Teologi Kontekstual Model Antropologis: Menyingkap Budaya, Menyulam Warga Khas Gereja Lokal

Oleh: Timotius J

Teologi kontekstual model antropologis merupakan pendekatan teologi kontekstual yang mengindahkan jati diri budaya. Melalui refleksi ini, jati diri budaya diindahkan sebagai entitas otonom berhadapan dengan jati diri kristiani. Oleh karena Gereja lokal senantiasa hidup dan berkembang dalam budaya tertentu, maka refleksi teologi yang kontekstual hendaknya juga bertolak dari jati diri budaya setempat dan hal tersebut pada gilirannya akan memberikan warna khas bagi masing-masing Gereja lokal.

Pendahuluan

Teologi tradisional mendasari refleksi teologisnya pada dua sumber yaitu Kitab Suci dan tradisi Gereja. Sementara itu, setiap refleksi teologis dalam komunitas terbentuk oleh aneka konteks. Maka, refleksi teologis tidak mungkin tanpa melibatkan konteks. Karena itu, teologi kontekstual hadir untuk mengangkat dan mengakui konteks sebagai salah satu sumber teologi yang mesti dindahkan dalam refleksi teologis.

Gereja tumbuh dan berkembang dalam konteks budaya tertentu. Gereja menginjili budaya di satu sisi dan di pihak lain budaya memberikan warna khas bagi Gereja lokal. Meski demikian, Gereja dan budaya tetaplah dua kenyataan yang otonom. Karena itu, perjumpaan di antara keduanya tidak mesti meleburkan dua kenyataan tersebut menjadi satu tetapi justru memperkuat dan menegaskan jati diri masing-masing. Sejalan dengan hal ini, refleksi teologi kontekstual model antropologis adalah jalan untuk merefleksikan jati diri budaya sebagai entitas otonom dalam perjumpaan dengan jati diri kristiani.

Kontekstualisasi sebagai Keniscayaan dalam Refleksi Teologis

Batasan Teologi Kontekstual

Batasan teologi yang menjadi rujukan utama penelitian ini adalah definisi teologi dari Anselmus dari Canterbury. Anselmus dari Canterbury memahami teologi sebagai iman yang mencari pemahaman (fides quaerens intellectum). Bertolak dari definisi itu, Leonardo Boff menyatakan bahwa iman yang sejati mencari pemahaman, bukan untuk menghapus misteri, melainkan untuk dapat mempertajam dimensi sesungguhnya dan dalam kekaguman dapat melantunkan lagu pujian bagi logika Allah yang penuh rahmat. Sementara itu, bagi Bernard J. F. Lonergan, orang mesti pertama-tama disentuh oleh rahmat kasih Tuhan sebelum ia dapat mengenal keterarahannya kepada Yang Tak Terbatas.

Dua pendapat dari teolog tersebut merupakan penegasan atas definisi Anselmus dari Canterbury bahwa teologi tidak bisa terlepas dari iman di satu sisi dan pemahaman di sisi lain. Dalam sejarah teologi, perhatian yang tidak berimbang terhadap dua hal ini akan merugikan teologi itu sendiri di mana teologi bisa jatuh dalam atau fideisme atau rasionalisme. Dengan demikian, menyitir Stephen B. Bevans, teologi adalah “sesuatu yang terjadi dalam setiap dan semua orang yang berjuang untuk memahami imannya; ia adalah sebuah proses yang berlangsung di dalam hati dan pikiran dari setiap orang beriman yang tulus.”

Pemahaman tentang teologi kontekstual tidak terpisah dari definisi tersebut. Bahkan teologi kontekstual merupakan keniscayaan bagi teologi karena iman dan pemahaman selalu bertumbuh dan berkembang dalam konteks tertentu. Dengan kata lain, seorang beriman yang berusaha mencari pemahaman lahir dan berada dalam konteks tertentu. Tentang hal ini, Robert J. Schreiter menandaskan bahwa semua teologi mempunyai konteks, kepentingan, relasi kekuasaan, minat tertentu.

