Media Digital dan Karya Pewartaan

Oleh: Timotius J

Pengantar

Gereja tidak alergi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam berbagai dokumen, nampak jelas sikap Gereja yang menjadikan media sebagai medan sekaligus peluang untuk evangelisasi baru. Misalnya, Redemtoris Missio art. 37 memosisikan media sebagai aeropogus pertama zaman modern. Dalam hal ini, Gereja terpanggil untuk mengintegrasikan pesan Injil ke dalam kebudayaan baru yang diciptakan oleh komunikasi modern. Kemudian, sarana komunikasi modern dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk karya pewartaaan dan penggembalaan Gereja (Dokumen Inter Mirificia). Bagi Gereja, media modern menawarkan cara-cara baru untuk menghadapkan manusia dengan pesan injil (Ensiklik Communio er Progressio).

Gambaran perkembangan media

Salah satu perkembangan di bidang informasi dan teknologi adalah media massa. Diamini bahwa media massa memiliki fungsi strategis bagi perjalanan peradaban. Dapat disebutkan di sini beberapa fungsi media massa, yaitu penyebar informasi, edukasi, hiburan, penerus nilai-nilai, dan ekonomi.

Sebelum mengenal internet, khalayak mengenal pengelompokkan beberapa media massa, yaitu media cetak (koran, majalah, dan turunannya), audio (radio, piringan hitam, kaset), dan audio visual (televisi, film). Kini, media-media ini disebut media konvesional untuk dibedakan dengan media digital sebagai buah dari perkembangan teknologi informasi terkini dengan munculnya internet.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi begitu pesat sejak munculnya internet sekitar tahun 1990-an yang dikenal sebagai media baru atau media digital. Salah satu karakteristik dari media baru ini adalah khalayak juga melakukan apa yang dilakukan oleh wartawan atau jurnalis, yakni membuat dan menyebarkan informasi. Hal ini disebut jurnalisme warga (citizen journalism). Perbedaannya yang dapat ditemukan adalah pada media konvesional jurnalis media menulis dengan aturan dan kode etik jurnalistik yang harus dipenuhi, sedangkan jurnalisme warga (citizen jurnalism) lebih bebas dan sering kali kurang “bertanggung jawab”.

Salah satu hal yang diwaspadai adalah pembaca bisa terjebak dan tersesat dalam lautan informasi yang ditawarkan setiap waktu oleh kemudahan perangkat digital. Situasi ini disebut oleh Sudibyo, sebagaimana dikutip Kartikawangi, menciptakan pembebasan dan penguasaan. Artinya, di satu sisi media digital memberikan ruang dan kebebasan kepada siapa pun untuk membuat dan menyebarkan informasi, tetapi di sisi lain informasi tersebut dapat menjadi milik pihak lain dan digunakan sebagai alat untuk menguasai tanpa disadari oleh pemberi informasi.

Di Indonesia, Hootsuite mencatat bahwa pada 2019 terdata lima platform media sosial yang paling banyak digunakan adalah YouTube, whatsapp, Facebook, Instagram, dan line. Disinyalir bahwa media sosial banyak berperan dalam penyebaran informasi palsu karena fasilitas yang dimilikinya. Hal ini tentu menjadi keprihatinan apalagi jika khalayak mudah untuk memercayai hoaks dan informasi palsu (fake) banyak beredar didukung oleh karaktersitik media sosial yang memudahkan penyebarannya hingga diyakini sebagai sebuah kebenaran yang menyesatkan, bahkan membuat kekisruhan dan kegaduhan di tengah masyarakat. Perkembangan media digital ini menggiring pada tahap masyarakat kesulitan mengetahui informasi mana yang benar pada era information overload ini.

Optio fundamentalis Kristiani

Tindakan bermoral adalah tindakan yang bertanggung jawab. Orang dapat dituntut tanggung jawab jika dalam tindakannya ada kesadaran dan kebebasan. Tindakan bermoral mengandung unsur , pertama, kesadaran pribadi. Tindakan bermoral mengandaikan adanya pertimbangan. Dan, pertimbangan itu datang dari diri sendiri, bukan pertimbangan orang lain. Dengan pertimbangan tertentu orang menjadi tahu, sadar akan apa yang diperbuat dan apa yang harus diperbuat. Seberapa penuh kesadaran yang menyertai tindakan seseorang itulah yang menunjukkan seberapa penuh pula moralitas yang ada. Tindakan-tindakan spontan reaktif cenderung kurang disadari.

Kedua, kehendak bebas. Selain kesadaran, unsur tindakan bermoral yang lain adalah kehendak bebas, artinya subjek tindakan menghendaki tindakan itu secara bebas. Subjek tindakan dengan sengaja melakukan tindakan itu. Subjek bertindak atas kemauan sendiri, bukan atas paksaan atau pengaruh dari pihak lain. Sebuah tindakan bernilai moral tinggi jika tindakan itu dilakukan atas kehendak sendiri. Jika orang bertindak baik karena terpaksa akan memiliki nilai kebaikan yang lebih rendah dari tindakan yang dilakukan atas kemauan sendiri.

