Oleh: Ervino Hebry Handoko
Semangat toleransi mesti dihayati dan dihidupi secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan bahwa Indonesia sebagai Negara dengan komposisi masyarakat yang sangat heterogen menuntut keterbukaan untuk saling menerima satu sama lain dalam semangat persaudaraan.
Manusia dilahirkan dalam lingkungan yang sangat beragam, mulai dari warna kulit, latar belakang budaya, agama, dan tradisi. Kenyataan ini mau menegaskan bahwa keragaman merupakan sebuah keniscayaan. Dalam konteks Indonesia, perbedaan agama, budaya, bahasa dan warna kulit merupakan hal yang lumrah. Kenyataan ini terjadi hampir di seluruh pelosok Indonesia dan menyebar sampai ke berbagai lapisan masyarakat.
Di balik keragaman tersebut, tentu tidak dapat dihindari timbulnya beberapa persoalan seperti radikalisme, rasisme, dan etnosentrisme. Fenomena ini lazim terjadi di seluruh belahan dunia. Ini merupakan persoalan klasik yang selalu dihadapai oleh banyak negara dengan komposisi masyarakat yang heterogen. Persoalan ini akan bisa diatasi apabila semua masyarakat mampu menyatukan persepsi melihat keragaman bukan sebagai ancaman melainkan sebuah peluang dan juga kekayaan yang pantas untuk dirayakan bersama.
Tantangan kebhinekaan di tengah arus modernitas
Akhir-akhir ini, Indonesia mendapat perhatian khusus dari publik internasional. Negara yang terkenal dengan ribuan pulau serta berbagai aset pariwisata yang sangat eksotik ini menarik minat wisatawan internasional untuk berkunjung ke Indoensia. Kehadiran mereka tentu tidak hanya sebatas untuk menikmati panorama alam, budaya, dan makanan tetapi juga mau lebih dekat melihat potret kehidupan masyarakat yang sangat heterogen dengan cita rasa toleransi yang tinggi. Ini tentu prestasi yang sungguh luar biasa. Namun, di balik catatan positif tersebut, tanpa disadari nilai-nilai toleransi dan kebhinekaan berlahan luntur oleh arus perkembangan zaman. Salah satu ciri yang sangat kelihatan adalah sikap individualisme yang menjadi tren kehidupan manusia modern saat ini.
Faktor inilah yang menyebabkan terjadinya pergeseran pola hidup masyarakat dari konsep hidup yang tradisional menuju masyarakat yang modern. Perubahan ini berdampak pada pola hidup dan cara berpikir. Nilai sosial bergeser pada prinsip hidup yang sangat indvidualistik. Sesama tidak lagi dilihat sebagai kawan tetapi lawan. Setiap orang berusaha untuk tampil dominan dari yang lain, indentias dan kualitas individu dipertontonkan. Semuanya itu dilakukan untuk memperoleh prestasi. Sikap dan cara hidup seperti ini sangat berdampak pada kehidupan sosial. Kenyataan ini marak terjadi dalam lingkugan hidup perkotaan. Tanpa kita sadari, budaya silahturahmi yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia berlahan-lahan luntur dan berubah menjadi sangat individalistik khas Barat.
Dalam konteks kehidupan perkotaan, gaya hidup seperti ini merupakan hal yang lumrah. Kesibukan bekerja membuat relasi dengan yang lain ikut terganggu. Sikap ini begitu nyaman dan tanpa disadari bisa melunturkan wajah kebhinekaan. Kebhinekaan bukan hanya berbicara soal sikap menghormati agama lain, budaya lain, tetapi lebih kepada tindakan kasih yang mau menyapa orang-orang yang ada di sekitar kita. Budaya silahturahmi dan berkumpul berlahan luntur. Tren ini juga berdampak dalam praktek kehidupan umat beragama. Setiap orang mulai membangun jarak, bergaul hanya dengan orang yang latar belakang yang sama, dan agama yang sama. Politik identitas pun mulai muncul ke permukaan. Di mana-mana, mulai terjadi isu radikalisme dan rasisme.
