Sinode Keuskupan Ruteng, Wejang Asi dalam Dialog Gereja-Budaya

Oleh: Timotius J

Salah satu sasaran dari Sinode III ini adalah untuk menemukan reksa pastoral kontekstual transformatif yang berbasis iman demi terwujudnya Gereja Katolik Keuskupan Ruteng yang semakin beriman solid, mandiri dan solider.

Dengan indah John Prior melukiskan kenyataan kontekstual dewasa ini, demikian:

“Sepasang anak muda menggalahi sampan lading mereka menuju kantor pos di Agats, sebuah kawasan pemukiman kecil yang terletak di wilayah rawa-rawa di pantai selatan Tanah Papua. Setelah mengikat perahunya yang terbuat dari batang kayu yang dilubangi itu, mereka naik merangkaki jalan setapak yang ditataki lapisan kayu. Setibanya di dalam kantor pos itu mereka mengirim sebuah pesan e-mail ke teman-temannya di Eropa. Lalu, mereka meluncur turun menuju sampan tadi dan menggalahinya pulang ke rumah mereka berupa bangunan lamin panjang.”

Lukisan di atas merupakan konteks dewasa ini yang akrab disapa sebagai era globalisasi. Dengan kata lain, perjumpaan antara yang lokal dengan yang global menjadi suatu hal yang biasa terjadi dewasa ini.
Di tengah situasi ini, Keuskupan Ruteng telah mencanangkan Sinode III. Tentu tak dapat diingkari bahwa kita juga adalah anak muda sebagaimana yang dilukiskan oleh John Prior dalam konteks yang kurang lebih mirip. Karena itu, baiklah kita juga terpanggil untuk berjalan bersama dengan umat Keuskupan Ruteng untuk melihat, menimbang dan memutuskan hal-hal yang perlu untuk karya pastoral dan perjalanan panggilan kita sebagai Calon Imam Keuskupan Ruteng.

Konsili Vatikan II dan pergeseran refleksi teologis

Konsili Vatikan II dalam GS, Artikel 1 menegaskan bahwa kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para umat Kristus juga. Menjadi jelas bahwa Gereja bukanlah menara gading yang menutup dirinya dan lepas-pisah dari realitas-realitas yang ada di mana Gereja berziarah. Hendaknya diakui pula bahwa realitas historis Gereja selalu berada dan berkembang dalam setiap perjumpaan dengan konteks-konteks tertentu. Hal ini ditegaskan lebih lanjut oleh Konsili Vatikan II dalam GS, 58: “Sebab Allah, yang mewauhyukan diri kepada umat-Nya hingga penampakan Dirinya sepenuhnya dalam Putera-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman.”

Kesadaran dan keyakinan Bapak-Bapak Konsili di atas membawa konsekuensi tersendiri bagi refleksi teologi. Seturut pemahaman baru ini, refleksi teologis menyadari bahwa semua teologi mempunyai konteks tertentu. Tanpa analisis awal terhadap konteks, teologi dapat dengan mudah menjadi tidak relevan atau menjadi alat terselubung dari manipulasi teologi. Lebih lanjut, ketika konteks menjadi awal dari refleksi teologis, maka komunitas lokal akan jauh lebih bertanggung jawab dalam menanggapi konteks. Maka, prosedur teologi yang diikuti adalah pola-pola produksi makna dalam suatu konteks budaya tertentu. Dalam pergumulan teologis ini, para teolog lokal sungguh peka terhadap kedwiartian sejarah. Sejarah tidak hanya membawa transformasi masa kini tetapi juga rekonstruksi pemahaman akan masa lampau.

Nilai budaya dan globalisasi

Tinjauan sosio-budaya atas globalisasi memperlihatkan wajah ganda. Di satu sisi, globalisasi membuka peluang terciptanya pola kebudayaan yang homogen. Sementara itu, di sisi lain, globalisasi menuntut perjuangan untuk memperkuat identitas lokal. Jika efek samping dari sisi yang satu adalah penjajahan budaya, maka sisi yang lain akan memupuk fanatisme budaya. Bahwa globalisasi telah berandil bagi humanisasi budaya, namun tak dimungkiri bahwa globalisasi juga membawa serta proses dehumanisasi budaya. Baik penjajahan budaya maupun fanatisme semuanya akan berujung pada krisisis jati diri budaya.

