Mungkin sikap ini belumlah tepat untuk membahasakan kerinduan jiwa. Tapi, aku tidak akan mundur hingga di ujung jalan ini aku akan tersenyum mengenang hujan yang menyertaiku pada pagi buta.
Oleh: Timo J
Pagi ini, aku berlangkah di antara genangan air di sepanjang jalan menuju puncak hening, Rita. Mengakhiri tahun 2013 ini, aku begitu peka dengan tanda-tanda alam. Hujan menjadi tanda rahmat sama seperti sinar pagi yang disambut dengan ria oleh kebeningan batin. Atau juga sama dengan angin sejuk yang membelai wajah dengan kasih yang tak akan sempurna terlukis oleh mata batinku. Maka, kepada hujan kukisahkan ziarahku.
Aku memulainya dengan mengisahkan tentang bunda.
“Perempuan itu menikah pada usia tua. Tentu pemilik kehidupan punya rencana indah untuknya. Misalnya saja, dia diakaruniai dua orang putera. Dengan sabar membesarkan buah hatinya meskipun terkadang harus menutup telinga atau pura-pura mengabaikan suara yang menusuk kalbu. Selanjutnya, dia ditinggalkan suaminya. Hidup sebagai janda bukanlah alasan untuk tidak meneruskan kasih Sang Pencipta. Dan ketika dua putra beranjak remaja, wajahnya berseri kala menatap mezbah suci. Tentu tidak salah bermimpi tentang putranya yang akan merentangkan tangan sembari mempersembahkan kurban silih bagi insan yang rindu ribaan kasih-Nya. Mimpi inilah yang memampukannya untuk menjalani hidup sebagai janda dan menggendong dua puteranya di punggung yang kian renta.”
Gerimis menjadi kado istimewa untuk kegersangan batin. Dan hujan di penghujung Desember ini seakan mengabarkan rahmat melimpah dari Sang Kasih. Kasih selalu menggairahkan langkah-langkah yang terkadang goyah dan sekaligus meneguhkan ketetapan hati untuk terus berziarah.
Aku sudah meninggalkan jalan lintas Flores dan memasuki lorong yang dirimbuni pohon mahoni. Aku ingat betul kegigihan pastor yang memprakarsai penanaman pohon-pohon di sisi kiri dan kanan sepanjang lorong ini. Pohon-pohon kini menjadi sapaan sejuk bagi siapa saja yang ingin bertamu di Bukit Rita. Sementara itu, hujan masih setia mendengarkan kisahku.
“Aku telah berjumpa dengan sahabat ‘putih nan suci’ di Himo Tiong beberapa tahun silam. Kusadari betapa rapuhnya kesetiaanku. Hanya aku siap untuk berlangkah dengan pertanyaan ini: Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi?
Tak lama berselang, kuperkenalkan sahabatku kepada bunda. Aku lupa bagaimana persisnya raut wajah bunda saat pertama kali bersua sahabatku. Tetapi, aku ingat betul bagaimana binar mata sahabat masa kecilku. Juga syair suci yang mengalir dari tetua kampung saat mempersembahkan sesajian untuk ayah almarhum dan seluruh leluhur agar tak ada pengkhianatan antara aku dan sahabatku. Tak lupa pula tangan kasar guru agama tua yang begitu luwes mengusap bulir-bulir rosario saat aku dan sahabatku meninggalkan kampung untuk melajutkan ziarah kami.”
Sebentar lagi, aku akan sampai di Puncak itu. Sudah sekian banyak orang mendahuluiku. Aku yakin mereka tidak membenci hujan. Hanya saja dinginnya pagi buta ini tentu menggerakkan otot untuk bergegas mencari kehangatan. Tetapi, aku justru lebih senang bermain dengan hujan. Butiran hujan membingkiskan rindu tentang pembabtisan 28 tahun silam. Apalagi aku belum selesai mengisahkan ziarahku.
“Hari berganti hari, kami selalu bersama menikmati hari-hari indah. Tak terasa hampir empat tahun kami membagi suka dan duka. Hingga suatu ketika, kami coba merangkai kembali kepingan kisah yang telah berlalu. Setelah sekian lama ada bersama, aku berhasil mengumpulkan keberanian untuk berkisah dengan jujur. Mungkin sahabatku sudah tahu. Hanya saja sahabatku begitu menghargai aku apa adanya.
Maka, kala liburan yang terakhir kusampaikan kepada bunda tentang ketidaknyamananku untuk terus berziarah bersama sahabat itu. Sungguh kuamini bahwa rahmat panggilan ini bukan ditujukan kepada manusia malaikat dan tidak menjadikan manusia menjadi makhluk setengah dewa. Hanya saja, aku jalani panggilan ini tanpa keterbukaan total dan kejujuran yang tulus. Aku kerap menutup diri terhadap sapaan kasih dan lebih nyaman mengandalkan diri. Belum lagi aku lebih senang bermain-main dengan hari esok sementara enggan bersahabat dengan luka-luka masa lalu dan mengabaikan desiran angin yang menerpa wajahku sepanjang hari.
Sembari menyuguhkan pisang bakar, bunda memasuki bola mata bulatku dan didipandanginya jiwaku lekat-lekat. Tatapan serupa kualami pula saat aku meninggalkan kampung halaman bulan Agustus yang lalu. Kulihat seujud doa dari sorot mata bunda dan ini membedakan tatapannya dari berpasang mata kerabat yang menghantar kepergianku. Meski seolah diabaikan, bunda tetap merestui perjalanan puteranya. ‘Hati-hati di jalan’, demikian suaranya yang memenuhi gendang telingaku. Aku yakin bunda tak beranjak sebelum bis yang membawaku benar-benar hilang dari pandangannya.”
Hujan belum juga berhenti ketika aku tiba di pelataran rumah hening di bukit ini. Lonceng telah berdentang memangil peziarah muda untuk menyambut
Sang Terang. Musafir-musafir bergegas dari biliknya menuju rumah hening ini. Dari pelataran ini, kupandangi lorong-lorong yang pernah kulewati bersama sahabatku. Maka, sebelum berada dalam hening, akan kuakhiri kisahku.
“Setelah sekian bulan berbagi dengan intensif, pada awal Desember sahabatku merelakan aku pergi. Bagi kami, keputusan itu adalah yang terbaik. Tentu ada air mata saat pisah itu. Sekiranya sikapku meninggalkannya sebagai pengkianatan, maka bulir bening itu adalah penghargaan untuk kesetiaannya membasuhku dari lumpur dan menyembuhkan luka. Dan bunda pun tetap melapangkan rangkulan sekiranya aku dianggap kalah.”
Paduan suara melantangkan gema “Lihat secercah sinar di angkasa/datang menerpa kegelapan/…/Gloria in excelsis Deo.” Ekaristi kudus pada dua puluh lima Desember di mulai. Sementara di luar, hujan kian turun dengan lebatnya. Kepada hujan, kupinta agar kisahku di hantar ke samudera dan semoga jiwaku disegarkan untuk memulai kisah baru sehingga pada saatnya aku akan berseri seturut kasihNya.
Yap…, hujan telah menemaniku pada hari natal, belum lama setelah aku berpisah dari kehangatan sahabat putih itu.
Kos Jembatan, akhir Desember 2013