Kerygma Universal dan Hidup yang Kontekstual

Oleh: Timotius J

Refleksi teologis yang benar pada hakikatnya harus bisa menjawab kebutuhan umat beriman. Karena itu, para teolog hendaknya mampu membaca tanda-tanda zaman yang menyertai ziarah umat beriman dan refleksi teologi hendaknya menjadi pelita bagi umat beriman untuk semakin terbuka pada rencana dan kehendak Allah pada setiap zaman. Hal ini hanya mungkin kalau teologi itu selalu kontekstual.

Eka Darmaputera mengamati bahwa Gereja-Geraja main stream Indonesia yang sedang dilandai kecemasan dan resah. Bahkan, Gereja-Gereja tersebut berada pada tingkat bingung dan panik sehingga cendrung reaktif dan defensif. Hal ini sangat kental dalam menghadapi gerakan-gerakan keagamaan baru yang membahayakan, menjebak warga Gereja dalam kerangkeng konservatisme dan fundamentalisme.

Gejala-gejalan di atas merupakan tanda-tanda yang menunjukkan betapa minimnya pemahaman dan penghayatan teologis umat. Pemahaman dan penghayatan yang minim tidak hanya terjadi dalam kalangan umat, tetapi hal tersebut juga melingkupi pemegang otoritas Gereja. Kondisi merupakan pintu gerbang yang membuat umat beriman mudah meninggalkan Gerejanya. Bagi mereka, Gereja tidak mampu menjawab dan memenuhi kebutuhannya dan karena itu mau tidak mau harus berpindah ke gerakan-gerakan keagamaan baru, seperti gerakan karismatik yang mampu menjawabi kebuthan mereka.

Dalam menghadapi situasi seperti ini, Gereja harus memiliki pegangan yang jelas dan benar sehingga relevan dengan kebutuhan umat beriman. Berkaitan dengan hal ini, bagi Eka Darmaputera, Teologi Kontekstual merupakan jawaban untuk mengatasi persoalan ini.

Eka Darmaputera mengetengahkan bahwa teologi kontekstual merupakan teologi yang mampu mempertemukan kerygma yang universal dengan hidup yang kontekstual. Titik tolak dari teologi adalah Allah menyatakan kehendaknya untuk menyelamatkan semua manusia pada segala zaman menurut konteks yang partikular. Tugas para teolog adalah mengenali dan merumuskan kehendak Allah sehingga mampu menjawabi kebutuhan umat dalam konteks terntu.

Dalam upaya untuk mengenali dan merumuskan kehendak Allah, teologi mengandaikan tiga hal penting, yaitu Alkitab, tradisi dan hermeneutik. Dalam Alkitab, Allah telah menyatakan kehendak-Nya yang kekal dan universal melalui tindakanNya pada konteks dan ruang terntentu. Kerygma yang universal dalam Alkitab hanya mungkin ditangkap kalau ada pemahaman yang benar dan tepat tentang konteks yang partikular itu. Sementara itu, tradisi juga diperhatikan karena Allah selalu menyatakan kehendaknya pada segala zaman. Karena Allah menyatakan kehendaknya selalu dalam konteks entah Alkitab atau tradisi, maka teologi juga harus mempertimbangka persoalan hermeneutik. Hermeneutik menjadi penting karena hal itu memungkinkan kita untuk mengangkat kerygma yang universal dalam Alkitab dan tradisi yang partikular untuk hadir dalam konteks kini, hinc et nunc.

Berangkat dari pemahaman di atas, Eka Darmaputera menyadari kerumitan dalam Teologi Kontekstual, yaitu bagaimana menghubungkan yang universal dengan partikular. Setidak-tidaknya, orang bisa terperangkap dalam dua kemungkinan buruk, yaitu semena-mena mencangkokkan yang univerdal pada yang partikular tanpa mempertimbangkan partikularitas atau mengutamakan yang partikular dan dengan demikian mengabaikan yang universal. Kedua hal ini akan mengantar kita kepada subjektivisme dan relativisme kultural.

Untuk mengatasi masalah ini, Eka menggarisbawahi bahwa teologi kontekstual hendaknya dilakukan dalam model inter-disipliner dan harus mampu merumuskan “core” kristiani menyangkut dogma, liturgi dan etika. Indikator yang dalam menilai keberhasilan adalah ortodoksi (apakah hasil pergumulan itu masih dapat disebut kristen) dan relevansi (apakah pergumulan itu cukup fungsional bagi konteks sekarang dan masa depan yang dapat diperhitungkan). Relevansi ini hendaknya mendukung fungsi kristiani sebagai nabi iman dan raja sehingga kita bisa bersikap positif, kritis, kreatif dan realistis. Dan dalam konteks Indonesia, penekanan pada Teologi Kontekstual relasi yang seimbang antara konteks warisan kultural (identitas) sekaligus modernitas.

Eka Darmaputera telah berusaha untuk mencari dan merumuskan panduan bagaimana Teologi Kontekstual itu berjalan. Teologi Kontekstual berjalan di bawah tiga pelita, yaitu Alkitab, tradisi dan hermeneutik. Tiga pelita ini akan menuntun para teolog dalam menemukan kerygma yang universal dalam partikularitas dan bagaimana kerygma yang universal itu dipakai dalam menjawabi kebutuhan umat untuk konteks tertentu.

Sumbangan yang tidak kalah pentingnya dari Eka Darmaputera adalah pentingnya relasi interdisipliner dalam mengenali dan merumuskan kehendak Allah. Dialog dengan ilmu-ilmu lain merupakan pintu gerbang memungkin teologi bisa memahami konteks secara benar dan tepat dan dengan demikian kerygma yang universal itu dapat dikenali dan dirumuskan dengan baik. Agar teologi itu tetap menjadi teologi, maka refleksi teologis harus mempertimbangkan tiga hal, yaitu dogma, liturgi dan etika.

Dalam refleksi teologi kontekstual, refleksi teologi juga tentu tetap berjuang untuk merefleksikan konteks dalam dirinya sendiri. Arah refleksi teologi juga tidak sampai terjebak pada kecenderungan untuk berhenti pada kerygma masa lalu. Diwasdai pula bahaya berteologi yang cenderung statis dan dogmatis. Teologi Kontekstual harus mampu mengenali dan merumuskan kerygma yang orisinil dan baru menurut konteks sini dan kini.

Tulisan ini diolah dari artikel Eka Darmaputera, “Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia”,  dalam Eka Darmaputera (Peny.), Konteks Berteologi Di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991.

Leave a Comment