Konsili Vatikal II, Kado Istimewa dari Indonesia

 Oleh: Timotius J

Dalam upaya pembaharuan liturgi, suara dari Gereja Indonesia mendapat perhatian istimewa dalam Konsili Vatikan II. Jurnal konsili Vatikan II yang ditulis Yves Congar, salah satu peritus (tenaga ahli) yang memiliki pengaruh istimewa dalam Konsili II, mencatat tentang gagasan yang dipeolori oleh Gereja Indonesia. 

25 Januari 1959, Paus Yohanes XXIII mengumumkan rencana untuk diadakan konsili ekumenis. Tak ada tepuk tangan, para kardinal terkejut dan duduk diam laksana patung ketika mendengar pengumuman itu. Keheningan menyelimuti basilika. Banyak orang terkejut akan keputusan Paus Yohanes XXIII sebab ia sendiri sudah tua dan diragukan akan mampu mengadakan suatu perhelatan besar, seperti konsili ekumenis. Konsli ekumenis merupakan konsili  yang harus dihadiri oleh semua uskup dari seluruh dunia. Meski demikian, konsili toh pada akhirnya terlaksana juga. Konsili Vatikan II dibuka dengan liturgi meriah pada 11 Oktober 1962 dan dinyatakan selesai pada 8 Desember 1965.

Jika menengok sejarah konsisili dalam gerak langkah Gereja, Konsili Vatikan II merupakan konsili ekumenis ke-21 dan merupakan Konsili terbesar. Jumlah uskup yang hadir lebih banyak dan berasal dari lebih banyak negara. Pada pembukaan Konsili ada 2540 Bapa Konsili yang hadir. Hadir pula sebanyak 29 pengamat dari 17 Gereja lain dan 8 undangan yang bukan Katolik, para pendengar terdiri dari pria dan wanita, perhatian besar media cetak dan makin banyak tersedianya informasi tentang Konsili. Jumlah dokumen yang dihasilkan lebih banyak dan dampak-pengaruhnya atas kehidupan Gereja Katolik lebih besar dari peristiwa mana pun sesudah zaman reformasi pada abad XVI.

Gereja Indonesia ikut mewarnai peristiwa besar itu. Pada masa itu, Gereja Indonesia berada pada periode peralihan dari daerah misi menjadi Gereja Mandiri. Setelah mendapat pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia, secara nasional upaya yang gencar dilakukan adalah dekolonisasi. Yang paling tampak dalam perkembangan Gereja Indonesia adalah sebanyak 1415 misionaris asing mengajukan permohonan untuk menjadi Warga Negara Indonesia. Selanjutnya, perubahan menuju Gereja Indonesia kian tampak dengan pembentukan hirarki Indonesia pada 3 Januari 1961. Para uskup Indonesia menghadiri Konsili tersebut dan pengalaman konsili meletakan landasan bagi kerjasama selanjutnya dikawasan Indonesia, juga demi pembangunan Gereja Indonesia setempat.

Pembaharuan Liturgi: Bahasa Latin Diganti Bahasa Pribumi

Sebelum Konsili Vatikan II, bahasa yang digunakan dalam liturgi adalah bahasa Latin dan liturgi hanya menjadi urusan klerus. Tampaknya, partisipasi umat hanya sebatas “mendengar dan melihat” saja. Bahkah pada masa tertentu dalam sejarah perkebangan liturgi, Usaha penerjemahan misa kudus ke dalam bahasa pribumi dikutuk.

Dalam upaya pembaharuan liturgi, suara dari Gereja Indonesia mendapat perhatian istimewa dalam Konsili Vatikan II. Jurnal konsili Vatikan II yang ditulis Yves Congar, salah satu peritus (tenaga ahli) yang memiliki pengaruh istimewa dalam Konsili II, mencatat tentang gagasan yang dipeolori oleh Gereja Indonesia.  Dalam jurnal tersebut diungkapkan bahwa satu-satunya dari Asia yang menjadi anggota Komisi Liturgi adalah Uskup Ruteng di Indonesia,  Mgr Van Bekkum.