Hal senada diutarakan Bevans bahwa setiap teologi memiliki keterlekatan dengan konteks di mana ia menyatakan bahwa “Sebagaimana yang kita pahami tentang teologi dewasa ini, maka kontekstualisasi merupakan bagian dari hakikat terdalam teologi itu sendiri.” Bahkan bagi Bevans, tidak ada sesuatu yang disebut teologi; yang ada hanyalah teologi kontekstual: teologi feminis, teologi hitam, teologi pembebasan, teologi Filipina, teologi Asia-Amerika, teologi Afrika, dll.

Eka Darmaputera, salah seorang Teolog Protestan di Indonesia juga sejalan dengan pendapat di atas. Bagi Darmaputera, teologi kontekstual adalah teologi itu sendiri. Hal ini berarti bahwa teologi hanya dapat disebut sebagai teologi apabila ia benar-benar kontekstual. Lebih lanjut dijelaskannya bahwa pada hakikatnya teologi dari upaya untuk merumuskan penghayatan iman kristiani pada konteks ruang dan waktu yang tertentu.

Teologi kontekstual tidak terpisah dari definisi umum tentang teologi di atas, namun disadari pula bahwa teologi kontekstual itu relatif baru muncul dalam wacana teologis. Istilah kontekstualisasi ini diperkenalkan oleh Theological Education Fund pada tahun 1972. Kontekstualisasi menggantikan pemakaian istilah indigenisasi yang dianggap terlalu sempit dan hanya berorientasi pada masa lalu. Sementa itu, di Indonesia, istilah kontekstualisasi mulai dipakai dalam perbincangan teologis pada tahun 1980-an. Mulanya, istilah ini lebih sering dipakai oleh kalangan Protestan daripada Katolik. Selain itu, tampaknya pemakaian istilah ini merupakan buah inisiatif orang perorangan. Hingga akhirnya pada tahun 2002, kalangan Protestan dan Katolik bersama-sama dalam suatu lokakarya di Yogyakarta berbagi pengalaman dalam mengupayakan teologi yang kontekstual.

Bertolak dari definisi teologi sebagai fides quaerens intellectum, teologi kontekstual adalah iman yang mencari pemahaman dalam suatu konteks. Menyitir Budi Kleden, teologi kontekstual adalah usaha untuk merumuskan dan menjawab pertanyaan Tuhan sudah mengatakan apa dan berbuat apa di dalam konteks tertentu dan Dia hendak mengatakan apa dan melakukan apa terhadap konteks tertentu. Jika teologi tradisional memahami teologi sebagai refleksi iman menyangkut dua loci theologici, yaitu Kitab Suci dan tradisi, maka teologi kontekstual adalah pengakuan akan keabsahan locus theologicus yang lain, yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Sementara itu, pengalaman manusia tidak terlepas dari suatu budaya. Dengan demikian, locus theologicus yang lain itu tidak lain dari budaya setempat.

Teologi Kontekstual sebagai Imperatif Teologis

Sudah lama Schreiter telah mengamati pergeseran bahwa refleksi teologi sebagai refleksi orang Kristen terhadap Injil dalam terang situasinya masing-masing tetaplah sama, tetapi kini perhatiannya lebih terfokus pada bagaimana situasi-situasi membentuk tanggapan terhadap Injil. Sasaran mengindahkan konteks dalam membentuk tanggapan terhadap Injil diarahkan untuk menjawabi kebutuhan dan sekaligus menegaskan tanggung jawab orang Kristen akan tanggapan terhadap Injil. Dengan demikian, tanggapan terhadap Injil menjadi lebih konkret dan sehidup mungkin.

