Kritik Kaum Feminis Terhadap Filsafat, Sebuah Upaya untuk Memperjuangkan Kesetaraan Gender

Oleh: Ervino Hebry Handoko

Kaum feminis mengingatkan kita bahwa sesungguhnya perasaan dan pikiran merupakan dua hal yang diperoleh melalui proses belajar dalam masyarakat atas dasar itu tidak bisa mengklaim bahwa perempuan identik dengan perasaan, sedangakan laki-laki identik dengan pikiran. Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk mendapat kedua unsur tersebut.

Pengantar

Manusia diciptakan Allah dengan kodrat yang sama. Dalam Kitab Suci Kristen tidak ada ayat yang mengatakan bahwa posisi laki-laki lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan perempuan. Kitab Suci menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kodrat yang sama dan mereka hidup untuk saling melengkapi. Kesamaan derajat sebagaimana yang dinubuatkan dalam Kitab Suci tidak serta-merta diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan manusia. Faktor budaya membuat segalanya menjadi berubah. Di mana-mana terjadi dikotomi mengenai posisi perempuan dan laki-laki. Dalam budaya tertentu perempuan dianggap sebagai objek atau pelengkap kaum laki-laki. Kehadiran perempuan dianggap sebagai suatu kelebihan yang tidak perlu dalam artian ada tidaknya perempuan tidak mengurangi keberadaan kaum laki-laki.

Konsep ini tentunya sangat radikal. Banyak alasan yang muncul di permukaan mengapa posisi perempuan dinomorduakan dalam masyarakat. Pertama, perempuan tidak memiliki kemampuan berpikir secara kritis, tidak bisa memecahkan persoalan. Kedua, perempuan cenderung menggunakan perasaannya dalam menilai suatu persoalan ketimbang pikirannya. Hal ini yang membuat sebagian orang menilai bahwa perempuan mengaburkan nilai rasionalitas. Argumentasi ini pun didukung oleh Aristoteles. Ia berpendapat bahwa perempuan memiliki kualitas yang jauh lebih rendah perihal kebijaksanaan. Perempuan cenderung menggunakan perasaannya, sehingga sulit menilai suatu persoalan secara logis dan objektif. Argumentasi ini semakin memperkokoh posisi perempuan sebagai golongan kedua, sehingga tidak heran keterlibatan perempuan dalam dunia filsafat sangat minim bahkan hampir tidak ada khusunya dalam periode waktu filsafat Yunani sampai filsafat abad pertengahan.

Thomas Aquinas memiliki pandangan yang sama. Ia berpendapat bahwa, kecenderungan perempuan menggunakan perasaannya dalam menilai suatu masalah mengaburkan nilai kebenaran objektif dan rasional. Konsep ini mau menunjukkan bahwa peran perempuan tidak begitu diperhitungkan bahkan dipandang sebagai sosok penghambat dalam mengungkapkan suatu kebenaran objektif.

Dalam tulisan ini saya memfokuskan diri pada tiga pokok penting. Pertama, mencoba menggali sejauh mana anggapan umum tersebut (perempuan identik dengan perasaannya) bisa diterima sebagai suatu kebenaran umum atau hanya sebuah konstruksi pemikiran yang dibangun oleh sebagian pihak demi kepentingan tertentu tanpa penilaian yang mendalam. Kedua, melihat sejauh mana kombinasi antara perasaan dan pikiran bisa memberikan suatu epistemologi baru dalam dunia filsafat. Ketiga, mendamaikan perseteruan akibat dominasi pikiran (laki-laki/filsafat) terhadap perasaan (perempuan).

Saya berpendapat bahwa, pada dasarnya pikiran dan perasaan bukanlah dua hal yang terpisahkan melainkan suatu unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Dengan demikian, tidaklah tepat mengatakan perempuan cenderung lebih rasional dan perempuan cenderung emosional. Pada prinsipnya kedua unsur ini selalu berjalan bersama dalam diri laki-laki maupun perempuan. Kesimpulan itu tentu diambil setelah melakukan berbagai riset dan studi pustaka. Pokok-pokok penting berkaitan dengan hasil studi pustaka mengenai kritik feminis terhadap filsafat akan dibahas dalam pokok bahasan berikut ini.