Pencalonan Mgr. Van Bekkum menjadi anggota komisi liturgi didukung oleh aliansi Eropa karena ia telah mendalami liturgi dengan dua pemimpin dari gerakan liturgi Jerman dan Austria. Selain itu, dia mendapat reputasi internasional dalam Kongres Liturgi yang diselenggarakan di Assisi pada tahun 1956.

Pada tanggal 23 Oktober 1962 Uskup Van Bekkum mendapat kesempatan istimewa untuk memberikan konferensi pers tentang adaptasi liturgi dari budaya Indonesia. Konferensi pers itu diliput oleh sejumlah besar wartawan. Selepas konferensi pers, Uskup Agung Gantin dan Uskup Agung Cotonou Dahomey, meminta Mgr. Van Bekkum sebagai juru bicara dari Gereja Asia dan Afrika. Satu jam kemudian, radio Italia dan kantor berita internasional menyebarkan ide Mgr Van Bekkum ini. Wancara itu juga disebarluaskan oleh L’Osservatore Romanoterkejut membaca wawancara eksklusif tersebut.

Pada kesempatan itu, Mgr Van Bekkum menekankan pentingnya spontanitas dalam ibadah dan mengamati bahwa spontanitas menghilang ketika ibadah menggunakan bahasa asing. Mgr. Van Bekkum berpendirian bahwa selain bahasa Latin – misalnya bahasa Asia dan Afrika bisa menjadi “bahasa sakramental” dengan memasukkan mereka dalam liturgi, terutama dalam Misa. Dengan menggunakan bahasa ibu, vitalitas dan kekayaan liturgi akan tercapai.

Van Bekkum mencemaskan bahwa ketika orang-orang menjadi kristen, mereka kehilangan warisan religius, sosial dan budaya yang sudah lama dan yang mempresentasikan hal fundamental dalam hidupnya, keyakinannya dan tindakannya.  Van Bekkum menandaskan: “Ketika orang kafir menjadi orang Kristen, apa sebenarnya yang terjadi? Yang pertama adalah mereka kehilangan semua kebiasaan religius, sosial dan budaya yang diwariskan dari tradisi lama dan yang mempresentasikan kepada mereka hal-hal fundamental dalam hidup, keyakinan dan tindakannya.”

Kabar Gembira kiranya tidak membuang atau menghilangkan ritus-ritus pribumi, tetapi berjuang untuk mengkritenkan upacara-upacara setempat dan dengan demikian menampung semangat religus melalui sarana rahmat dan pada saat yang sama memerangi hal yang sia-sia. Bertolak dari pengakuannya tentang ritus-ritus yang ada dalam budaya setempat, Van Bekkum bependapat bahwa ritus-ritus itu dapat dintegrasikan ke dalam liturgi Katolik. Di sini, ritus-ritus primbumi dilihatnya sebagai persiapan untuk liturgi Katolik. Tindakan tesebut merupakan jawaban untuk memenuhi kerinduan umat beriman akan kebaktian yang menyapa mereka. Meski demikian, perlu diwaspadai bahwa tindakan tersebut tidak boleh mengabaikan hal-hal esensial dari kekristenan.

Menurut Van Bekkum, ada dua kemungkinan dari liturgi Katolik di mana unsur-unsur budaya bisa dimasukkan, yaitu doa umat dan perarakan persembahan. Berkaitan dengan doa umat, intensi doa disesuaikan dengan kebutuhan umat dan didaraskan oleh wakil umat yang dijawab oleh umat secara bersama-sama. Sementara itu, berkaitan dengan perarakan persembahan dianjurkan bahwa bahan persembahan harus bersifat lokal, dihantar oleh wakil umat sembari diiringi lagu-lagu umat setempat.

Setelah belasan abad liturgi Gereja Katolik Roma hanya boleh dirayakan dalam bahasa latin, kini terbuka kemungkinan penggunaan bahasa daerah atau pribumi dalam perayaan liturgi.  Konsili Vatikan II dalam Konstitusi tentang Liturgi suci (Sacrosanctum Concilium (SC) 36 memberikan izin penggunaan bahasa pribumi dalam liturgi.

