Di luar pondok, sepasang kumbang bertengger ceria di tengah indahnya kembang-kembang yang mekar menyambut mentari. Di dalam pondok, aku dan Shinta duduk bersila di lantai bilah bambu yang melapuk.
Oleh: Timo J
Kampung pada senja itu. Shinta dengan gogong[i] di punggungnya, memikat mata kami. Jhon temanku menghadiahkan kata-kata sumbang kepadanya. Aku juga berminat dan dari mulutku meluncurlah kata-kata aneh untuk Shinta. Shinta tertunduk malu, muka putih bersihnya memerah. Kenangan ini selalu mengusik hari-hariku di Dewata.
Sekian lama telah kutinggalkan kampung ini. Setamat sekolah dasar, paman membawaku pergi. Kini, aku kembali. Arloji di tanganku menunjukkan Pkl 16.15. Di ujung kampung, raut ayah menjemputku. Terbayang tubuhnya yang kekar dan tegap kini lapuk di perut bumi. Yah ayah meninggal tiga tahun silam. Isak tangis mama dan sanak keluarga membuat air mataku tumpah ruah. Sebelum masuk rumah, bersama mama dan mereka semua aku melepas rindu dan kisah cinta almarhum di kediaman akhir dan abadinya yang tidak jauh dari rumah.
Di rumah, orang-orang kampung menyambutku dengan aneka raut. Dari pertanyaan-pertanyaan mereka, tampaknya mereka haus mendengar ceritera tentang kota. Dan aku berkisah tentang kota yang aku kenal dengan dibumbui sedikit joak.[ii] Aku tidak tahu bagaimana kesan dan rasa mereka tentang kota yang aku ceriterakan.
Ketika malam menjelang, satu persatu mereka pamit. Kini tinggal keponaan-keponaanku mengitari aku. Mereka begitu ceria menikmati masa kecilnya. Keceriaan mereka ini membangkitkan kenangan masa kecilku dulu. Serentak, aku merasa sepi. Dalam kesepian itu, bayangan Shinta hadir mengusikku. Tidak jauh dariku, bunda sibuk merapikan tikar anyamannya yang belum rampung.
Ma, Shinta sekarang di mana?” Aku melihat kerut yang ganjil terpancar dari raut mama. Setelah diam agak lama, bunda membuka mulutnya.
Nak, jangan ingat dia lagi!” Bunda menaruh tikarnya ke samping. Aku heran. Mungkinkah Shinta telah berada di tempat di mana sekarang ayah berada, demikian tanyaku dalam hati.
Sudah berapa tahun Shinta jadi gadis aneh, nak.” Gelap perlahan melilit bumi. Adikku sibuk menyalakan lampu gas. Keponaan-keponaanku kini berada di sekeliling lampu yang mulai memancarkan terang. “Ia bukan Shinta yang dulu lagi.” Tampaknya bunda masih seperti dulu, bertele-tele dan lamban berbicara. Dulu, sebelum mama selesai dengan ceritanya, aku sudah beralih langkah ke tempat lain. Kali ini, aku coba bersabar.
“Ma, sebenarnya ada apa dengan Shinta?”
Begini nak, Shinta sempat masuk SMP Golowatu. Entah kenapa, pada awal kelas tiga, Shinta lari dari asrama dan tidak mau sekolah lagi. Beberapa bulan kemudian keluarga anak wina[iii] dari Lengkas datang melamarnya. Sejak itu, Shinta menjadi gadis pendiam dan akhirnya pergi entah ke mana.” Bunda memasukkan sirih pinang ke dalam mulutnya.
ampir setahun Shinta menghilang. Tunangannya dari Lengkas itu tidak sabar menunggunya dan akhirnya menikah dengan gadis lain.” Mama membuang air merah dari mulutnya di tempurung di sisi kirinya. “Shinta kembali ke kampung dua minggu setelah bapamu meninggal. Tidak seperti sebelumnya, kini Shinta tidak pernah diam dan orang-orang tak sanggup mencegahnya. Shinta mengutuki dirinya, mamanya, bapanya almarhum dan setiap orang yang mendekatinya. Terkadang Shinta memaki guru-guru dan teman-teman SMP-nya dulu.” Bunda menatap diriku. Aku tak sanggup, membalas tatapannya.
