Perantauan dalam Refleksi Teologi

Oleh: Timotius J

Perantuan mengandung aneka persoalan pelik yang berhubungan dengan martabat manusia. Di satu sisi, merantau telah menjadi alternatif dalam upaya untuk memperjuangkan martabat manusia. Sementara di sisi lain, perantauan telah menempatkan martabat manusia dalam situasi neraka di tengah dunia.

Pengantar

Memasuki dasawarsa kedua abad 21 ini diskusi seputar perantauan kian hangat. Perantauan kerap menjadi menu tambahan bagi masyarakat akar rumput kala mengaso dari rutinitas hariannya. Bahkan tidak sedikit perantau berasal dari masyarakat akar rumput. Media massa juga tak jarang menurunkan berita dan ide-ide cemerlang baik untuk menawarkan solusi maupun sekedar meramaikan ruang diskusi. Sementara itu, banyak otoritas negara mengamini perantauan sebagai masalah nasional dan demikian menagih tanggung jawab segera dari negara. Demikian pula dunia internasional mengakui perantauan sebagai persolan utama abad ini. Dalam artikel ini, penulis coba merefleksikan martabat perantau sebagai Gamber Allah dan karena itu Gereja terpanggil untuk menjamin keutuhan martabat perantau sehingga Kerajaan Allah benar-benar hadir di tengah dunia.

Abad 21: Era Globalisasi Menuju Era Perantauan

Globalisasi merupakan salah satu wacana kontemporer yang begitu hangat pada awal abad 21 ini. Dimensi ekonomi disinyalir sebagai salah satu matra pokok dari globalisasi. Dua aspek paling penting dari globalisasi ekonomi, yaitu perubahan ciri produksi global dan internasionalisasi transasksi ekonomi. Produksi global tersebut digerakan oleh korporasi transnasional yang mengkonsolidasikan pasar buruh global. Dalam korporasi transnasional ini, Dunia Ketiga merupakan lumbung tersedianya buruh murah. Karena itu, tidak mengherakan jika pada era globalisasi ini terjadi peningkatan migrasi internasional yang sangat siginifikan jika dibandingkan dengan dasawarsa sebelumnya.

Khalid Koser sebagama dikutip oleh Daniel Groody, menyatakan bahwa dewasa ini jumlah migran internasional terjadi perubahan yang dasyat, tiga kali lebih banyak dibandingkan 25 tahun yang lalu. Hampir 200 juta orang berada di perantauan atau satu dari 35 orang tinggal jauh dari tanah kelahirannya. Dalam penelitian Gallup, sebagaimana dikutip Sam George, kurang lebih 700 juta orang dewasa ingin berpindah secara permanen ke negara lain manakala ada kesempatan. Sumber yang lain juga megungkapkan tingginya tinggkat migrasi pada dekade pertama abad 21 ini. Laporan United Nations sebagaimana dikutip Sam George, menunjukkan bahwa pertumbuhan migrasi internasional adalah 3,1 persen dari pertumbuhan populasi global.

Di balik peningkatan jumlah migrasi internasional di atas, sebenarnya ada sederetan persoalan mondial yang menuntut solidaritas banyak pihak entah sebagai pribadi maupun institusi, baik yang berskala lokal, nasional ataupun transnasional. Kofi Annan yang pernah menjabat skretaris jendral PBB mengemukakan beberapa persoalan yang bersinggungan dengan perantuan, yaitu persolaan hak asasi manusia, kesempatan ekonomi, kekurangan lapangan kerja dan pengangguran, hijrahnya para sarjana keluar negeri dan studi lanjut, multikulturalisme dan integrasi, aliran pengungsi dan pencari suaka, penerapan hukum dan perdagangan manusia, keamanan manusia dan keamanan negara.

Fenomena perantuan tampaknya memiliki dua sisi. Sisi pertama, fenomena perantauan menjadi kesempatan untuk memperjuangkan keutuhan martabat manusia. Misalnya, perantuan telah membantu dalam menggiatkan denyut perekonomian di negara-negara berkembang. Hal ini tampak dalam perputaran modal internasional. Pada tahun 2008, total aliran pengiriman uang diperkirakan 444 miliar Dolar Amerika Serikat dan dari jumlah tersebut, 338 miliar dolar USA mengalir ke nengara-negara berkembang. Data lain juga menampilkan bahwa para migran meninggalkan kampung halaman bukan hanya demi martabatnya sendiri tetapi juga untuk keluarga mereka. Misalnya data pada tahun 2006 menunjukkan bahwa total pengiriman uang untuk kaum keluarga di daerah asal perantau adalah lebih dari 300 miliar dolar USA.