Seturut pemahaman baru ini, refleksi teologis menyadari bahwa semua teologi mempunyai konteks tertentu. Jika upaya teologis tidak dimulai dengan analisis awal terhadap konteks, maka teologi dapat dengan mudah menjadi tidak relevan atau menjadi alat terselubung bagi manipulasi teologi. Disinyalir bahwa ketika konteks menjadi awal dari refleksi teologis, maka komunitas lokal akan jauh lebih bertanggung jawab dalam menanggapi konteks. Maka, prosedur teologi yang diikuti adalah pola-pola produksi makna dalam suatu konteks budaya tertentu.

Bagi Bevans, teologi kontekstual bukan melulu suatu pilihan yang bersifat fakultatif, bukan pula merupakan minat dan perhatian dunia ketiga melainkan sebuah imperatif teologis. Teologi kontekstual adalah suatu imperatif teologis. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang dikategorikan Bevans dalam dua faktor yaitu faktor eksternal dan internal. Keberadaan faktor-faktor eksternal, di luar iman kristiani, mendesak faktor-faktor internal untuk memperhatikan kemungkinan dan keniscayaan berteologi secara kontekstual. Pada akhirnya, faktor-faktor internal itulah yang jauh lebih penting sehingga berteologi menurut konteks merupakan sebuah imperatif kategoris.

Ada pun faktor-faktor eksternal menurut Bevans adalah pertama, ketidakpuasan pendekatan klasik terhadap teologi baik pada Dunia Pertama maupun Dunia Ketiga. Kedua, ciri opresif dari teologi klasik. Ketiga, bertumbuhnya jati diri Gereja lokal. Keempat, pemahaman tentang kebudayaan yang disediakan oleh ilmu-ilmu kontemporer. Sementara itu, faktor-faktor internal yang menjadikan berteologi secara kontekstual sebagai imperatif teologis adalah pertama, ciri inkarnatif agama Kristen; kedua, ciri sakramental dari realitas; ketiga, pergeseran dalam pemahaman tentang hakikat pewahyuan ilahi; keempat, ciri katolisitas Gereja, dan kelima, doktrin Trinitas.

Dalam konteks Indonesia, kebutuhan untuk berteologi secara kontekstual juga mendesak. Eka Darmaputera mengakui bahwa perubahan sosial budaya tentu memberi pengaruh kepada warga Gereja. Di pihak lain, teologi warisan lama tidak berfungsi lagi. Dengan demikian, teologi hanya berfungsi jika ia kontekstual atau teologi tidak akan berfungsi karena ia tidak kontekstual. Menyimak E. G. Singgih, kontekstualisasi menjadi urgen, agar orang Kristen memahami dirinya dalam situasi yang riil dan konkret supaya dengan demikian dan pada waktu yang sama karyanya riil dan konkret pula. Selain itu, senada dengan apa yang dikemukakan oleh Eka Darmaputera, Singgih mengakui bahwa kebutuhan akan kontekstualisasi dilatari oleh interaksi antara budaya tradisional dan modern, tekhnologi dan sekularisasi yang membawa perbenturan dan perubahan-perubahan terhadap nilai-nilai yang berhubungan dengan martabat manusia.

Penekanan konteks budaya dalam pergumulan teologis bagi Eka Darmaputera merupakan kekhasan teologi yang dikembangkan oleh teolog Asia. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Federation of Asian Bishops’ Conferences (FABC). Bagi FABC, evangelisasi dalam konteks Asia terungkap dalam dialog rangkap tiga, yaitu dialog dengan kaum miskin, dengan kebudayaan-kebudayaan dan dengan agama-agama. Theological Advisory Commission FABC mengutip pleno pertama FABC tentang Gereja lokal demikian, “Gereja menjelma ke dalam satu bangsa, satu Gereja pribumi dan terinkulturasi. Secara konkret hal ini berarti satu Gereja yang berdialog secara kontinyu, rendah hati dan dalam cinta kasih dengan tradisi dan kebudayaan yang hidup.”

