antara mahasiswa sendiri, mereka saling mengingatkan untuk menahan diri dan tidak emosi. Selain itu sejumlah pimpinan senat mahasiswa mengadakan negosiasi dengan Toto Tasmara yang menurut kabar yang diterima mahasiswa merupakan pinpiman massa.

Tekanan Internasional

Dalam pengamatan Denny JA, Soeharto tampaknya agak moderat terhadap oposisi (baca: gerakan mahasiswa). Namun, Soeharto bersikap moderat karena dipaksa oleh tekanan organiasi dan komunikasi internasional. Misalnya, besarnya pengaruh IMF terhadap formulasi kebijakan ekonomi dan kebijakan politik pun totonan internasional akibat semakin canggihnya media komunikasi. Berita aktivis yang hilang secara cepat menyebar di internet AS dan dengan cepat membuat lembaga internasional di bidang hak asasi bereaksi. Jika pemerintah RI tidak semakin moderat, tekanan internasional akan semakin bertubi-tubi.

Penutup

Pola perilaku yang ditampilkan oleh gerakan mahasiswa 1998 telah membuahkan hasil. Bagi Magnis Suseno, dua keberhasilan yang diraih gerakan mahasiswa adalah turunnya Soeharto dari takhta kepresidenan dan keberhasilan Sidang Istimewa MPR bulan November 1998. Peran yang dimainkan oleh mahasiswa tampak dalam membangun organisasi dan membuka jaringan, melakukan aksi demonstrasi, menungkan gagasan reformasi melalui diskusi dan penerbitan pers mahasiswa. Gerakan mahasiswa ini mendapat tanggapan dari banyak kalangan. Ada banyak kalangan yang memberikan tanggapan atas pola perilaku mahasiswa, yaitu Soeharto, ABRI, Kelompok Proreformasi, masyarakat dan juga dunia internasional. Tanggapan-tanggapan dari pihak-pihak tersebut, tidak hanya membantu keberhasilan gerakan, tetapi ada juga tanggapan yang menantang gerakan yang dibangun mahasiswa.

Referensi:

Adolf Heuken, et al., “Demonstrasi” dalam Ensiklopesi Populer Politik Pembangunan Pancasila, Jakarta: Ichtiar Baru, 1984.
Riyanto, Armada, “Demonstrasi dan Hati Nurani” dalam Kompas, 21 Mei 1998.
Chalil, Munawar dan Tony Hasyim, “Reformasi Apa Itu” dalam Forum Keadilan, Edisi Khusus Ulang Tahun (April, 1998)
JA, Denny Menjelaskan Gerakan Mahasiswa dalam Kompas, 25 April 1998.
Kompas, 19 April 1998.
Kompas, 26 April 1998.
Kompas, 2 Mei 1998.
Kompas, 3 Mei 1998.
Kompas, 20 Mei 1998.
Kompas, 22 Mei 1998.
Kompas, 24 Mei 1998.
Kompas, 25 Mei 1998.
Kompas, 31 Mei 1998.
Kompas, 3 Juni 1998.
Putra, Fadilah, Heri Setiono, dkk., Gerakan Sosial, Malang: Averroes dan KID, 2006.
Rachman, M.Fadjroel, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat, Jakarta: Koekoesan, 2007.
Simanungkalit, Salomo, Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Kompas, 2002.
Sindhunata, “Mahasiswa Mendobrak Pintu Krisis” dalam BASIS, Thn. ke-47 (Mei-Juni 1998)
Singh, Bilveer, Dwifungsi ABRI, Jakarta: Gramedia, 1996.
Sujito, Arie, A. Wisnuhardana, dkk, “Tikungan Reformasi: Mahasiswa Kebingungan” dalam Basis, Thn. Ke-47 (Juli-Agustus, 1998).
Theissen, Gerd, Gerakan Yesus, Maumere: Ledalero, 2005.

Leave a Comment