Sementara itu, di sisi lain fenomena perantauan juga membawa serta proses dehumanisasi. Sebagai contoh, Kikim Komalasari diperkosa, disiksa dan akhirnya dibunuh oleh majikannya di Kota Abha. Kikim ditemukan tewas di tong sampah. Kasus ini merupakan salah satu dari sekian kasus yang menampilkan bahwa perantuan telah menjadi neraka bagi martabat manusia. Terkait dengan dehumanisasi perantau, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) Indonesia menyiarkan bahwa pada tahun 2011 berhasil menyelesaikan kasus yang menimpa 161 orang dari total 421.

Bertolak dari fenomena-fenomen di atas, adalah sangat beralasan kalau banyak orang membaptis abad 21 ini sebagai era perantauan. Era perantuan ini mengandung dalam diriinya aneka persoalan pelik yang berhubungan dengan martabat manusia. Sebagaimana yang telah disampaikan di atas fenomena perantuan di satu sisi telah menjadi alternatif dalam upaya untuk memperjuangkan martabat manusia. Namun, cita-cita ideal ini berbenturan dengan kenyataan lapangan. Perantauan juga telah menempatkan martabat manusia dalam situasi neraka di tengah dunia.

Dua sisi tersebut telah melahirkan dua sikap berbeda dalam menanggapai fenomena perantauan. Ada pihak menentang perantauan. Karena itu, dibuat regulasi yang sangat ketat sehingga sulit terjangkau oleh mereka yang ingin memperbaiki nasipnya di negara lain. Sedangkan, ada pihak yang sangat toleran dengan aktivitas migrasi. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa perantauan merupakan solusi bagi terpenuhinya kebutuhan yang memang tak mampu dipenuhi oleh negara asalnya.

Bagi penulis, perantauan merupakan hal wajar sejauh aktivitas itu bertujuan untuk mejamin keutuhan martabat manusia apalagi kalau potensi negara tidak mampu memenuhi kebutuhan dasariah manusia. Di sini, pemahaman yang tepat tetang martabat manusia merupakan pertimbangan yang hendaknya diperhitungkan dalam menolak atau mengakomodir perantauan. Berikut ini, penulis akan coba memahami martabat manusia bertolak dari Gaudium et spes (Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern).

Martabat Perantau: Berkiblat Pada Gaudium et spes

Bagi Schonenberg pribadi manusia dipahami sebagai substansi individual sendiri dan berada dalam dirinya sendiri, sehingga ia sadar dan bebas. Schonenberg tidak menampik dimensi sosial dari setiap pribadi. Dia menegaskan bahwa setiap pribadi juga terikat pada yang lain dan dengan itu seseorang sungguh-sungguh menjadi pribadi sehingga ia dapat mengikat diri lebih dalam lagi pada yang lain. Namun, manusia berelasi dengan yang lain mengandaikan bahwa dia adalah dirinya sendiri.

Dalam Gaudium et spes ditegaskan bahwa manusia diciptakan menurut Gambar Allah. Kepada manusia telah dianugerahkan berbagai keistimewaan yang melampaui segala sesuatu yang ada. Anugerah Allah itu juga mengandung dalam dirinya suatu tanggung jawab untuk memaknai dan menjalani hidup menurut rencana Allah. Di sini, manusia bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan pribadi dalam segala dimensinya sehingga manusia dapat berjumpa dengan Allah dalam kesempurnaan.

Penghargaan manusia sebagai ciptaan yang menyerupai Gambar Allah tidak hanya menyangkut hal rohaniah tetapi juga hidup jasmaniah. Sehingga Gaudium et spes menegaskan bahwa manusia tidak boleh meremehkan hidup jasmaninya. Lebih lanjut dalam artikel 26 ditegaskan demikian:

…sudah seharusnyalah bagi manusia disediakan segala sesuatu yang dibutuhkannya untuk hidup secara sungguh manusiawi, misalnya nafkah, pakaian, perumahan, dah untuk dengan bebas memilih statusnya dan untuk membentuk keluarga, hak atas pendidikan, pekerjaan, nama baik, nama baik, kehormatan, informasi yang semestinya, hak untuk bertidak menurut norma hati nuraninya yang benar, hak atas perlindungan hidup perorangannya dan atas kebebasan yang wajar….