Mengutip John Prior, sebagai akibat dari goncangan budaya, yaitu tubruknya kebudayaan-kebudayaan lokal dan kebudayaan global-pasca modern, maka soal jati diri pribadi, kelompok dan masyarakat begitu menjadi relevan dewasa ini. Goncangan budaya ini memposisikan manusia sebagai kaum marjinal dari sisi budaya. Dengan demikian, teologi kontekstual hadir untuk menemukan Yesus Kristus dalam konteks-konteks yang paling berpengaruh pada kehidupan pribadi, jemaat dan masyarakat dalam tradisi iman yang diyakini. Di sini, teologi tidak terdiri dari proses pengulangan akan yang pernah ada. Selain itu, teologi bukan sekadar proses yang melepaskan begitu saja apa yang kita terima dari budaya di mana kita lahir dan dengan begitu saja mengambil alih kebudayaan yang kebetulan dominan.

Dari pandangan-pandangan di atas, tampak bahwa persoalan menyangkut jati diri menempatkan teologi kontekstual sebagai imperatif teologis. Salah satu hal yang patut disadari bahwa zaman ini ditandai oleh meningkatnya interkoneksi dan interdependensi. Di sini, perjumpaan antara yang lokal dengan yang global menjadi suatu hal yang biasa terjadi dewasa ini. Hal ini telah membuat manusia terpinggirkan secara kultural. Di sini, teologi kontekstual hadir untuk merefleksikan imannya dalam konteks demi penguatan jati diri pribadi, kelompok dan masyarakat.

Rambu-Rambu dalam Melakukan Teologi Kontekstual

Dalam melakukan teologi kontekstual, Eka Darmaputera menggarisbawahi beberapa rambu yang mesti diperhatikan, yakni pertama, teologi kontekstual hendaknya dilakukan dalam model inter-disipliner; kedua, teologi kontekstual harus mampu merumuskan core dari jati diri kristiani; dan ketiga, perumusan core jati diri kristiani harus diuji oleh ortodoksi (apakah hasil pergumulan itu masih dapat disebut Kristen) dan relevansi (apakah pergumulan itu cukup fungsional bagi konteks sekarang dan masa depan yang dapat diperhitungkan). Relevansi ini hendaknya mendukung tugas kenabian, imamat dan rajawi setiap orang Kristen sehingga kita bisa bersikap positif, kritis, kreatif dan realistis.

Berpijak pada De Mesa dan Wostyn, Bevans menyodorkan beberapa kriteria untuk melakukan teologi kontekstual, pertama, tentang ortodoksi. Ortodoksi berarti bahwa rumusan teologi kontekstual harus berkiblat pada dalil religius yang mendasar dari pewartaan Kristen, yaitu Allah adalah kasih. Di sini, rumusan yang bertolak belakang dengan dalil religius ini bukanlah bentuk teologi kontekstual. Kedua, berkaitan dengan ortopraksis. Ini berarti bahwa semua tindakan yang bertentangan dengan Kristianitas bukanlah teologi kontekstual. Dengan kata lain, teologi kontekstual harus menampilkan tindakan yang sesuai dengan jati diri kristiani. Ketiga, penerimaan secara tepat oleh Umat Allah. Teologi merupakan ciptaan Gereja secara keseluruhan dan ketika Gereja menerima sebuah ajaran teologis, maka diyakini bahwa sensus fidelium berlaku di sini.