Latar Belakang Historis

Dalam perkembangan sejarah filsafat baik di Barat maupun di Timur muncul suatu pemahaman umum yang menekankan perbedaan mendasar antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dipandang sebagai pribadi yang cenderung mengandalkan pikirannya dalam menilai suatu persoalan, sedangkan perempuan cenderung menggunakan perasaannya. Anggapan ini pun diterima dalam kajian ilmu psikologi. Para filsuf beranggapan bahwa suatu persoalan jika dinilai secara rasional akan memberikan suatu kebenaran pasti, sedangkan jika suatu penilaian disatukan dengan perasaan hal tersebut mengaburkan nilai kebenaran objektif. Pandangan ini secara implisit menegaskan bahwa kebenaran yang sesungguhnya ada pada laki-laki. Anggapan ini yang turut mempengaruhi peran perempuan dalam menempati posisi penting dalam dunia pekerjaan. Perempuan tidak diperhitungkan, tidak diberi peran, tidak diberi kesempatan untuk bersuara. Konsep ini berkembang dari masa ke masa dan bertahan hingga saat ini. Konsep ini pada awal mulanya diterima begitu saja oleh semua pihak, dan menganggap itu sebagai suatu kebenaran umum.

Perkembangan ilmu pengetahuan membuat kaum feminis bangkit dari tidurnya, mereka mulai sadar akan posisinya yang dimarginalkan. Kesadaran ini membuat mereka mencoba merekonstruksi pemahaman lama yang terlanjur menjadi suatu dogma. Kaum feminis mencoba melihat sedikit kemungkinan sejauh mana peran perasaan mampu mengungkapkan suatu kebenaran objektif. Kaum feminis yakin bahwa sebuah keputusan rasioanal tanpa didorong oleh perasaan tidak akan menyentuh langsung pengalaman manusia. Keputusan rasional hanya berhenti pada bagian permukaan saja, tanpa menyelami langsung sisi paling dalam kemanusiaan seseorang. Bagi kaum feminis, putusan rasional terkadang tidak memperhitungkan rasa belaskasihan, kemanusiaan dan keadilan. Atas dasar itu kaum feminis membangun suatu gagasan baru yaitu epistemologi feminis yang intinya mengkombinasikan peran rasio dan perasan dalam mengambil sebuah keputusan.

Eve Browning Cole seorang penggerak aliran feminis modern pun menawarkan sebuah epistemologi feminis yang baru yaitu sebuah epistemologi “merasa” yang menuntut agar sebuah penelitian ilmiah mesti menyentuh langsung objek yang dikaji sehingga bisa menghasilkan sebuh penilaian yang objektif dan komprehensif, hal yang sama juga perlu dilakukan ketika mau memahami seluk-beluk perkembangan kaum feminis. Cole berasumsi bahwa pada dasarnya penalaran filosofis meskipun rasional dan logis namun ia tidak menyentuh langsung pengalaman dasar manusia. Salah satu contohnya adalah dalam mengambil keputusan moral.

Filsafat tidak mempertimbangkan unsur kemanusiaan seseorang, filsafat menekankan pada rasionalitas dan kebenaran universal tanpa memperhitungkan dan mempertimbangkan apakah keputusan yang diambil itu mengikis unsur kemanusiaan seseorang atau tidak. Cole menegaskan keputusan seperti ini terasa kering dan tidak manusiawi karena sikap individualitas yang ditonjolkan. Filsafat yang menekankan suatu penalaran yang logis dan rasional kadang menjadi senjata meruntuhkan yang lain. Cole pun meragukan suatu penilaian objektif dari filsafat dan atas dasar itu ia berpendapat bahwa sangat terlalu dini mengatakan bahwa filsafat memberikan suatu penilaian yang betul-betul objektif.

Rekonstruksi Pemikiran

Kaum feminis berupaya merekonstruksi pemikiran filsafat yang cenderung dogmatis tersebut dengan mengutarakan beberapa keberatan dan komentar. Kaum feminis mencoba memperbaiki posisinya yang dimarginalkan tersebut dengan mengharapkan pembaharuan dalam berbagai bidang. Pertama, dalam bidang filsafat keagamaan, kaum feminis mencoba mencari alasan mengapa kaum laki-laki menjadi pusat dalam istitusi keagamaan. Kaum feminis menuntut suatu pertanggungjawaban moral atas dasar apa perempuan tidak dilibatkan dalam institusi keagamaan. Kaum feminis menilai bahwa dikotomi yang terjadi saat ini adalah hasil konstruksi pemikiaran manusia dan hasil penafsiran akan apa yang diajarkan oleh agama. Protes yang dilancarkan oleh kaum feminis sedikit demi sedikit membawa pembaharuan dalam istitusi keagamaan.