Kutipan di atas menegaskan tentang pentingnya usaha dari setiap manusia dalam memenuhi segala kebutuhan dasariahnya. Setiap manusia berkewajiban untuk menghormati badanya sendiri sebagaimana yang diciptakan oleh Allah. Untuk menjamin tugas itu, Allah telah menjamin kebebasan dalam diri setiap manusia. Sangat jelas ditegaskan bahwa manusia hanya dapat berpaling pada kebaikan bila ia bebas. Kebebasan yang sejati merupakan tanda yang mulia Gambar Allah dalam diri manusia. Rahmat kebebasan itu memberikan kemungkinan untuk memaknai keutuhan pribadinya menurut keputusannya sendiri. Manusia dituntut bertindak menurut pilihannya yang sadar dan bebas. Tindakan manusia dipuji jika tindakannya digerakkan dan didorong secara pribadi dari dalam dan bukan karena rangsangan hatiyang buta atau semata-mata karena paksaan dari luar. Secara singkat, ketuhan pribadi manusia mengandaikan otonomi. Manusia benar-benar menjadi tuan atas dirinya sendiri.

Perantauan dapat dibenarkan jika bertujuan untuk memperjuangkan keutuhan pribadi, menjamin Gambar Allah yang melekat dalam diri setiap manusia. Namun, perantauan kerapkali berhadapan dengan dehumanisasi, Gambar Allah yang melekat pada perantau dinodai. Penodaan bahkan penghancuran itu bermula dari penjajahan psikis yang berujung pada kekerasan fisik. Entah disadari atau tidak, perantauan sangat rentan dengan kolonialisasi psikologis yang melegalakan tindakan manipulatif atau eksploitatif.

Kolonialisasi Psikologis: Mempertimbangkan Prejudice dan Legalitas

Kolonialisasi psikologis dalam kasus perantauan menyata dalam prejudice dan legalisme. Pertama, prejudice merupakan sikap yang didasarkan pada generalisasi yang tidak berdasar mengenai kelompok terntentu. Berkaitan dengan perantaun, para perantau kerap kali dinodai oleh prejudice negatif. Hal yang paling menonjol di sini adalah stereotip dan rasisme. Jika stereotip berangkat dari rasa suka atau tidak suka terhadap sekelompok orang dan dengan demikian sulit untuk diubah meskipun penilain itu tidak benar, maka rasisme berangkat dari keyakinan bahwa budaya tertentu lebih tinggi/superior terhadap budaya yang lainnya.

Baik stereotip maupun rasisme akan memasukkan manusia pada gab dan akhirnya mendatangkan konflik antarmanusia. Berangkat dari stereotip dan rasisme, kepada sesama akan disematkan label-label yang tidak manusiawi. Label-label yang tidak manusiawi itu entah disadari atau tidak akan melanggengkan pemisahan manusia dengan merujuk identitas setiap individu. Kenyataan seperti ini tentu sangat mengancam persahabatan antar manusia.

Kedua, salah satu tantangan dalam menangani kasus perantauan adalah legalisme. Konsekuensi dari legalisme adalah UU merupakan sistem logis yang berlaku bagi semua perkara. Di sini, undang-undanglah yang menjadi pokok acuan dalam memutuskan perkara. Seseorang dihukum semata-mata karena rumusan undang-undang tanpa melihat apa yang menjadi sikap batin dari perbuatannya.