Sacrosanctum Concilium (SC) merupakan dokumen pertama yang dihasilkan Konsili Vatikan II. Dokumen ini mempunyai pengaruh yang amat penting karena sangat mentukan perkembangan dan pemugaran liturgi. Warna dasar pembaruan liturgi Vatikan II terletak pada kata kunci “PARTICIPATIO ACTUOSA”, yang mencita-citakan suatu liturgi yang dipahami umat secara sadar dan yang melibatkan umat secara penuh dan aktif.

Tentang pembaharun Liturgi Dalam Konsili Vatikan II, John Prior menulis: “Hampir semua elemen pembaharuan liturgi yang kemudian disahkan Konsili, pernah dianjurkan oleh Wilhelmus van Bekkum tujuh tahun sebelumnya.”

Sosok Mgr. Wilhelmus van Bekkum

Uskup van Bekkum lahir pada tanggal 3 Maret 1910. Pekerjaan ayahnya, Geradus van Bekkum adalah koster Gereja. Beliau hidup dalam kesederhanaan. Dalam rekomendasi kepada rektor seminari, Pastor G. Rentick menulis  “…seorang anak yang baik, cerdas, berasal dari orang tua yang baik dan jujur, namun…tidak punya duit.”

Uskup van Bekkum memulai ziarahnya dalam panggilan menjadi imam pada tahun 1922 di seminari menengah di Uden. Kemudian, pada tahun 1929 dia memutuskan untuk bergabung dengan Serikat Sabda Allah (SVD). Uskup van Bekkum mengikrarkan kaul kekal pada tanggal 21 April 1935 dan tahbisan imam diterimanya pada tanggal 18 Agustus 1935. Meskipun beliau tertarik dengan negeri Cina, kongregasinya mengutus beliau ke Kepulauan Nusa Tenggara.

Setelah mengikuti studi etnografi pada tahun 1935-1936, Uskup van Bekkum meninggalkan Belanda menuju daerah misi pada tanggal 4 September 1936 dan tiba di Ende pada tanggal 13 Oktober 1936. Regio SVD mengutusnya untuk berkarya di Manggarai sehingga pada bulan Januari 1937, beliau mulai berkarya di Ruteng. Dari sejarah karya misi di Manggarai, Uskup van Bekkum digolongkan sebagai misionaris perintis, imam ketujuh belas yang berkarya di Manggarai.

Di Manggarai, perjalanan hidupnya diwarnai karir yang menantang. Awalnya beliau diberi tugas sebagai pastor kapelan. Kemudian, pada tahun 1940, beliau diberi kepercayaan sebagai inspektur untuk Sekolah Dasar di seluruh Manggarai. Tanggung jawab yang mesti diembannya adalah menjaga sekolah-sekolah itu agar memenuhi persayaratan sesuai kesepakatan antara misi dan pemerintahan Belanda. Sementara itu, sekolah-sekolah itu berada terpencar dan masyarakat masih asing dengan sekolah.

Kemudian, beliau diangkat sebagai Deken dan Rektor wilayah Manggarai pada tahun 1947. Beberapa tahun kemudian, pada tanggal 8 Maret 1951 Bapa Suci menetapkan pemekaran Vikariat Apotolik Ende menjadi tiga vikariat, yaitu Ende, Larantuka dan Ruteng. Status dekenat Manggarai dinaikkan menjadi vikariat apostolik Ruteng. Pater Van Bekkum diangkat menjadi Uskup Tituler dari Tigia dan menjabat sebagai Vikaris Apostolik Ruteng. Penahbisannya sebagai uskup dilangsungkan pada 13 Mei 1951 dan pada 1951 Mgr. Van Bekkum menjadi Warga Negara Indonesia. Hingga wafatnya (11 Februari 1998), beliau hanya berkarya di Manggarai, Flores. 

(Diolah dari berbagai sumber)

Leave a Comment