Oleh: Timotius J
Bagaimana pun, perjumpaan antara iman Kristiani dan budaya setempat merupakan dialog yang tidak pernah selesai. Bentuk dialog sangat bergantung pada situasi konteks di mana perjumpaan itu terjadi. Demikian halnya Gereja Kalimantan terus berusaha menemukan dialog yang selaras zaman.
Betang: Rumah Dayak yang Ramah
Pulau Kalimantan merupakan pulau terbesar ketiga setelah Green Land dan Irian Jaya. Luasnya mencapai lima kali Pulau Jawa. Dalam bahasa setempat Kalimantan berarti pulau yang memiliki sungai-sungai besar (kali ‘sungai’ dan mantan ‘besar’). Memang, di pulau ini terdapat banyak sungai besar, seperti Kapuas, Mahakam, Kahayan, Barito, dll., sehingga Kalimantan dijuluki pulau seribu sungai. Penduduk setempat banyak yang bermukim di sekitar sungai dan transportasi sungai menjadi kekhasannya.
Mayoritas penghuni Kalimantan adalah Suku Dayak. Nama “dayak” memiliki arti yang bervariasi. Misalnya, Dayak merupakan sebutan bagi stam-stam yang tidak beragama Islam di Kalimantan. Pendapat lain menyatakan bahwa Dayak merupakan sebutan bagi orang-orang yang tinggal di daerah udik Kalimatan, yaitu di hulu-hulu sungai yang mana daerahnya bergunung-gunung. Tidak semua orang menerima pendapat-pendapat ini. Arti lain dari nama dayak itu adalah gagah dan cantik. Terlepas dari pendapat yang berbeda tentang arti dari nama tersebut, Dayak diterima sebagai sebutan bagi suku pribumi yang mendiami Kalimantan.
Seturut catatan historiografi, Suku Dayak merupakan pendatang dari Yunan. Kurang lebih dua ratus tahun sebelum masehi, terjadilah perpindahan bangsa Melayu yang pertama ke Indonesia dari daerah Yunan. Di Kalimantan, mereka mula-mula berdiam di daerah pantai lalu terdesak ke pedalaman oleh kedatangan Melayu muda. Akan tetapi, orang Dayak sendiri tetap berpendirian bahwa mereka bukan pendatang tetapi penduduk asli yang diturunkan oleh Ranying Hatalla dari langit ketujuh.
Keyakinan asli Suku Dayak adalah Kaharingan. Kaharingan telah ada sejak awal penciptaan. Ranying Hatalla telah mengatur segala sesuatunya untuk menuju jalan kehidupan, ke arah kesempurnaan yang kekal. Sejak manusia diturunkan ke alam kehidupan, terlebih dahulu mereka telah dibekali sengan segala aturan dan tata cara untuk menuju kehidupan sempurna. Kaharingan meyakini bahwa setiap orang dalam kehidupannya mempunyai tugas dan misi tertentu. Maka, misi utama Kaharingan adalah mengajak manusia menuju jalan yang benar dengan berbakti serta mengagungkan Ranying Hatalla dalam setiap sikap dan perbuatan.
Nilai sosial Suku Dayak dapat terbaca dalam Rumah Betang. Rumah Betang adalah rumah adat Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan. Satu rumah Betang dapat menampung hingga lima puluh bahkan lebih keluarga. Selain sebagai tempat tinggal suku, Betangmeyimpan kekayaan nilai hidup Suku Dayak yang menekankan kebersamaan, saling menghormati dan tenggang rasa. Kultur kebersamaan ini menumbuhkan kepribadian orang Dayak yang terbuka, jujur, kehalusan dan kelembutan.
Kehadiran Awal Gereja: Tamu yang Diwaspadai
Kisah awal misi Kalimantan sangat menantang. Berhasil menyusuri sungai hingga ke pedalaman, tidak otomatis sukses menggugah hati Suku Dayak untuk dibabtis. Suku Dayak begitu kokoh menjaga warisan leluhur dan tidak mudah digoyahkan oleh pendatang. Kekristenan dilihat sebagai tamu yang disambut dengan ramah. Meski demikian, Suku Dayak tetap berwaspada terhadap tamu baru itu. Suku Dayak memang membantu para misionaris, tetapi tidak serta merta memberi diri dibaptis menjadi orang Katolik. Para misionaris tidak patah semangat dan putus harapan untuk terus menawarkan karya keselamatan sehingga perlahan-lahan nama Yesus dikenal di rimba Kalimantan.
Hingga tahun 1900 umat Katolik Kalimantan merupakan kelompok kecil yang terdiri dari 356 orang dan jumlah ini hanya 1% dari jumlah umat Katolik di Hindia Belanda pada masa itu. Dua tempat yang tercatat dalam sejarah misi Kalimantan, adalah Singkawang dan Laham. Singkawang merupakan titik awal perkembangan umat Katolik di Kalimantan Barat. Pada tahun 1885, Singkawang menjadi stasi yang anggotanya hampir eksklusif Cina. Sementara itu, Laham merupakan kisah awal misi dari arah Timur Kalimantan. Laham terletak di daerah sungai Mahakam, Kalimantan Timur kurang lebih 500 km dari kota Samarinda. Kemudian, karya misi ini berkembang ke tempat-tempat lain. Hingga tahun 1938, ada 11 stasi tetap di Kalimanta Timur yaitu Laham, Tering (1928), Balikpapan (1931), Samarinda (1933), Tarakan (1934), Mamehak Besar, Batu Urah, Long Pahangai dan Barong Tongkok (1937) dan di Kalimantan Selatan, Stasi Banjarmasin dan Kelayan(1936).