Selain De Mesa dan Wostyn, Schreiter juga mengajukan beberapa kriteria untuk kesejatian teologi lokal, yakni pertama, rumusan teologi harus memiliki konsistensi internal; kedua, ungkapan yang benar dari rumusan teologi harus dapat diterjemahkan dalam kebaktian; ketiga, semboyan yang mesti dipegang adalah “dari buahnya kamu akan mengenal mereka” (Mat 7:16). Artinya sama dengan kriteria yang dikemukakan oleh De Mesa dan Wostyn, yaitu bahwa teologi kontekstual harus menampilkan tindakan yang sesuai dengan jati diri kristiani. Keempat, sebuah teologi lokal yang sedang berkembang harus terbuka terhadap kritik Gereja-Gereja lain. Di sini, teologi kontekstual selalu merupakan proses dialogal dengan Gereja-Gereja lain. Kelima, suatu teologi harus memiliki sumbangsih untuk berdialog dengan teologi-teologi yang lain.
Rumusan teologi tak terkecuali teologi kontekstual harus memiliki konsistensi internal dan relevansi eksternal. Ketika refleksi teologis itu bertentangan dengan jati diri kristiani, maka hal tersebut bukanlah rumusan teologi. Jika rumusan teologi itu memiliki konsistensi internal, maka rumusan teologi itu pasti memiliki relevansi eksternal. Maka, kasih itu mesti selalu diterima sebagai pengalaman konkret dan hal itu hanya mungkin, jika teologi memiliki konsistensi internal. Demikianlah, dua hal ini mesti menjadi pegangan dalam setiap pergumulan teologis.

Refleksi Model Antropologis

Pengandaian Dasar Model Antropologis

Dalam kontekstualisasi teologi, menurut Bevans model dialog yang sungguh prihatin dengan persoalan jati diri budaya adalah model antropologis. Schreiter juga telah melihat model kontekstualisasi seperti ini dan dia menamakannya sebagai model etnografis. Di sini, meskipun model ini diberi nama berbeda, namun kedua teolog sama-sama menyatakan bahwa kontekstualisasi teologi yang sungguh-sungguh mengindahkan jati diri budaya sejatinya tidak dimulai dari tradisi Kristen tetapi harus bertolak dari konteks masyarakat setempat.

Schreiter menyatakan bahwa kekuatan utama model ini adalah cara berteologi yang dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang dimiliki masyarakat. Dengan kata lain, model ini memulai dialog dengan tradisi Kristen yang dengannya tradisi tersebut dapat membahas pertanyaan-pertanyaan yang sungguh diajukan oleh keadaan setempat ketimbang pertanyaan-pertanyaan yang telah dibahas oleh tradisi Kristen di masa lampau. Bevans merumuskan hal ini dengan mengutip satu kelompok penasihat Oxford untuk Komisi Dunia dari Dewan Gereja-Gereja Sedunia yang bersidang pada tahun 1990 yang menyatakan bahwa kita dipanggil untuk mempelajari suara-suara asing dan kadang-kadang kala ofensif yang ada di dalam berbagai lingkup budaya, tidak saja dengan tujuan untuk menempuri atau mempertobatkan mereka, tetapi juga belajar dari mereka serta memperdalam berbagai wawasan dan pemahaman kita tentang injil.

Ada beberapa pengandaian kunci dari kontekstualisasi model antropologis/ etnografis ini. Pertama, perhatian utama model ini adalah kodrat manusia, dan karena itu konteks manusia adalah baik, kudus dan berharga di mana di sana akan ditemukan pewahyuan ilahi. Tugas seorang teolog adalah mencari dan menemukan Allah yang mewahyukan diri dalam tiap agama dan kebudayaan. Di sini, Firman Allah tersembunyi dalam tiap kebudayaan. Oleh karena itu, Kitab Suci dipahami sebagai produk pengalaman-pengalaman religius yang dibentuk secara sosial dan kultural. Demikian pula rumusan-rumusan doktrinal tidak dilihat sebagai kata-kata yang secara langsung turun dari surga, tetapi selalu terbentuk oleh rupa-rupa kebudayaan dan kepentingan sosial-politik.

Kedua, kontekstualisasi model ini terinspirasi oleh teologi penciptaan. Terinspirasi oleh teologi penciptaan, model ini menganggap pengalaman manusia pada umumnya dan kebudayaan pada khususnya sebagai ajang kehadiran Allah dalam situasi tertentu. Mengutip bahasa Gerard Manley Hopkins, Bevans melihat bahwa model ini menyakini ciptaan merupakan pemenuhan kemuliaan dan keagungan Allah.