Dewasa ini tidak sedikit perantau yang tidak memiliki dokumen. Data pada tahun 2009 menunjukkan bahwa kurang lebih 30-40 juta perantau tidak memiliki dokumen. Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia berjumlah 890.156 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 528.704 merupakan TKI ilegal. Berhadapan dengan kasus seperti ini, Tim Wilayah Bidang Keadilan Sosial dan Perantau SVD Zone Asia-Pasifik menyatakan bahwa hak-hak asasi manusia tidak dapat dipengaruhi oleh status yuridis seseorang. Hukum dibuat untuk manusia dan bukan sebaliknya. Karena itu, dalam menangani kasus seperti ini, pemegang otoritas kiranya tidak memperlakukan hukum sebagai tuan atas manusia. Tim tersebut juga mengakui hak setiap orang untuk memilih merantau demi mencari pekerjaan dan suatu hidup yang lebih baik.

Baik prejuduce maupun legalisme sama-sama mendiskreditkan martabat manusia. Daniel G Groody menyebut fenomena ini sebagai bentuk dari kolonialisasi psikologis. Sebagaimana semua bentuk kolonialisasi, kolonialisasi psikologis juga melihat yang lain sebagai kaum lemah yang bisa dimanipulasi dan dieksploitasi. Kolonialisasi psikologis akan melemahkan mental korban sehingga para korban tidak berkutik berhadapan dengan kejahatan yang menimpa dirinya. Para perantau seringkali mengalami perilaku yang tidak terpuji, seperti penipuan, kontrak-kontrak palsu, pemotongan atas upah secara tidak adil oleh para calo dan majikan yang tidak jujur dan serakah dan hak-hak mereka tidak diindahkan sebagaimana mestinya.

Bertolak dari artikel satu Gaudium et spes, Gereja berkewajiban untuk terlibat langsung dalam menanggapi situasi ini. Di sana ditegaskan, kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para umat Kristus juga. Dengan kata lain, Gereja hendaknya tiada hentinya berusaha untuk mewujudkan Kerajaan Allah di tengah dunia. Kerajaan Allah hendaknya tidak hanya dilihat sebagai sesuatu yang jauh di masa depan, saat akhir zaman. Tetapi, Kerajaan Allah hendaknya dipahamami sebagai situasi yang mesti hadir hic et nunc.

Menghadirkan Kerajaan Allah: Mengokohkan Solidaritas Yang Melampaui Sekat

Leonardo Boff menegaskan bahwa Kerajaan Allah bukan sesuatu yang semata-mata rohani dan berada di luar dunia. Kerajaan Allah adalah keseluruhan dunia spiritual-material dan manusiawi, dunia yang diintegrasikan ke dalam tatanan Allah. Lebih jauh Kerajaan Allah berarti perwujudan kedaulatan dan kekuasaan Allah atas dunia yang gelap ini, yang senantiasa berada dalam perjuangan antara yang jahat melawan kekuatan baik. Kerajaan Allah berarti Allah adalah makna terakhir dan tertinggi dunia; Allah akan segera turun tangan dan memperbaiki serta menyehatkan fundasi ciptaan. Allah akan menciptakan langit dan bumi baru.

Dalam Gaudium et spes, Kerajaan Allah merupakan suatu kabar bahagia. Kabar bahagia itu dihubungkan dengan pribadi Kristus sendiri yang datang untuk melayani dan untuk memberikan nyawanya menjadi tebusan bagi banyak orang. Kabar bahagia itu bertujuan untuk menyelamatkan setiap manusia dalam kesatuan dengan orang lain. Hal ini tampak dalam upaya Yesus untuk membangun persekutuan dengan membentuk keduabelasan para rasulnya. Dengan demikian, tidak mengherankan jika dalam Gaudium et spes ditegaskan bahwa Allah menciptakan orang-orang bukan untuk hidup sendiri-sendiri, melainkan untuk membentuk persatuan sosial.

Berangkat dari pemahaman di atas, maka menjadi jelas bahwa penanganan masalah perantauan bukan hanya tanggung jawab individual. Perantauan merupakan persoalan umat manusia zaman sekarang. Dengan demikian, semua manusia dituntut untuk melihat perantauan sebagai persolan yang hendaknya ditanggapi dalam kebersamaan dengan yang lain. Gereja juga diharapkan tidak berpangku tangan dan memandang sebelah mata terhadap persoalan ini.