Kedua, dalam filsafat sains, kaum feminis menuntut agar penelitian tidak hanya bersifat subjektif terhadap golongan feminis tetapi mesti menyentuh langsung pada pengalaman kaum feminis sehinggga menghasilkan sebuah pemahaman yang objektif. Atas dasar itu, kaum feminis menuntut keterlibatannya dalam pengembangan sains. Dalam bidang etika medis, kaum feminis menolak perbedaan laki-laki dan perempaun berkaitan dengan alat reproduksinya. Kaum feminis menuntut sebuah kesempatan agar kaum perempuan dilibatkan dalam kajian medis sehingga mereka bisa mengenal lebih dekat dunia mereka, dengan demikian pengetahuan yang dihasilkan pun bersifat objektif dan komprehensif.

Kritik Kaum Feminis terhadap Filsafat

Kaum feminis memberikan beberapa kritik terhadap filsafat berkaitan dengan posisinya yang cenderung menomorduakan kaum perempuan. Kaum feminis menegaskan bahwa dalam berfilsafat perasaan ikut berperan penting. Perasaan yang memungkinkan adanya kecenderungan untuk melakukan sesuatu. Dalam kondisi ini, peran rasio adalah untuk melakukan kontrol terhadap dorongan dari perasaannya. Dalam hal ini, peran perasaan dalam berfilsafat sangat penting. Kaum feminis pun memperkuat argumentasinya dengan mengutip Leibnitz dan Hegel yang mana kedua tokoh tersebut menyinggung peran perasaan dalam berfilsafat. Di samping itu, kritik kaum feminis terhadap filsafat menjadi dasar munculnya gerakan filsafat empirisme. Perjuangan kaum feminis memberi sumbangan besar dalam pembaharuan ilmu filsafat.

Kaum feminis juga mengkritik epistemolgi (rasionalisme dan naturalisme) yang cenderung tidak menyentuh langsung pengalaman akan objek yang dikaji. Atas dasar itu, mereka menawarkan epistemologi feminis yang baru yaitu sebuah epistemologi “merasa” dalam artian sebuah penelitian ilmiah mesti merasakan langsung objek yang dikaji sehingga bisa menghasilkan sebuah penilaian yang objektif dan komprehensif, hal yang sama juga perlu dilakukan ketika mau memahami seluk-beluk perkembangan kaum feminis.

Kaum feminis juga mengkritik posisi filsafat yang mengabaikan peran perasaan dan mengaburkan nilai cinta kasih dan kemanusiaan. Keprihatian kaum feminis ini bertolak dari pengalaman perang Vietnam. Salah satu tokoh kaum feminis yang mengkritik peristiwa perang Vietnam adalah Sara Ruddick (1935-2011). Dalam bukunya yang berjudul Material Thinking, Ruddick menyatakan bahwa dengan sebuah penalaran filosofis, didukung oleh konsep yang abstrak serta cara berpikir deduktif telah menyumbang kepada perang dengan memberi kesan bahwa melalui metodologi yang benar seorang dapat membangun alasan yang dibenarkan untuk membunuh orang lain.

Etika Kepedulian Kaum Feminis

Dalam filsafat moral, kaum feminis menawarkan sebuah etika kepedulian sebagai cara untuk meredam laju filsafat yang terkesan radikal dan mengabaikan relasi intersubjektivitas manusia. Filsafat tidak menyentuh perasaan manusia, filsafat berhenti pada tataran kebenaran rasional dan objektif. Dalam etika kepeduliaannya kaum feminis menegaskan bahwa jika dalam mengambil sebuah keputusan moral tanpa pertimbangan perasaan, maka keputusan tersebut akan menghasilkan sebuah keputusan kering, tidak manusiawi dan mengaburkan nilai cinta kasih.

Kaum feminis dalam hal ini mengkritik filsafat yang cenderung mendasarkan etikanya pada penalaran rasional. Teori etika filsafat (kaum laki-laki) didasarkan pada rasio. Mereka beranggapan bahwa keterlibatan perempuan terkadang mengaburkan nilai rasionalitas. Atas tuduhan itu, kaum feminis mencoba melawan dengan mengemukakan pembelaan. Maka, fokus utama etika feminisme adalah untuk memprioritaskan suara dan pengalaman perempuan sebagai agen moral yang aktif yang mampu berpartisipasi dalam pembangunan sistem moral dan etika. Salah satu tokoh yang terkenal dalam golongan kaum feminis yang memperjuangkan etika kepedulian adalah Carol Gilligan. Gilligan dalam tulisannya menegaskan bahwa laki-laki secara karateristik peduli dengan masalah-masalah moral substantif keadilan, hak, otonomi dan individuasi.