Ketiga, model ini bertolak dari kebudayaan, entah religius atau sekuler, dengan penekanan pada hal-hal yang sangat khas pada tiap kebudayaan. Hal ini akan berpengaruh dalam pemahaman tentang inkulturasi di mana kebudayaan diterima sebagai salah satu hal yang membentuk cara agama Kristen merumuskan diri. Keunikan yang dimiliki setiap kebudayaan harus diperhatikan dan bukannya keserupaan yang dimiliki setiap kebudayaan. Kemudian, oleh karena manifestasi kebudayaan terdapat dalam subjek budaya yang biasa, orang-orang kebanyakan, maka pelaku kontekstualisasi adalah umat. Peran praktisi teologi adalah bidan yang membantu kelahiran sebuah teologi sekaligus sebagai perumus, yang mentematisasi teologi-teologi yang lahir dari pergulatan dengan pengalaman praktis. Agar sungguh berhasil dalam tugas tersebut, seorang praktisi teologi harus menjadi partisipan atau seorang yang memiliki simpati yang sejati terhadap situasi atau kebudayaan yang bersangkutan.

Keempat, model ini menggunakan analisis “metalinguistik” atas bahasa. Bevans menandaskan bahwa dalam sebuah bahasa akan ditemukan cara suatu bangsa atau kebudayaan memandang dunia. Meskipun tidak semua sistem budaya dapat dipahami melalui metode linguistik, namun Schreiter juga tetap mengakui bahwa metode linguistik merupakan salah satu cara untuk memahami budaya. Tak dapat dipungkiri bahwa bahasa merupakan produk budaya. Dengan demikian, praktisi model ini akan memahami budaya melalui analisis terhadap bahasa dalam budaya setempat.

Kelima, model antropologis mengandaikan dialog antaragama, terutama dengan agama-agama asli, atau juga praktik-praktik doa dan religius yang berakar kuat dalam suatu masyarakat. Untuk mengabsahkan pengandaian ini, Bevans mengutip pernyataan para uskup Asia Timur tentang bagaimana inkarnasi bisa digalakkan untuk mengembangkan sebuah spiritualitas Asia Timur, yakni dengan mengindahkan unsur-unsur dalam kebudayaan Timur, seperti asketisme, ajaran dan praktik etika Cina klasik, metode-metode meditasi dan doa Timur.

Implikasi Model Antropologis: Menyulam Warna Khas Gereja lokal

Isi Teologi: Gereja lokal sebagai Perjumpaan Dua Jati Diri yang Otonom

Refleksi antropologis menyadarkan bahwa Gereja lokal merupakan perjumpaan antara dua jati diri yang otonom. Perjumpaan antara dua entitas otonom tersebut berujung pada pembaruan jati diri masing-masing. Keyakinan ini hampir serupa dengan keyakinan FABC. Bagi FABC injil dan kebudayaan adalah dua realitas yang masing-masing memiliki otonomi yang sah dan jati diri yang khas.

Pada pihak budaya, mesti disadari bahwa nilai-nilai budaya merupakan suatu kenyataan sosial dan sejarah dan karena itu tak satu pun yang benar atau salah hanya karena hal itu terjadi di dalam budaya tertentu. Bahwa nilai-nilai budaya dapat diuji dan dikritik dan oleh sebab itu, dialog tidak berarti menghilangkan nilai-nilai budaya yang tidak relevan dengan jati diri kristiani. Tetapi perjumpaan itu, harus menjadikan nilai-nilai budaya sebagai jalan untuk mencapai keselamatan. Dengan demikian dialog bukanlah sekadar mencari paralelisme dari satu budaya ke budaya yang lain atau dari jati diri kristiani ke jati diri budaya. Dialog diarahkan untuk menemukan sesuatu yang lebih bermakna dalam pola-pola yang membentuk jati diri budaya.