Dalam pernyataan musyawarah paripurna III Asosiasi Ekumenis Para Teolog Dunia Ketiga di Nairobi pada tangal 6 sampai 13 Januari ditegaskan bahwa salah satu kenyataan bagi masyarakat dunia ketiga adalah krisis dalam keterlibatan. Asosiasi tersebut sebenarnya ingin menagih keterlibatan dari Gereja di tengah situasi dunia yang berubah secara cepat. Dalam pemahaman mereka, keterlibatan berarti pertobatan radikal kepada Allah pembebas dan kehidupan. Pertobatan berarti bersekutu dengan misi Allah bagi dunia, berpaling kepada Allah keadilan, perdamaian dan kehidupan. Pengalaman radikal pertobatanlah yang membantu melanggengkan solidaritas seseorang kepada Kerajaan Allah. Pertobatan menjadikan keterlibatan itu sungguh bermakna karena ia berarti keterlibatan kepada perubahan dunia yang radikal.

Yesus Kristus telah menunjukkan model keterlibatan sejati dan radikal. Hal ini nyata dalam pengorbanan diri-Nya bagi semua orang, menjadi penebus semua umat manusia. Kepada para rasul diperintahkan untuk mewartakan kepada semua bangsa warta injil, supaya bangsa manusia menjadi keluarga Allah. Setelah wafat dan kebangkitanNya, Ia membentuk dengan kurnia Roh Kudus-Nya suatu persekutuan persaudaraan di antara mereka semua yang menerima-Nya dengan iman dan cinta kasih. Di situ, semua orang saling menjadi anggota dan sesuai dengan pelbagai kurnia yang mereka terima, saling melayani.

Keterlibatan dalam menangani kasus perantauan merupakan salah satu jalan untuk mewujudkan kerajaan Allah di tengah dunia. Sejalan dengan pemahahaman Kerajaan Allah di atas, perantauan menampakkan bahwa situasi dunia masih jauh dari gambaran ideal Kerajaan Allah. Oleh karena itu, sesuai dengan teladan Sang Guru, Gereja hendaknya mampu melampaui sekat-sekat yang memisahkan manusia untuk tiada henti-henti menghadirkan Kerajaan Allah di tengah Dunia yang kini diwarnai dengan persaolan perantauan.

Penutup

Abad 21 ini dibaptis sebagai era perantauan. Perantauan dapat dibenarkan jika bertujuan untuk memperjuangkan keutuhan pribadi sebagai Gambar Allah. Namun, perantauan kerapkali diwarnai dehumanisasi, wajah Allah yang melekat pada perantau dinodai. Penodaan bahkan penghancuran itu dilihat sebagai kolonialisasi psikologis. Kolonialisasi psikologis ini menyata dalam prejudice dan legalisme yang berujung pada tindakan manipulatif dan eksploitatif. Bertolak dari artikel satu Gadium Et spes, Gereja berkewajiban untuk terlibat langsung dalam menanggapi situasi ini. Di sini, Gereja terpanggil untuk menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia dengan memperjuang penghormatan martabat perantau sebagai Gambar Allah di tengah dunia. Gereja kiranya berjuang untuk menjembatani jurang antarmanusia sehingga menjadikan perantauan sebagai peradaban cinta dan budaya kehidupan.

Referensi:

Boff, Leonardo, Yesus Kristus Pembebas, Maumere: LPBAJ, 1999.
George, Sam, “Diaspora-“From Everywhere to Everywhere” Missilogy” dalam Missilogy An International Review, Vol. 39, No. 1 (Januari 2011).
Groody, Daniel G,“Crossing the Divide: Foundation of a Theology of Migration and Refugees” dalam Theological Studies, Vol. 70, No. 3 (September 2009).
Kirchberger, Georg dan John Mansford Prior (ed.), Mengendus Jejak Allah, Dialog dengan Masyarakat Pinggiran, Vol. I, Ende: Nusa Indah, 1997.
Kirchberger, Georg dan John Prior (ed.), Mengendus Jejak Allah, Ende: Nusa Indah, 1997.
Raho, Bernard, Sosiologi Sebuah Pengantar, Maumere: Ledalero, 2008.
Schoonenberg, Piet, “Allah Persekutuan dan Ketuhanan Impersonal” dalam Gerorg Kirchberger, Misi Evangelisasi Penghayatan Iman, Maumere: Ledalero, 2004.
Steger, Manfred B., Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar , terj. Suryo Handoko, Yogyakarta: Lafadl Pustaka, 2005.

Leave a Comment