Banyak dukun coba menolong, tetapi tidak membawa hasil. Nana…,[iv] orang-orang di kampung yakin Shinta menjadi begitu karena menolak tungku salang[v].” Bunda kembali memasukkan sirih pinang ke dalam mulutnya. “Nana,Shinta sering menyebut dan memanggil namamu.” Aku terperanjat dan mengangarahkan bola mataku ke mata bunda.
“Sekarang Shinta di mana?”
“Dari kemarin aku tidak melihatnya.”
Malam kian buram.
Di pembaringan, lelah tak sanggup mengantar aku pada pulas. Shinta, telah jadi gadis gila. Demikian, kesimpulanku. Kesimpulan ini membuat diriku membolak-balik badan sepanjang malam.
Aku membuka mata. Cahaya pagi telah sampai di kamar. Dengan berat, aku beranjak dari pembaringan. Sebelum embun menguap, adikku mengajak aku ke kebun.
Belum terlalu jauh dari kampung, dua bola mataku berlabuh pada sosok tubuh yang mondar-mandir di pondok sebelah kiri jalan. Aku berusaha untuk mengenalinya. Rambutnya hitam, lebat, terurai bebas dan tampak tidak terawat. Kulitnya yang putih tampak indah ditimpa sinar pagi. Dengan tergesa, ia berlangkah ke arah kami.
“Itu Shinta, kak.” Adikku berguman sangat pelan. Kakiku berat melangkah. Akupun diam di tempat. Shinta semakin dekat di hadapanku. Kira-kira tiga langkah di depanku, Shinta berhenti. Matanya menatap langsung ke dua bola mataku.
“Nara[vi], masih ingat Shinta?” Ingin aku memeluk dan mengecup keningnya. Kisah bunda semalam membuat kaki enggan beranjak.
“Weta[vii], aku selalu rindu ada bersamamu.” Kataku dengan gagap. Jeda cukup lama.
“Nara, aku malu…” Shinta tampak ragu. Aku menoleh. Adikku tampak bingung. Kubiarkan ia pergi.
Aku membimbing Shinta ke pondok itu. Shinta menurutiku. Di luar pondok, sepasang kumbang bertengger ceria di tengah indahnya kembang-kembang yang mekar menyambut mentari. Di dalam pondok, aku dan Shinta duduk bersila di lantai bilah bambu yang melapuk.
“Weta, di Denpasar aku selalu merindumu. Ingin sekali aku pulang, tetapi nasip tak mengijinkan. Setamat SMP, aku tinggal sendirian. Paman mengikuti istrinya ke Makasar. Mau tidak mau aku harus berjuang untuk bertahan hidup. Aku harus bagi waktu antara sekolah dan kerja.” Jeda cukup lama.
Syukurlah, kalau nara masih bisa sekolah.” Kata Shinta dengah lemah. Hening menyatukan kisah masa kecil kami berdua.
Entah apa yang melanda dadanya, tiba-tiba Shinta menangis tak tertahankan. Dengan cepat aku mengambil posisi sampingnya dan menyandarkan dia di dada. Aku membiarkan Shinta menangis sepuas-puasnya. Kubelai rambutnya. Jantungku berdebar begitu kencang. Lama ia menangis. Kuusap mata dan pipinya dengan tangan. Merapikan rambutnya yang acak. Lalu, aku menggenggam erat tangannya dan membantunya berdiri. Kugandeng tubuhnya dengan erat, menyatukannya dengan getaran di tubuhku, berlangkah menuju kampung. Sesampai di kampung, orang-orang memandang heran ke arah kami. Kuabaikan tatapan mereka dan kami meneruskan langkah menuju rumah warisan almarhum, ayahku.
[i]Wadah untuk menimba air yang terbuat dari bambu. [ii]Cerita yang tidak sesuai kenyataan. [iii]Pihak penerima perempuan. [iv]Sapaan untuk anak laki-laki. [v]Perkawinan cross cousin matrilineal. [vi]Sapaan untuk saudara laki-laki kandung yang kemudian mengalami perluasan arti. [vii]Sapaan untuk saudara perempuan kandung yang juga mengalami perluasan arti