Di pihak lain, jati diri kristiani bukanlah suatu format atau barang siap pakai dan karena itu menjadi patokan untuk merangkul nilai budaya yang selaras dengannya. Tetapi, keselamatan sebagai jati diri kristiani dalam perspektif dialog adalah proses kreatif untuk menemukan kehendak Allah yang berbicara dalam setiap budaya. Oleh karena itu, keselamatan adalah sesuatu yang khas seturut konteks di mana ia bertumbuh dan berkembang. Dalam rumusan Bevans, pewahyuan bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit, melainkan pernyataan kehadiran Allah di dalam kehidupan manusia dan di tengah masyarakat manusia.

Perjumpaan dua jati diri yang otonom itu akan menghasilkan sebuah kekhasan Gereja lokal yang autentik. Berkat perjumpaan tersebut, kebudayaan akan disinari Sabda sehingga memungkinkan budaya itu memyembuhkan luka-lukanya sekaligus mengangkat budaya itu benar-benar menjadi jalan yang menghantar setiap pribadi untuk mengalami dan memperoleh keselamatan. Di pihak lain, pemahaman tentang Gereja lokal akan diperkaya dan dibentuk oleh kebudayaan di mana Gereja lokal itu bertumbuh dan berkembang.

Sebelum Konsili Vatikan II, merujuk M. Amaladoss sebagaimana diuraikan Wilhelm Dj. Conterius, fokus karya misi pada masa itu adalah keselamatan jiwa-jiwa. Ada pun keyakinan populer masa itu adalah orang-orang yang tidak dibaptis tidak akan diselamatkan. Maka, karya misi tidak lain adalah membaptis orang sebanyak mungkin. Lebih jauh, karya misi berujung pada penanaman Gereja di mana Gereja dilihat sebagai pencangkokan dari struktur-struktur yang ada.

Dengan menggunakan model antropologis, maka dalam refleksi teologi mesti disadari bahwa bukan hanya jati diri kristiani yang otonom tetapi juga jati diri budaya setempat juga otonom. Hal ini mendorong terjadinya kontekstualisasi dwiarah, di mana karya pewartaan tidak dihayati sebagai pencangkokan dari luar. Budaya diakui sebagai jalan yang bisa menghantar orang kepada keselamatan, karena Allah menciptakan dan sudah berkarya dalam setiap budaya. Dengan demikian, teologi ini mengedepankan karya misi sebagai perjumpaan jati diri budaya dan jati diri kristiani di mana dua jati diri yang bertemu akan saling diperbarui dan diperkaya. Konsekwensi lanjut dari perjumpaan tersebut adalah terbentuknya suatu Gereja lokal yang konkret sesuai dengan kekhasan budaya setempat.

Salah satu tesis tentang Gereja lokal yang disodorkan oleh Theological Advisory Commission FABC adalah
Sebuah Gereja lokal lahir dan dibangun melalui pertemuan yang mendalam dan saling memperkaya antara Injil dan satu bangsa yang memiliki kebudayaan dan tradisi yang khas. Dalam bahasa teologi dan Magisterium Gereja dewasa ini, hal tersebut dikenal sebagai inkulturasi. Inkulturasi tidak hanya terjadi dalam pengungkapan Injil dan iman kristiani melalui medium kebudayaan tetapi mencakup juga upaya mengalami, mengerti, dan menyesuaikan Injil dan iman melalui sumber daya budaya satu bangsa. Sebagai akibatnya, bentuk konkret Gereja lokal akan dikondisikan oleh kebudayaan pada satu pihak dan pada pihak lain kebudayaan dievangelisasi oleh kehidupan dan kesaksian Gereja lokal.