Salah satu hal yang patut digarisbawahi dan tidak dapat dipungkiri bahwa Gereja Katolik Manggarai kini berziarah dalam era globalisasi. Penelitian Robert Mirsel menunjukkan bahwa globalisasi juga telah berandil membidani generasi Manggarai yang hidup tanpa orientasi dan pendasaran yang kunat. Jika hal ini tidak segera ditanggapi secara serius, maka dengan semakin kuatnya tantangan arus globalisasi, masyarakat boleh jadi akan jatuh ke dalam fatalisme, berjuang sendiri-sendiri dan dengan demikian menjadi mangsa kekuatan ekonomi, politik, dan budaya global yang sedang menggerogoti kehidupan masyarakat kita.

Sementara itu, Maribeth Erb melihat proses dehumanisasi budaya Manggarai sebagai buah dari globalisasi. Salah satu fenomena yang diamatinya adalah budaya yang dikenal oleh generasi Manggarai sekarang ini hanyalah bayangan dari budaya yang sudah hilang. Mengutip Agus Jehadut, Maribert Erb mencatat: “The shadow of adat (custom/tradition) haunts the young because they don’t understand it. They think they know what is expected, but they don’t. This is the influence of the modern world. They don’t live adat any more, so the knowledge of it haunts them.” Demikianlah sisi lain dari budaya turisme yang kini terasa dalam diri orang Manggarai.

Wejang asi: Sinode III Keuskupan Ruteng

Keuskupan kita sedang menggelar Sinode III yang dibuka pada tahun 2013 ini dan akan ditutup pada tahun 2015. Dalam surat gembalanya, Bapak Uskup memantik pergumulan Sinode III dengan beberapa pertanyaan, diantaranya adalah bagaimanakah Gereja partikular Keuskupan Ruteng di masa depan semakin dapat mewujudkan Kerajaan Allah dalam konteks kehidupan di Manggarai Raya yang berubah semakin cepat? Dengan demikian, salah satu sasaran dari Sinode III ini adalah untuk menemukan reksa pastoral kontekstual transformatif yang berbasis iman demi terwujudnya Gereja Katolik Keuskupan Ruteng yang semakin beriman solid, mandiri dan solider.

Merujuk pada warisan budaya Manggarai Bapak Uskup menegaskan bahwa tradisi lokal dan kebijakan luhur nenek moyang kita mempraktikkan Sinode. Bapak Uskup mengatakan: “Sangatlah menggembirakan dan membanggakan bahwa tradisi lokal dan kebijakan luhur nenek moyang kita mempraktikkan Sinode. Orang Manggarai dalam sebuah perjalanan jauh mengenal tempat mengaso yang disebut: wejang asi. Di sana orang beristirahat untuk melepas lelah. Di sana orang makan minum sambil berbicara dengan teman seperjalanan. Di sana orang menimba kekuatan baru untuk perjalanan selanjutnya.” Karena itu, dalam Sinode III ini kita, umat Allah Keuskupan Ruteng ingin berjalan bersama yang Dalam ungkapan budaya Manggarainya: lako cama-cama, lako neki ca, padir wa’i rentu sa’i, lonto leok.

Mgr. Hubertus Leteng dalam sambutannya untuk buku Iman, Budaya dan Pergumulan Sosial, menantang umat beriman untuk menjadikan Gereja Katolik Manggarai sebagai pabrik harapan yang senantiasa melenyapkan keputusasaan, menyembuhkan luka, menegakkan keyakinan, menghidupkan jiwa yang mengarah kepada Bapa di Surga. Senada dengan himbaun ini, direktur Pusat Pastoral Keuskupan Ruteng, Martin Chen, menegaskan bahwa orientasi dasar pastoral Gereja Katolik Manggarai bukan hanya sekedar agar Kristus hadir di bumi Manggarai, tetapi lebih dari itu agar Ia sungguh mengakar dalam kehidupan setempat.