Dalam penalaran moral mereka cenderung bergantung pada prinsip-prinsip abstrak dan universal. Sedangkan perempuan sebaliknya, mereka lebih sering peduli dengan hal-hal moral yang substantif dari perawatan, hubungan pribadi dan menghindari untuk menyakiti orang lain. Perempuan cenderung mendasarkan prilakunya pada kepedulian dan kemampuan untuk medengarkan orang lain dan diri sendiri.
Menurut Gilligan paham etika seperti ini menekankan pentingnya hubungan antar sesama manusia. Etika kepedulian menunjukan karateristik seorang ibu yang menekankan unsur emosi daripada unsur rasionalitas. Etika kepedulian yang ditawarkan oleh kaum feminis membantu filsafat agar perlu melakukan suatu prinsip keseimbangan. Kaum feminis menegaskan bahwa filsafat cenderung radikal dan rasional sehingga terkadang mengabaikan relasi intersubjektivitas manusia. Filsafat dengan rasionalitasnya tidak mempedulikan disposisi batin manusia. Kaum feminis menawarkan suatu yang baru yaitu prinsip keseimbangan sehingga keputusan yang diambil dalam penalaran lebih bijaksana dan manusiawi.

Usaha Mencari Titik Temu

Pada bagian awal telah disampaikan bahwa salah satu alasan perempuan kurang diperhitungkan dalam masyarakat disebabkan karena perempuan cenderung menggunakan perasaanya dalam menilai sebuah persoalan. Bagi kaum laki-laki dan juga filsafat, keterlibatan perasaan mengaburkan sebuah kebenaran objektif. Dari persoalan ini tentu muncul suatu pertanyaan, apakah benar semua laki-laki cenderung rasional dalam mengambil keputusan. Demikian pun sebaliknya, apakah semua perempuan cenderung menggunakan perasaannya dalam mengambil sebuah keputusan ketimbang pikirannya. Jika dilihat dalam konteks zaman sekarang, kedua hal ini masih bisa didiskusikan dan diperdebatkan.

Sebelum melangkah lebih jauh, ada beberapa hal penting yang mesti diketahui. Pertama, sikap dan perilaku yang dimiliki seseorang merupakan unsur-unsur yang dibentuk melalui proses belajar dalam keluarga dan masyarakat di mana manusia tinggal. Kedua, kebiasaan yang menjadi gaya hidup seseorang dibentuk melalui proses belajar dalam masyarakat. Dengan demikian, setiap orang memiliki karakter yang berbeda dengan yang lainnya baik itu perempuan maupun laki-laki. Seseorang akan menjadi egois bila ia dibesarkan dan dididik dalam keluarga dan masyarakat yang memiliki pola hidup egois, demikian pun sebaliknya. Seorang akan menjadi pribadi yang memiliki rasa empati bila ia tinggal dalam keluarga dan masyarakat yang memiliki kadar kepedulian yang tinggi. Ketika seseorang sudah memiliki sikap empati, itu berarti ia memanfaatkan fungsi perasaannya. Bagaimana pun sikap empati adalah sebuah tindakan yang didorong oleh sikap “merasa” akan kondisi yang dialami oleh orang lain.

Dari contoh di atas dapat dikatakan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kecenderungan yang sama, laki-laki bisa cenderung mengandalkan perasaannya dalam mengambil tindakan demikian pun perempuan, atau justru sebaliknya perempuan bisa cenderung menggunakan pikirannya ketimbang perasaannya. Semuanya bisa terjadi, tergantung di lingkungan mana mereka terbetuk. Faktor budaya dan tempat tinggal turut mempengaruhi terbentuknya kepribadian seseorang. Atas dasar itu, tidak dapat dibenarkan bila perasan itu identik dengan perempuan sedangkan laki-laki identik dengan pikirannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita jumpai bahwa begitu banyak laki-laki yang cenderung memiliki rasa empati yang tinggi dibandingkan perempuan. Ada banyak laki-laki yang cenderung menggunakan perasaannya dalam mengambil keputusan. Demikian pun dengan perempuan, tak jarang kita menjumpai perempuan yang begitu idealis sehingga mengabaikan peran perasaanya. Atas dasar itu, sangat tidak tepat membuat dikotomi antara perempuan dan laki-laki. Semuanya memilki karakter yang sama, keduanya terbentuk dari proses belajar bukan sesuatu yang tumbuh secara alamiah.

Peran Perasaan dalam Komunikasi Massa

Salah satu ciri yang menandai zaman modern adalah adanya optimisme terhadap subjektivitas manusia. Penekanan pada manusia otonom atau manusia yang mampu berpikir mandiri begitu menguat. Pada era ini prinsip rasionalitas sangat dijunjung tinggi. Namun hal ini mengalami perubahan ketika manusia memasuki era baru yang disebut sebagai generasi milenial. Pada era ini prinsip rasionalias ditelanjangi oleh berbagai berita-berita palsu dan ujaran kebencian yang tidak memiliki dasar pertanggungjawaban yang jelas dan rasional.