Menariknya, situasi ini bisa berubah kapan saja. Penyakit intoleransi, radikalisme dan juga individualisme akan dengan sendirinya hilang apabila terjadi musibah nasional seperti gempa bumi, tsunami atau pandemik. Ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya jiwa sosial yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia belum sepenuhnya luntur. Kita tentu berharap, kesadaran untuk keluar dari zona nyaman tersebut tidak bersifat musiman, melainkan terus dihidupi apapun kondisinya. Dalam konteks Indonesia, bencana kadang menjadi ajang pertobatan kolektif.
Mewujudkan roh kebhinekaan yang permanen
Keragaman merupakan sebuah keniscayaan, dengan demikian keterbukaan untuk menerima perbedaan merupakan unsur mutlak. Semangat toleransi mesti dihayati dan dihidupi secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan bahwa Indonesia sebagai Negara dengan komposisi masyarakat yang sangat heterogen menuntut keterbukaan untuk saling menerima satu sama lain dalam semangat persaudaraan. Zaman boleh berubah, namun keutamaan dan prinsip hidup sebagaimana yang dimuat dalam butir-butir Pancasila perlu dijaga dan dirawat.
Berhadapan dengan arus modernitas saat ini, sekiranya ada beberapa strategi yang dapat digunakan untuk menghidupkan kembali nilai kebhinekaan bagi generasi milenial. Strategi ini disiapkan untuk meminimalisir terjadinya benturan dalam kehidupan bersama serta mampu mewujudkan kembali roh kebhinekaan yang permanen.
Pertama, membumikan nilai kebhinekhaan mulai dari tingkat dasar. Strategi ini difokuskan untuk memberikan pendidikan dan pemahaman sedini mungkin tentang jiwa kebhinekaan kepada anak-anak mulai dari tingkat sekolah dasar. Peran serta lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat sangat penting. Berbicara tentang kebhinekaan bukan hanya menyangkut soal agama, tetapi juga meliputi suku, budaya, bahasa, dan juga gender. Siswa sedini mungkin diajarkan tentang pentingnya merawat nilai-nilai kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga pada akhirnya mereka bertumbuh menjadi pribadi yang terbuka dan toleran.
Usaha untuk membumikan kembali nilai-nilai kebhinekaan ditanggapi secara serius oleh beberapa lembaga pendidikan di negeri ini salah satu contohnya adalah sekolah Nasional Plus Tunas Global. Ibu Ken Atik Wardhani, Ketua Yayasan Madiri Tunas Global menegaskan, salah satu ciri khas dari lembaga pendidikan Tunas Global adalah keterbukaan untuk menerima satu sama lain serta mampu melihat keragaman sebagai peluang untuk membentuk karakter siswa. Setiap siswa diberikan pendidikan keagamaan sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Misi utama Sekolah Tunas Global adalah menjadi lembaga pendidikan yang terkemuka yang menghasilkan pribadi-pribadi yang tidak hanya cerdas dan mandiri tetapi juga memilik sikap peduli yang tinggi terhadap yang lain yang berbeda budaya, agama, dan warna kulit. Usaha ini tentu bermuara pada sebuah prinsip yaitu respek terhadap keragaman dan adil dalam perlakuan. Ada tiga pilar yang menjadi penopang pelaksanaan sistem pendidikan di Sekolah Tunas Global yaitu cerdas, mandiri, dan peduli. Sistem pendidikan yang terus diperjuangkan oleh Sekolah Tunas Global adalah membiasakan siswa untuk hidup dalam kebhinekaan dan mampu melihat sesama sebagai saudara.