Ketiga, motivasi luhur. Kebaikan yang dilakukan dengan tulus, tanpa pamrih, akan dinilai sungguh baik. Jadi tujuan kebaikan itu tidak untuk diri sendiri melainkan sungguh demi kebaikan itu sendiri. Moral selalu menunjuk dan berhubungan dengan perbuatan. Maka kesadaran moral itu menjadi nyata dalam keputusan moral ketika menghadapi situasi konkret. Hal ini disebut sebagai kecakapan moral.

Tindakan moral seseorang didasarkan pada optio fundamentalis, yakni pilihan dasar atau sikap dasar. Pilihan dan sikap dasar ini akan menjadi arah hidup moral seseorang. Tindakan sehari-hari seseorang dapat merupakan uangkapan, peneguhan, pengembangan dan pengawetan optio fundamentalis, jika tindakan sehari-hari tersebut searah dengan pilihan dasarnya. Sebaliknya, jika tindakan sehari-hari tidak sejalan dengan optio fundamentalis, tindakan tersebut akan memperlemah dan mematikan optio fundamentalis. Baik-buruknya tindakan seseorang tidak dapat dilepaskan dari pilihan dasar tersebut.

Bagi umat beragama, dasar kewajiban moral ialah hubungan manusia dengan Allah. Moralitas kristiani bersumber atas iman kristiani, yaitu iman akan Tuhan Yesus Kristus. Iman akan Tuhan Yesus juga merupakan dasar dari segala bangunan moralitas kristiani. Iman akan Tuhan Yesus inilah yang menjadi pembeda substansial moralitas kristiani dari sistem-sistem moral yang lain. Bagi orang kristen kepenuhan hubungan itu diwujudkan dalam Kristus (bdk 2 Kor 5: ). Kita telah dilahirkan kembali dalam Kristus, maka kita dipanggil untuk mengikuti Dia sampai mencapai kedewasaan di dalam Dia.

Iman akan Tuhan Yesus merupakan sumber dari mana diketahui apa yang baik dan buruk. Tuhan Yesus merupakan pusat sekaligus kriterium normatif dasar dari moralitas kristiani. Tidak ada moralitas kristiani tanpa Yesus Kristus (1 Ptr 2, 21).

Media digital sebagai ladang pertumbuhan iman

Dengan berpijak pada Ensiklik Deus Caritas est 25, Jegalus merangkai karya perutusan Gereja sebagai berikut:
“Gereja adalah sebuah persekutuan (koinonia) orang-orang yang mengimani Yesus Kristus. Anggota-anggota Gereja yang mengikuti Yesus Kristus itu dipanggil untuk mewartakan Injil Yesus Kristus, dan itulah yang kita sebut kerygma. Begitu pewartaan itu diterima, maka dirayakan dan diungkapkan dalam doa, dan itulah yang kita sebut leitourgia. Begitu doa dan liturgi itu berfungsi dengan baik, maka persekutuan beriman itu, baik secara perorangan maupun secara bersama, digerakkan untuk terlibat dalam tindakan nyata melayani sesama dengan semangat kasih, dan itulah yang kita sebut sekarang perutusan diakonia.

Karya perutusan tersebut merupakan panggilan untuk semua anggota Gereja sebagai bentuk keterlibatan Gereja dalam tritugas Kristus sebagai imam, nabi dan raja. Ini merupakan panggilan yang mesti dihayati oleh semua anggota Gereja, baik sebagai klerus, religius dan awam sesuai dengan perutusan masing-masing yang khas.

Konsili Vatikan II menyatakan bahwa ciri khas dan tugas khusus kaum awam dalam kehidupan Gereja adalah tugas di tengah dunia dan masyarakat. Tugas awam adalah menguduskan dunia, meresapi pelbagai bidang urusan duniawi dengan semangat Kristus, agar semangat dan cara hidup Kristus mengolah seluruh dunia bagaikan ragi, garam, dan terang, sehingga Kerajaan Allah bisa hadir di tengah masyarakat.

Melalui media digital kaum awam dapat merealisasikan fungsi misioner secara nyata dan luas untuk meresapkan semangat Kristus itu ke dalam pelbagai bidang dan urusan duniawi. Dengan memanfaatkan sarana komunikasi modern untuk karya pewartaaan dan penggembalaan Gereja (Dokumen Inter Mirificia), kaum awam kiranya tak jemu-jemu menjadi saksi Kristus melalui media sebagai aeropogus pertama zaman modern. Kemudian, kaum awam juga memaksimalkan media modern yang menawarkan cara-cara baru untuk menghadapkan manusia dengan pesan injil (Ensiklik Communio et Progressio).

Di tengah maraknya perkembangan media digital dewasa ini, setidaknya ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menjadikan media digital sebagai ladang pertumbumbuhan iman. Pertama, menjadi tuan atas media. Menjadi tuan atas media berarti manusia itu yang bertanggung jawab atas hal-hal yang berhubungan dengan media. Berkaitan dengan hal ini, sikap yang tepat dan bijaksana dalam menggunakan media adalah tangguna jawab dari semua pihak.

