Telaga Bola Mata

Sepasang bola mata selalu mencari kesempatan bersua mataku. Aku selalu berjuang untuk menghindar. Hingga suatu ketika, aku lelah menolak kehadirannya. Dan anehnya, sejak saat itu aku justeru rindu tenggelam ke dalamnya.

Oleh: Timo J

Pagi ini, aku merasa pengap memenuhi sudut-sudut kamar. Hampa melanda dada. Kusingkap tirai jendela dan menengok ke atas sana. Awan pekat memenuhi angkasa. Dengan langkah goyah, aku menuju kamar mandi. Dalam bisu, kubiarkan air mengusir gerah di tubuh. Sementara aku menikmati butir-butir bening yang menyejukkan sekujur tubuh, aku teringat sepasang bola mata itu. Ia hadir sekejap dalam mimpiku semalam. Dari mana datangnya dan ke mana ia melangkah aku tidak tahu. Dengan tergesa, aku mengeringkan badan. 

Di meja makan, ibu sudah menghabisi sarapan dan siap-siap berangkat dengan sopirnya. Aku menyapa ibu dengan sapa yang lazim, lalu duduk di tempatku. Ingin aku berkisah tentang mimpi semalam, tapi ibu bergegas pergi. 

Hari ini aku harus terbang ke arah timur, ke pulau yang belum pernah kujejaki.

***

Di dalam pesawat. Aku memandang julang-menjulang bukit di bumi. Selanjutnya, pesawat melintas di atas bentangan laut biru. Aku sampai bosan meloi ke luar jendela merpati. Demi menghilangkan rasa bosan, kini aku menghayal menjadi orang terkaya di negeri ini. Bos pertambangan yang disegani. 

Kira-kira 45 menit berlalu, aku coba menengok lagi ke bumi. Kini, mataku   disegarkan oleh hamparan padi menguning. Sialnya, di ujung persawahan, sepasang bola mata itu kembali mencuri perhatianku. Aku merasa cemas dan keringat halus merembes di sekujur tubuh. Dengan terpaksa, aku coba membaca novel pemberian Sandra, perempuan yang telah merebut rasa di hatiku. Tetapi, cemasku belum juga sirna. Apalagi aku teringat berita tentang pesawat yang bukannya mendarat, tetapi melaut. Mungkin tak lama lagi aku dijemput malaikat maut. Aku belum siap!

***

Mengikuti penumpang di sampingku, aku membuat tanda salib. Aku tiba dengan selamat di bandara mungil ini.Tampaknya musim hujan telah lama berlalu di Pulau kecil ini. Padang ilalang di sebelah selatan bandara terlihat kering. Sementara di sebelah barat bandara, matahari bersandar santai di puncak bukit.  Penjemput tidak memberi kesempatan bagiku untuk berlama-lama menikmati ilalang yang lagi bergoyang ria diterpa angin senja. Aku dihantarnya ke daerah pedalaman. 

Malam pertamaku di pulau ini berlalu. Semalam, lelah dengan mudah mengantar aku pada pulas. Kebisingan mesin-mesin berat membangunkan aku pada hari pertama di sini. Aku bangun agak telat. Kemilau mentari pagi telah memasuki kamar. Dengan sigap aku melompat dan menyiapkan diri untuk mulai bekerja. 

Di luar ruanganku, truk-truk hilir mudik memanen rupiah. Sontak aku berguman, “Yah aku datang untuk meraih uang, uang dan uang!” Di kamar yang sebelumnya di tempati bapak, aku menghabiskan waktu di depan laptop. Tatapan ibu memacu otakku bekerja dengan angka-angka yang bermunculan di monitor. Kecakapanku di bangku kuliah diuji di sini. “Aku  harus menjadi anak yang baik dan berbakti pada ibu”, demikian janjiku dulu semasa kuliah.

***

Hampir satu tahun berlalu dan kalau tidak ada halangan, malam ini akan menjadi malam terakhirku di pulau ini. Besok aku akan kembali ke Jakarta. Tetapi, batinku tidak tenang. Betapa tidak, sepasang bola mata aneh itu belakangan ini kembali menghantui malam-malamku. Hanya dengan pil tidur, aku bisa melupakannya.

Mungkin sarafku sudah kebal. Pil tidur tak mempan membuat dua bola mataku terpejam. Dua bola mataku belum juga lelah meski fajar mulai menyinsing. Lalu, aku merasakan angin sepoi menyentuh tubuhku dengan lembut. Sementara itu, suara burung hantu dari arah utara menagih keringat halus di tubuh. Detak jantungku tak beraturan. 

Dalam temaran cahaya balon lima watt, samar aku melihat raut keriput yang membungkus dua bola mata itu. Barang beberapa detik berlalu, raut keriput itu makin jelas dan akhirnya aku mendapati wajah seorang perempuan yang kira-kira berumur enam puluhan tahun. Lambat laun, cemasku sirna. Di dalam dua bola mata itu, aku mendapati telaga bening yang tenang. Airnya jernih. Ada bunga-bunga indah yang berjejer rapi di pinggir telaga itu. Di dahan pohon-pohon yang rimbum bertengger aneka jenis burung, ada yang bersiul sambil  meloncat dari dahan yang satu ke dahan yang lain. Aku juga melihat seorang ibu muda bersama puteranya yang masih kecil. Ibu muda itu sedang mencedok air dari telaga bening itu untuk mengisi buyung-buyungnya.  Sementara, anak itu dibiarkannya bermain-main dengan kecapung-kecapung yang beterbangan di permukaan telaga.

Tiba-tiba suasana berubah. Sinar pagi tertutup awan kelam di angkasa. Kemudian, bumi bergoncang dengan hebatnya. Bukit di sebelah kiri telaga luluh, jatuh menutupi tempat di mana mereka berada. Aku sempat melihat sebongkah batu mendarat di kepala anak itu. Aku menjerit, ngeri melihat darah yang berserakan di tanah yang mulai retak. Sebelum aku melihat kejadian selanjutnya, Jhon, asistenku, membangunkan aku. 

***

Sejak mimpi itu aku jadi rindu menikmati dan berenang di telaga itu. Tetapi, hingga kini telaga bening itu tak kunjung kembali.

Leave a Comment