Media sosial menjadi tempat mengumbar kebencian dan berita palsu. Laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa terlibat di dalamnya tanpa terkecuali. Tidak ada lagi sikap kritis dan pertimbangan rasional dalam mengambil keputusan, yang ada hanyalah sikap brutal tanpa memikirkan akibat dari perbuatan tersebut. Bahasa rasional seolah-olah mati tanpa jejak. Di sini sangat jelas aspek rasioanalitas dikesampingkan, yang ditonjolkan justru bahasa perasaan.

Elit politik yang dipandang sebagai figur publik turut terlibat dalam permainan kotor tersebut. Mereka adalah orang yang terpandang dan memiliki latar belakang pendidikan yang bagus. Semua orang tentu berharap, elit politik semestinya menjadi teladan untuk mengungkapkan kebenaran bukan kepalsuan, namun yang terjadi justru sebaliknya. Perlu diketahui pula bahwa mayoritas elit politik kita adalah golongan laki-laki. Dalam berpolitik, mereka cenderung mengandalkan perasaannya. Perasaan yang mengaburkan nilai rasionalitas. Kenyataan ini yang membuat kita berpikir bahwa bukan hanya perempuan yang menggunakan perasaanya tetapi juga laki-laki. Namun, ada hal yang berbeda, perempuan dengan perasaanya mengarahkan tindakannya pada hal yang baik dan memperhatikan unsur kemanusiaan seseorang sedangkan laki-laki cenderung mengarah pada hal yang anarkis dan merugikan banyak orang. Kenyataan ini tentu menjadi sebuah landasan yang tepat untuk mendukung kritik kaum feminis terhadap filsafat yang melupakan peran perasaan.

Kesimpulan

Perjuangan kaum feminis untuk mendapatkan pengakuan dalam kehidupan masyarakat merupakan usaha yang belum selesai. Meskipun demikian, ada tanda-tanda positif di mana peran perempuan mulai diperhitungkan baik dalam institusi politik, ekonomi maupun keagamaan. Perkembangan ini tentu layak diapresiasi bahwa feminisme bukan gerakan individu perempuan mencapai kepenuhan diri, tetapi gerakan untuk mengatasi ketidakadilan sistemik terhadap perempuan sebagai suatu kelompok manusia. Dengan kata lain, pencapaian individu perempuan di posisi tinggi belum menjadi ukuran. Tolok ukurnya adalah lenyapnya sistem patriarkis.

Perjuangan kaum feminis turut memberi kontribusi baru bagi filsafat kususnya dengan lahirnya filsafat aliran empirisme. Kaum feminis juga mengajak filsafat untuk tidak membuat dikotomi mengenai peran perasan dan pikiran. Bagi kaum feminis kedua unsur tersebut mesti belajar dan berjalan bersama, tidak boleh dipisahkan. Keduanya disatukan untuk menghasilkan suatu penilaian yang objektif-rasional dan manusiawi. Setiap keputusan yang diambil tidak hanya sebatas memperhatikan kebenaran objektif tetapi mesti melangkah lebih jauh yaitu melihat sejauh mana keputusan itu memberikan kebahagiaan bagi orang lain. Kaum feminis juga mengingatkan kita bahwa sesungguhnya perasaan dan pikiran merupakan dua hal yang diperoleh melalui proses belajar dalam masyarakat atas dasar itu tidak bisa mengklaim bahwa perempuan identik dengan perasaan, sedangakan laki-laki identik dengan pikiran. Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk mendapat kedua unsur tersebut.

Referensi:

Cole, Eve Browning, Philosophy And Feminist Criticism: An Introduction.
New York: Paragon House, 1993.
De Beauvoir, Simone. The Second Sex. Diterjemahkan dan diedit oleh H. M. Parshley. New York: Vintage Books, 1952.
Friedman, Marilyn” Feminism in Ethics: Conception of Autonomy” in The Cambridge Companion to Feminist Philosophy. Eds. Miranda Fricker dan Jennifer Hornsby. Cambridge: Universiry Press, 2000.
Griffths, Morwenna. “Feminism, Feelings and Philosophy” In the Feminist Perspectives in Philosophy. Eds. Morwenna Griffiths. London: Macmillian Press, 1998.
Nye, Andrea.”Introduction: Shaping a Past,” in Feminist and Modern Philosophy: An Introduction. New York: Routledge, 2004.

Leave a Comment