Dalam bermedia, pertimbangan moral dengan memperhatikan unsur tindakan bermoral, yaitu kesadaran pribadi, kehendak bebas dan motivasi luhur perlu mendapat perhatian berhadapan dengan beragam informasi yang ditawarkan. Pribadi manusia kiranya tidak tenggelam dan menjadi korban, tetapi mesti sanggup berdiri tegak dan menjadi tuan atas media. Terkait hal ini, adalah baik setiap pribadi menentukan orientasi dasar dalam bermedia dan jangan sampai ‘dimainkan’ oleh media.

Kedua, mengenal media. Dalam teori agenda setting dikatakan bahwa pengelola menentukan isi media yang menurut mereka penting dan perlu diketahui oleh khalayak. Contohnya adalah satu peristiwa akan diberitakan secara bereda ole beberapa media dan hal tergantung pada sudut pandang/visi-misi media.
Terkait hal ini, dalam mempertimbangkan informasi yang ditawarkan, pengguna perlu mengenal mengenal media yang memberikan informasi. Ketika pengguna tidak mengenal, bukan tidak mungkin pengguna akan terjebak dan tersesat dalam bermedia. Pengguna kiranya bukanlah khalayak yang pasif menerima apa yang disajikan media.

Ketiga, perlu adanya informasi/media pembanding. Elihu Katz, Jay G. Blumlerm, dan Michael Gurevitch (1973) mengembangkan teori uses and gratification. Menurut teori ini, khalayak aktif mencari dan menggunakan media sesuai dengan kebutuhan mereka. Jika kebutuhan terpenuhi dan puas dengan informasi yang diperolehnya melalui media tersebut, mereka akan terus menggunakannya.

Selain untuk memperkaya wawasan, pengguna perlu mewaspadai bahaya laten orientasi media. Karena itu, meskipun pengguna memercayai media tertentu sebagai rujukan dalam bermedia, namun pengguna hendaknya juga mencari media lain sebagai pembanding atas informasi yang ditawarkan.

Keempat, memberi inspirasi-menumbuhkan citra positif bermedia. Terkait perkembangan media, Manuel Castells (dalam Kartikawangi) mengemukakan tentang self-mass communication. Individu dapat memproduksi dan menyebarkan informasi sebagaimana media. Khalayak juga melakukan apa yang dilakukan oleh wartawan atau jurnalis, membuat dan menyebarkan informasi.

Semua orang dapat melakukan jurnalisme warga di mana tidak menulis dengan aturan dan kode etik jurnalistik yang harus dipenuhi. Namun, jurnalisme warga mesti dilandasi oleh kebebasan yang bertanggung jawab. Jika tidak, hal itu bertentangan dengan norma moral yang berlaku umum. Adalah baik, menjadikan media sebagai ruang bagi pengguna untuk dapat mengembangkan diri untuk menumbuhkan citra diri yang positif dan memberikan inspirasi bagi khalayak.

Penutup

Tindakan bermoral adalah tindakan yang bertanggung jawab yang didasarkan pada kesadaran pribadi, Kehendak Bebas dan Motivasi Luhur. Dalam bermedia, Optio fundamentalis, yakni pilihan dasar atau sikap dasar, kita ialah hubungan manusia dengan Allah dalam Yesus Kristus. Kita telah dilahirkan kembali dalam Kristus, maka kita dipanggil untuk mengikuti Dia sampai mencapai kedewasaan di dalam Dia. Inilah sikap dasar kita dalam bermedia yang memandu kita sehingga tidak terjebak/tersesat dalam lautan informasi yang disajikan platform media digital yang ada di Android.

Referensi:

Chandra, Xaverius Bahan Ajar Moral Fundamental, dalam http://repository.wima.ac.id/14415/ diakses 26 Juni 2020.
Dapiyanta, FX. “TINDAKAN BERMORAL” dalam B.A. Rukiyanto dan Ignatia Esti Sumarah, Semakin Menjadi Manusiawi, Teologi Moral Masa Kini, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2014 , hlm. 1-28. https://repository.usd.ac.id/3901/1/1423_SEMAKIN+MENJADI+MANUSIAWI+-+TM.pdf, diakses pada 25 Juni 2020.
Jegalus, Norbertus “TANGGUNG JAWAB AWAM DALAM PERUTUSAN DIAKONIA GEREJA” dalam LUMEN VERITATIS: Jurnal Filsafat dan Teologi, Volume. 10 Nomor 2 April 2020 pSSN 1978-3469; eISSN 2657-1927, hlm. 97-122, https://www.journal.unwira.ac.id/index.php/LUMENVERITATIS/article/view/475, diakses 26 Juni 2020.
Kartikawangi, D. (2020, May 6). The 2011-2019 Media Literacy Improvement: Strategy and Implementation of Sustainable Community Service Program. MITRA: Jurnal Pemberdayaan Masyarakat, 4(1), 71-81. https://doi.org/https://doi.org/10.25170/mitra.v4i1.1075, diakses 26 Juni 2020.

Leave a Comment