Kedua, menciptakan ruang perjumpaan. Di tengah krisis modernitas yang makin pesat, ruang-ruang perjumpaan pun mulai berkurang. Maka dari itu diperlukan sebuah usaha untuk membumikan kembali kebiasaan tersebut. Hal ini pun dimani oleh Ibu Heny Supolo, Ketua Yayasan Cahaya Guru Indonesia. Beliau menambahkan, lembaga yang paling sentral menciptakan ruang perjumpaan adalah sekolah. Kegiatan ini bisa dilakukan dengan beberapa cara misalnya, guru membiasakan diri untuk membangun komunikasi yang baik dengan siswa serta memberi kesempatan kepada mereka untuk menyampaikan gagasan sehingga terciptaanya ruang untuk berdiskusi. Hal ini tampaknya sangat sederhana namun bisa membentuk karakter siswa yang kritis, disiplin, dan mampu untuk menghargai pikiran dan gagasan orang lain.
Siswa juga mesti dibiasakan untuk terlibat dalam kegiatan berorganisasi. Kegiatan tersebut bertujuan untuk menciptakan iklim kerja sama yang baik, saling menghargai, bersikap adil dan peduli dengan yang lain tanpa ada diskriminasi. Melalui usaha membumikan ruang perjumpaan, anak-anak akan bertumbuh menjadi pribadi yang terbuka dan berwawasan luas.
Ketiga, menciptakan kemerdekaan belajar dalam ruang kelas. Toleransi bukan hanya sebatas persoalan agama, suku dan budaya, tetapi juga atas keragaman anak dalam kelas dengan berbagai karakter dan kemampuannya. Berhadapan dengan karakter dan kemampuan siswa yang sangat beragam guru diharapkan mampu menciptkan iklim pengajaran yang variatif dan fleksibel. Letak kemerdekaan belajar terjadi di saat siswa tidak dibebani dengan tuntutan yang mengharuskan mereka sejajar dengan yang lain. Guru diminta untuk menghindari sikap membandingkan karakter dan kemampuan siswa yang satu dengan yang lainnya. Di sisi lain, upaya untuk penyeragaman masih bisa diperjuangkan dengan tujuan yang jelas dan mutlak misalnya kedisiplinan, keikutsertaan dalam karya seni dan berbagai pertunjukan.
Ketika anak-anak dibiasakan dengan lingkungan yang menjunjung tinggi budaya toleransi dan semangat kebhinekaan dengan sendirinya mereka mampu merawat dan menghidupi sikap toleransi dan kebhinekaan dalam lingkungan yang lebih luas. Selain itu, gaya hidup indvidualisme berlahan-lahan bisa diminimalisir. Anak-anak pun tidak mengalami kesulitan ketika terjun ke dalam lingkungan masyarakat yang heterogen. Semakin digiatkan usaha membumikan Pancasila dan membuka ruang perjumpaan serta menciptakan kemerdekaan belajar, maka semakin banyak pula produksi bibit-bibit generasi bangsa yang terbuka, toleran, dan berwawasan luas yang mampu merawat kebhinekaan secara permanen sebagaimana yang dicita-citakan para pendahulu bangsa ini.
Dari contoh di atas dapat dikatakan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kecenderungan yang sama, laki-laki bisa cenderung mengandalkan perasaannya dalam mengambil tindakan demikian pun perempuan, atau justru sebaliknya perempuan bisa cenderung menggunakan pikirannya ketimbang perasaannya. Semuanya bisa terjadi, tergantung di lingkungan mana mereka terbetuk. Faktor budaya dan tempat tinggal turut mempengaruhi terbentuknya kepribadian seseorang. Atas dasar itu, tidak dapat dibenarkan bila perasan itu identik dengan perempuan sedangkan laki-laki identik dengan pikirannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita jumpai bahwa begitu banyak laki-laki yang cenderung memiliki rasa empati yang tinggi dibandingkan perempuan. Ada banyak laki-laki yang cenderung menggunakan perasaannya dalam mengambil keputusan. Demikian pun dengan perempuan, tak jarang kita menjumpai perempuan yang begitu idealis sehingga mengabaikan peran perasaanya. Atas dasar itu, sangat tidak tepat membuat dikotomi antara perempuan dan laki-laki. Semuanya memilki karakter yang sama, keduanya terbentuk dari proses belajar bukan sesuatu yang tumbuh secara alamiah.