Merayakan Kematian

Oleh: Timotius J

Jika kematian diterima sebagai titik peralihan, maka perjuangan di dunia ini bukanlah suatu kesia-kesiaan. Peristiwa kematian hendaknya tidak melemahkan usaha dan perjuangan untuk memaknai hidup sekarang ini. 

Seorang gadis mengabarkan pengalaman eksistensialnya kepada sahabat-sahabatnya. Melalui jejaring media sosial ia membagikan pengalaman duka tiada tara atas “perpisahan” abadi dengan sang ayah. Sejauh yang dilukiskannya, almarhum merupakan sosok ayah yang penuh kasih, bertanggung jawab bagi keluarga dan sarat dengan kesabaran dalam mendidik anak-anaknya. Bagi istri dan anak-anaknya, almarhum adalah laki-laki ideal sebagai suami dan ayah. Maka ketika maut menjemputnya, kata si gadis, kenyataan itu merupakan pukulan telak dan kehilangan terbesar sekaligus menyakitkan bagi mereka sekeluarga.  

Pengalaman gadis tersebut memang mungkin tidak cukup melukiskan pengalaman kehilangan dan menyakitkan dalam peristiwa duka. Hal yang sudah pasti bahwa kematian tidak bisa dibatalkan. Pengalaman kematian selalu dekat dengan makhluk hidup. Kematian mungkin bisa ditunda berkat kemajuan dan perkembangan pesat iptek dalam dunia kesehatan, tetapi pada waktunya setiap orang tidak mungkin mengelakkannya.

Masyarakat budaya tertentu memiliki cara pandang tersendiri untuk menjelaskan tentang kematian. Di Manggarai, misalnya, kematian bukan merupakan akhir dari segala-galanya, melainkan sebagai pintu masuk ke dunia yang lain atau kehidupan yang baru. Kematian hanya dilihat sebagai perpindahan tempat dari dunia ‘sini’ ke dunia seberang. Tentang hal ini, antara lain, jelas dalam sebutan pa’ang be le. Sebutan pa’ang be le menunjukkan bahwa orang yang dekat selama hidup juga akan tetap mendiami ruang atau ‘kampung’ lain yang masih dekat dengan sanak keluarga dan kampung asalnya.

Selain sebutan pa’ang be le, kebiasaan lain yang bisa dijumpai dalam peristiwa kematian di Manggarai adalah torok wae lu’u. Dalam torok wae lu’u, ada sebuah kepercayaan bahwa orang yang telah meninggal itu mendengarkan orang yang masih hidup di dunia ‘sini’. Biasanya orang yang menyampaikan torok wae lu’u akan menjelaskan kepada orang yang telah meninggal, tentang siapa yang memberikan/menyampaikan ‘sesuatu’ itu kepada yang meninggal. 

Dari dua hal ini saja, bisa dikatakan bahwa dalam cara pandang budaya Manggarai,  orang yang meninggal bukan hanya sekedar tetap ada melainkan dia juga tetap hidup. Kemudian, orang yang meninggal mendiami tempat di ruang yang berbeda dari sebelumnya dan meskipun terpisah, dia tetap memiliki hubungan yang tidak terputuskan dengan orang-orang yang masih mengembara di dunia ‘sini’ serta masih berdekatan dengan sanak keluarga dan orang yang pernah ada bersamanya.

Di luar upacara kematian, masih banyak upacara budaya lain yang dilatari kepercayaan yang sama bahwa relasi/hubungan antara orang-orang yang meninggal dengan orang-orang yang masih hidup tidak akan sirna. Mereka yang telah meninggal masih memperhatikan kehidupan orang yang masih hidup di dunia ‘sini’.

Orang beriman meyakini bahwa kehidupan yang dijalani merupakan tanda akan rahmat Allah. Karena itu, selama  bisa bernafas, setiap orang berjuang untuk menjalani kehidupan seturut rahmat dan kehendak Sumber rahmat. Dalam peristiwa kematian diyakini pula bahwa rahmat Allah juga yang memungkinkan setiap anak manusia untuk melanjutkan hidup yang baru dalam kemuliaan abadi.

Iman Kristiani memberikan jawaban yang optimis tentang makna kehidupan setelah kematian. Kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan karena Allah telah menyelamatkan dan menebus umat-Nya dari kuasa maut melalui Putera-Nya. Iman ini mendatangkan harapan bahwa Dia akan selalu menyertai manusia tidak hanya dalam kehidupan melainkan juga dalam kematian.

St. Paulus mewartakan bahwa melalui pembaptisan, setiap orang bersatu dengan Kristus. Melalui pembaptisan diperoleh jaminan untuk mati dan dikuburkan bersama Kristus dan kemudian hidup dalam keadaan baru seperti Kristus. Dalam Kristus, kuasa dosa dilenyapkan dan manusia tidak menjadi budak dosa lagi. Jika mati bersama Kristus, maka akan hidup juga bersama Kristus.

