Oleh: Anselmus D Atasoge
Aku-engkau yang dicita-citakan JO adalah aku-engkau yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab. Aku-engkau yang tidak eksklusif. Aku-engkau yang terbuka terhadap satu sama lain, saling merawat dan merangkai perbedaan secara dialogis-komunikatif.
Kompas.com, 10/10/2020, menulis bahwa dengan spirit humanisme transendental yang selalu didengungkannya, Jakob Oetama hendak membangun Indonesia kecil lewat Kompas Gramedia, tanpa terkotak-kotakkan dengan agama dan identitas sosial lainnya. Indonesia tanpa terkotak-kotakan seperti itu, mungkinkah? Tulisan ini hendak ‘menyisipkan’ sejumput gagasan pada gagasan besar dari seorang tokoh bangsa ini, Jakob Oetama (JO), yang pada 9 September 2020, telah kembali kepada Sang Khalik, awal dan akhir kehidupannya. Muara akhir refleksi ini adalah penegasan bahwa Indonesia sangat mungkin untuk keluar dari jeratan pengkotak-kotakan!
Indonesia itu negara-bangsa yang bercorak multikultur. Namun, sepanjang sejarah Indonesia bahkan sebelum masa kemerdekaannya, Indonesia yang bercorak multi-agama, multi-etnis-budaya tak sepenuhnya menikmati corak pluralisnya itu. Corak ke-Indonesia-an ini di satu sisi menjadi kekayaan bangsa namun di sisi lain mengandung pula tantangan. Ketika agama, kepercayaan atau model-model spiritualitas lokal lainnya (sebagai unsur-unsur dari kepluralitasan tersebut) telah masuk dan menjadi bagian dalam dan dari ruang publik, pluralitas menampilkan dua konsekuensi yang berbeda. Di satu pihak menjadi kekayaan ketika dia mengungkapkan berbagai kemungkinan jalan untuk mendekati Allah dan jalan untuk mewujudkan apa yang dipandang sesuai dengan maksud Allah untuk kebaikan manusia.
Pada pihak lain, pluralitas merupakan sebuah tantangan yang jika tidak dikelola dengan baik dapat menjerumuskan negara-bangsa dalam pola pikir dan aksi-aksi diskriminatif. Dalam sejarah Indonesia, jawaban terhadap tantangan ini tidak hanya diberikan dalam bentuk kehendak baik untuk menciptakan peacebuilding melainkan juga dalam bentuk ketegangan malahan bentrokan berdarah. Hal lain yang juga menjadi perhatian serius bangsa ini adalah lahirnya sikap dan aksi-aksi radikalisme yang menjadikan bangsa ini terfragmentasi dalam kepingan-kepingan kelompok yang ingin memaksakan kehendak dan cita-cita mereka sendiri dengan jalan-jalan kekerasan. Pertanyaan di atas kembali terngiang. Mungkinkah Indonesia ini terbebaskan dari pengkotak-kotakan atas nama agama dan identitas sosial lainnya?
Seluruh diri dan karya JO adalah sebuah jawaban atas pertanyaan itu. Lewat KOMPAS, JO mewartakan bahwa agama dan identitas sosial lainnya merupakan fakta terberi bagi bangsa-negara Indonesia yang menjadi ‘keindahan Indonesia’. Fakta itu bukan menjadi penghalang dan pengganggu dalam mewujudkan kebangsaan Indonesia. Dia bukan menjadi alasan untuk ‘memisahkan Aku dan Engkau’ yang berbeda-beda. Dia justru menjadi mozaik terindah Indonesia yang harus selalu dirawat dan dirayakan keberadaannya.
Hemat saya, melalui diri dan karyanya, JO selalu memperjuangkan ‘ke-aku-engkau-an yang pluralis’. Aku yang menghormati dan mengakui keberadaanmu sebagai manusia dan engkaupun menghormati dan mengakui keberadannku pun sebagai manusia dengan segala karakteristiknya yang unik. Aku tidak memasang idealisme yang ada pada identitasku untuk menakar dan menilai praksis hidup dan identitasmu. Aku hidup dengan identitasku dan dirimu pun demikian. Identitas kita yang berwujud dalam alam dogmatis dan praksis ritualnya memang berbeda. Namun kita satu dalam muara akhir yakni kebaikan bersama di dunia nyata dan keselamatan di dunia akhirat.
Aku-engkau yang dicita-citakan JO adalah aku-engkau yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab. Aku-engkau yang tidak eksklusif. Aku-engkau yang terbuka terhadap satu sama lain, saling merawat dan merangkai perbedaan secara dialogis-komunikatif. Di dalamnya ada semacam sisi sinkretikal-resiprokal, seperti yang pernah digagaskan Komaruddin Hidayat. Sisi ini mengandaikan adanya keterbukaan dan kerelaan berbagi pengalaman ke-identitas-an (agama-etnis) dari setiap mereka yang berbeda serta sikap untuk menerima dan mengakui pihak lain yang berbeda. Keterbukaan dan kerelaan semacam ini merupakan salah satu jalan untuk menghindari doktrin supersessionisme identitas tertentu di dalam kehidupan bersama. Doktrin ini mengajarkan bahwa mereka yang ‘datang belakangan menggeser’ mereka yang sudah ada sebelumnya. Jika itu diterima maka Indonesia kita akan terfragmentasi dengan garis demarkasi yang sangat segregatif. Dan, itu bukan impian JO dan negara-bangsa kita.
Idealisme akan ke-aku-engkau-an yang pluralis lahir dari sebuah spirit yang tak henti-hentinya ‘diproklamirkan’ secara tak berkesudahan oleh JO dan para pemimpin KOMPAS. Mereka menyebutnya dengan nama spirit humanisme transendental. Spirit ini mengajarkan sejumlah nilai di antaranya pengarus-utamaan segala pemikiran yang bercorak kesatuan-persatuan, perlakuan manusia sebagai subjek bermartabat bukan objek yang dieksploitasi (aset berharga yang dirawat, dijaga, dan dikembangkan) dan pengutamaan mereka yang miskin-menderita dan terpinggirkan dengan menyuarakan suara-suara mereka yang dari dirinya sendiri tak dapat bersuara karena pelbagai alasan. Intinya, humanisme transcendental berjuang untuk memperindah eksistensi kemanusiaan yang berharkat-bermartabat. Humanisme transcendental mengajak manusia Indonesia untuk berpassing-over: dari paradigma eksklusif menuju paradigma inklusif-pluralistik yakni menghargai dan mengakui ‘yang lain’ sebagai manusia berpribadi yang unik. JO telah lama nian memperjuangkan itu!
Saya kira kita boleh melanjutkan perjuangan JO dengan tidak hanya berpassing over melainkan lebih deras lagi dengan sebuah ‘lompatan jauh’ dalam dua sisi. Pertama, inclusion of the others (seturut gagasan Jurgen Habermas) yakni dengan menggalang solidaritas lintas batas (etnis, budaya, ras, agama dan kesatuan-kesatuan identitas primordial lainnya dan ‘bersedia untuk mengikut-sertakan yang lain” di dalam keunikannya. Kedua, ren (seperti yang digagaskan Lo Chung-Shu) yakni sebuah sikap simpatik yang didasari pada kesadaran bahwa semua orang di sekeliling kita juga mempunyai keinginan yang sama untuk mendapatkan hak-hak yang sama, sama seperti diri kita menginginkan hak kita untuk dipenuhi. Selamat jalan, JO, ‘sang penepis’ kotak-kotak identitas! *