Bagi Martin Chen upaya inkulturasi pada hakekatnya adalah suatu upaya untuk saling memperkaya yang mana iman katolik semakin mengakar dalam kehidupan orang Manggarai dan di pihak lain memperkaya iman Katolik terutama dalam aspek pengungkapan dan perayaan iman. Oleh karena itu, pergumulan teologis harus mampu menjadikan Kristus bukan lagi sebagai yang asing dari ziarah kaum beriman dan tidak menghatar umat pada jati diri yang ambigu. Dengan kata lain, iman akan Kristus sejatinya tidak mungkin membuahkan jati diri yang timpang. Semakin mereka beriman pada Kristus, maka mereka pun semakin mengakar dalam konteks budayanya.

Musafir Dior berjalan bersama umat keuskupan

Calon Iman Keuskupan Ruteng tentu terpanggil untuk mengambil bagian dalam perziarahan Gereja Katolik Manggarai dan karena itu entah dalam pergumulan pribadi atau bersama, kita pun hendaknya berjalan bersama untuk merefleksikan Gereja Katolik Manggarai. Menarik bahwa Bapak Uskup dalam surat gembalanya begitu kental menimba spirit budaya untuk merefleksikan kiprah Gereja Katolik Manggarai dalam arus zaman yang mengalir sedemikian cepat sekarang ini. Hal ini pun menantang kita untuk menggali dan merevitalisasi nilai-nilai budaya sehingga kita sungguh berakar dan dengan demikian kita dapat berdiri tegak di hadapan gelombang homogenitas kultural pada era globalisai ini.

Sebagai calon-calon pewarta untuk bumi congka sae, kita pun hendaknya membaca tanda-tanda zaman yang menyertai ziarah umat beriman. Bahwa kita tidak semestinya berada di Manggarai, tetapi hati kita janganlah terlepas pisah dari Manggarai. Selain itu, menghargai warisan budaya tidak berarti kita terkungkung pada masa lalu, tetapi mengangkatnya menjadi lebih manusiawi. Maka, senada dengan Budi Kleden, ada dua sifat dasar yang mesti di pegang dalam meningindahkan konteks budaya dalam refleski kita, yaitu kritis dan transformatif. Kritis artinya, kontekstualisasi teologi haru bisa mempertimbangkan paham dan praktik dalam tradisi Kristen yang turut berperan dalam membentuk atau mempertahankan pola pikir, perilaku dan struktur yang tidak adil dalam masyarakat. Sementara transformatif berarti kontekstualisasi teologi harus mendorong masyarakat ke arah perubahan menuju kehidupan yang lebih berkualitas.

Materi Sharing Calon Iman Keuskupan Ruteng
Maumere, 4 November 2013

Referensi:

Chen, Martin, “Tahun Rahmat Tuhan Telah Datang” (Luk. 4:19) Refleksi Praksis Pastoral 100 Tahun Gereja Katolik Manggarai dalam Martin Chen dan Charles Suwendi (eds.), ibid., p. 8.
Erb, Maribeth, Conceptualising Culture in a Global Age: Playing Caci in Manggarai (Singapore: Department of Sociology National University of Singapore, Presented as a seminar in the Southeast Asian Studies Program, National University of Singapore, 4 April 2001). p. 22.
Hardawiryana, R (penterj.), Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993.
Kleden, Paul Budi “Yang Lain Sebagai Fokus Berteologi Kontekstual Di Indonesia” dalam Jurnal Ledalero, Vol. 9, No. 2, 2010, p. 159.
Leteng, Hubert, SURAT GEMBALA SINODE III KEUSKUPAN RUTENG, 21 September 2013 dalam http://katedralruteng.blogspot.com/2013/10/surat-gembala-sinode-iii-keuskupan.html 
Sambutan Bapak Uskup Ruteng, Mgr. Hubertus Leteng dalam Martin Chen dan Charles Suwendi (eds.), Iman, Budaya dan Pergumulan Sosial, Jakarta: Obor, 2012.
Mirsel, Robert “Hidup Berpengharapan Di Tengah Badai Globalisasi” dalam Jurnal Ledalero, Vol. 10, No. 1 Juni 2011, pp. 103-120.
Prior, John M, Berdiri Di Ambang Batas, Maumere: Ledalero, 2008.
Steger, Manfred B. Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar, Yogyakarta: Lafadl Pustaka, 2005.

Leave a Comment