Kecemasan manusia akan kehidupan setelah kematian terjawab, yakni setelah kehidupan di dunia ini orang beriman pasti diselamatkan karena cinta dan demi cinta. Kematian bukanlah pertanda bahwa cinta Allah sudah menjauh dan sirna dari hadapannya. Kematian adalah peristiwa berahmat di mana semua orang beriman akan mengalami cinta kasih Allah secara penuh dan sempurna. Kelemahan manusiawi dan dosa akan lenyap dan tidak akan pernah menguasai lagi. Dengan demikian, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan.

Yesus telah menjanjikan Rumah Bapa sebagai harapan pasti manakala mengakiri ziarah di dunia ini. Masa depan tidak berakhir dengan kehampaan. Masa depan menjadi pasti sebagai suatu realitas yang positif di mana orang beriman akan berkumpul di Rumah Bapa dalam persekutuan dengan semua orang kudus-Nya. Jawaban Yesus kepada Thomas dan Filipus menyadarkan orang beriman bahwa harapan akan Rumah Bapa itu bermuasal dari perjumpaan dan pengenalan akan Bapa dalam Yesus Kristus.

Perjumpaan dengan Allah selalu mendatangkan pembebasan bagi diri sendiri dan orang lain, sebagaimana Yesus telah menebus umat manusia. Lebih lanjut, perjumpaan dengan Allah akan memampukan orang beriman untuk melihat kehadiran Kristus sebagai bukti cinta Allah yang melimpah kepada manusia. Allah telah mencintai manusia dan terus mencintai manusia sampai akhir zaman.

Bila setiap orang berada dalam hubungan dengan Dia yang tidak bisa mati, yang adalah Hidup itu sendiri dan Cinta itu sendiri, maka manusia berada dalam hidup. Keyakinan itu mesti menggugah dan mendorong setiap orang beriman untuk bertanggung jawab dalam menjalani hidupnya juga dalam relasi dengan sesama makhluk ciptaan. Hanya melalui persekutuan dengan Dia,maka menjadi mungkin bahwa hidup orang beriman benar-benar menjadi ada bagi sesama. Kemudian, cinta akan Allah sejatinya mengarah kepada keikutsertaan dalam keadilan dan kedermawanan Allah kepada sesama.

Bertolak dari cara pandang di atas, maka Kerajaan Allah bukanlah sebuah khayalan saat mendatang, yang terletak di sebuah masa depan yang tidak akan pernah tiba. Kerajaan Allah hadir di manapun Dia dicintai dan di manapun cinta-Nya mencapai kita. Cinta-Nya memberikan kepada kita kemungkinan untuk tetap terjaga bertahan hari demi hari hingga mengalami sebuah kehidupan yang “benar-benar” hidup.

Dalam konteks ini, gambaran penghakiman terakhir terutama bukanlah gambaran teror, tapi sebuah gambaran harapan. Perjumpaan dengan-Nya adalah rahmat yang mentransformasi dan membebaskan serta membolehkan setiap orang untuk benar-benar menjadi diri sendiri. Dengan keyakinan seperti ini, kematian diterima sebagai titik peralihan menuju Rumah Bapa. Jika kematian diterima sebagai titik peralihan, maka perjuangan di dunia ini bukanlah suatu kesia-kesiaan. Peristiwa kematian hendaknya tidak melemahkan usaha dan perjuangan untuk memaknai hidup sekarang ini. Dan, setiap orang kiranya menyongsong kehadiran Kerajaan Allah dengan sikap optimisme dengan memaknai masa kini dalam cinta kasih-Nya.

Akhirnya, kembali ke pengalaman duka si gadis di atas. Almarhum telah menerima pembaptisan. Karena itu, kita harus yakin bahwa peristiwa kematian ini tentunya mendatangkan keselamatan kekal baginya, di mana ia telah mengalami cinta kasih Allah secara sempurna. Ia telah mulai mengalami cinta kasih dan mewartakan cinta itu itu dalam hidup hariannya. Dengan segala kerapuhan dan kelemahannya, almarhum telah berjuang untuk mengamalkan cinta Kristus yang diimaninya dalam pembaptisan. Kisah hidup yang telah dilukiskannya dapat menjadi cermin bagi yang masih berziarah di bumi untuk senantiasa menghidupi cinta kasih Kritus yang telah kita terima dalam pembaptisan. Semua kenangan tentang almarhum kiranya menjadi kekuatan untuk belajar menjadi pewarta cinta kasih baik di tengah keluarga, di tengah masyarakat, maupun berhadapan dengan orang-orang yang dijumpai. 

Leave a Comment