Seiring bergulirnya waktu, karya misi Kalimantan terus berkembang. Kini, wilayah Kalimantan terbagi dalam dua Provinsi Gerejawi, yaitu Provinsi Gerejawi Pontianak dan Provinsi Gerejawi Samarinda. Provinsi Gerejawi Pontianak terdiri atas empat keuskupan, yaitu Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Ketapang, Keuskupan Sanggau dan Keuskupan Sintang. Sementara itu, Provinsi Gerejawi Samarinda terdiri dari lima keuskupan, yaitu Keuskupan Agung Samarinda, Keuskupan Palangka Raya, Keuskupan Tanjungselor dan Keuskupan Banjarmasin.
Dalam rangka melahirkan agen-agen Pastoral, di Kalimatan sudah didirikan beberapa seminari menengah, misalnya Seminari Menengah St. Yohanes Don Bosco Samarinda, Seminari Menengah Santo Paulus, Topang dan Seminari Menengah Raja Damai, Palangka Raya. Selain seminari menengah, kalimantan juga memiliki Seminari Tinggi Antonino Ventimiglia dan Sekolah Tinggi Teologi (STT) Pastor Bonus Pontianak yang menjadi lembaga formasi bagi calon imam Regio Kalimantan dari imam dioses Regio Kalimatan, tarekat CP, dan OFM Capusin. Selain pendidikan khusus untuk para calon imam, Kalimantan juga memiliki beberapa Sekolah Tinggi untuk menghasilkan kaum awam yang terpanggil untuk mewartakan kabar gembira, seperti STIPAS Tahasak Danum Pambelum milik Keuskupan Palangka Raya, Sekolah Tinggi Pastoral (STP) St Agustinus milik Keuskupan Agung Pontianak dan Sekolah Tinggi Kateketik Pastoral Katolik Bina Insan milik Keuskupan Agung Samarinda.
Gereja Dewasa: Menjumpai Kristus Di Betang
Kini Gereja Kalimantan sedang berjuang menjadi Gereja dewasa. Menjadi Gereja dewasa tidak lain merupakan suatu proses untuk mengakarkan iman dalam konteks Kalimatan sehingga Gereja tidak lagi dilihat sebagai tamu yang perlu diwaspadai. Salah satu upaya ke arah itu adalah inkulturasi musik liturgi. Di Regio Kalimantan telah diadakan lokakarya musik Liturgi yang dilakukan oleh Pusat Musik Liturgi di Buntok/Kalteng (1984), Tering/Kaltim (1985), Tanjung Isuy/ Kaltim (1987), Sanggau/Kalbar (1989), Putussibau/ Kalbar (2001) dan Palangka Raya (2008). Adalah suatu prestasi tersendiri ketika sudah diterbitkan Madah Bakti edisi khusus Regio Kalimantan yang berisikan lagu-lagu inkulturatif Suku Dayak. Kini, Ekaristi menjadi tidak asing lagi bagi Suku Dayak karena nuansa Dayak perlahan-lahan menginspirasi perayaan Gereja.
Menjadi Gereja Dewasa berarti juga menjadi Gereja yang siap berziarah dalam dan bersama konteks di mana Gereja berada. Gerakan tersebut adalah juga panggilan Gereja Katolik Kalimanta dewasa ini. Hal ini misalnya dapat disimak dalam arah dasar Keuskupan Palangka Raya2011-2015: “Umat Allah Keuskupan Palangka Raya yang hidup dalam kasih karunia Allah berusaha lebih mendewasakan imannya dengan memaksimalkan peran dan fungsi Dewan Paroki dan pewarta awam, mencintai Kitab Suci dan liturgi yang inkulturatif; meningkatkan martabat manusia melalui pengembangan ekonomi umat, pendampingan kaum muda, pemberdayaan kaum lemah, dialog antar umat beragama dan pelestarian lingkungan hidup.” Arah pastoral ini jelas menegaskan bahwa Gereja terpanggil untuk berjuang bersama mereka yang terpinggirkan dan tersisihkan dari rumahnya sendiri.
Mengakarkan Kristus dalam budaya setempat tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bagaimana pun, perjumpaan antara iman Kristiani dan budaya setempat merupakan dialog yang tidak pernah selesai. Bentuk dialog sangat bergantung pada situasi konteks di mana perjumpaan itu terjadi. Demikian halnya Gereja Kalimantan terus berusaha menemukan dialog yang selaras zaman. Mengakarkan iman Kristiani dalam konteks Kalimantan dewasa ini adalah bagaimana menjumpai Kristus yang semula berdiam di rumah Betang, tetapi kini perlahan terdepak oleh kekuatan kapitalis yang tidak sungkan merenggut kemurnian dan kesucian Betang.
“Pengharapan tidak mengecewakan (Rm 5:5),” demikianlah seruan Mgr. Petrus Boddeng Timang dalam Surat Gembala menyambut Natal 2013 dan Tahun Baru 2014. Sabda ini tampaknya tepat juga untuk melukiskan tentang pertumbuhan Gereja Kalimantan. Awalnya, Gereja Katolik merupakan tamu bagi Suku Dayak, tetapi perlahan-lahan diterima dan kini tengah bertumbuh menjadi Gereja Dewasa. (Diolah dari berbagai sumber)