Dalam penjelasan lebih lanjut tentang tesis tersebut, dijelaskan bahwa Injil dan kebudayaan merupakan dua realitas yang masing-masing memiliki otonomi yang sah dan jati diri yang khas. Di satu sisi, setiap kebudayaan atas caranya yang khas menyatakan kekayaan manusia. Dengan demikian, tidaklah dibenarkan kebudayaan dijadikan sebagai satu sarana untuk mencapai tujuan lain. Hal ini sejalan dengan apa yang diyakini oleh Konsili Vatikan II tentang otonomi hal-hal duniawi yang sewajarnya di mana dikatakan:
Sebab berdasarkan kenyataannya sebagai ciptaan segala sesuatu dikaruniai kemandirian, kebenaran dan kebaikannya sendiri, lagi pula menganut hukum-hukum dan mempunyai tata-susunannya sendiri. Dan manusia wajib menghormati itu semua… (GS 36)

Pada pihak lain, keselamatan sebagai jati diri kristiani juga otonom. Injil dan pewartaannya tidak identik dan bergantung pada kebudayaan. Keselamatan dalam Yesus bersifat unik dan universal sebagaimana ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Ecclesia in Asia (EA) 14, sebagai berikut:
Kita imani, bahwa Yesus Kristus, Allah sejati dan manusia sejati, ialah satu-satunya Sang Penyelamat, sebab Dia sendiri – Sang Putera – melaksananakan rencana universal penyelamatan oleh Bapa. Sebagai penampakan definitif misteri cinta kasih Bapa akan semua orang, Yesus sungguh unik dan justru sifat unik Kristus itulah yang memberi-Nya relevansi mutlak dan universal, sementara – karena termasuk sejarah – Ia tetap pusat dan tujuan sejarah.

Dalam refleksi antropologis, jati diri budaya dilihat sebagai entitas otonom dalam berhadapan dengan jati diri kristiani. Karen itu, dalam upaya penguatan kekhasan Gereja lokal, jati diri budaya dan jati diri kristiani sejatinya dilihat sebagai dua entitas otonom. Dengan mengakui otonomi masing-masing jati diri, maka perjumpaan tidak diarahkan untuk saling mendominasi. Tanpa penghargaan terhadap yang lain, perjumpaan itu tidak akan mencapai hasil yang diharapkan dan dengan demikian iman akan Yesus Kristus akan tetap dilihat sebagai sesuatu yang berasal dari luar. Dengan kata lain, tanpa adanya pengakuan akan otonomi masing-masing jati diri, pembicaraan tentang dialog menjadi tidak mungkin.

Tindakan Teologi: Umat Allah sebagai Pelaku Dialog

Bagi Fransisco F. Claver, proses inkulturatif merupakan integrasi antara iman dan budaya dan oleh karena itu, aktor utama dalam proses itu adalah umat dan Roh. Dengan demikian, proses inkulturasi tidak lain adalah memberikan kesempatan kepada umat untuk berdialog dengan Roh. Dengan merujuk Rahner, Lonergan dan Gutierrez, Bevans berpendirian bahwa teologi sebenarnya tidak dilakukan oleh para pakar dan kemudian menetes ke bawah agar digunakan umat. Bevans melanjutkan, “apabila teologi hendak mengangkat ihwal kebudayaan dan perubahan kebudayaan sungguh-sungguh, maka teologi mesti dipahami sebagai sesuatu yang dilakukan secara paling penuh oleh subjek-subjek dan pelaku-pelaku kebudayaan termaksud.” Dalam rumusan Schreiter, teologi itu dilakukan oleh komunitas orang yang percaya. Dengan demikian, proses teologi sejatinya adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan dalam suatu komunitas beriman.

Ketika teologi mengindahkan pelaku budaya atau umat, hal itu tidak berarti kehadiran teolog profesional ditampik. Sumbangsih teolog profesional adalah membahasakan secara jelas apa yang diungkapkan umat secara umum atau kabur, memperdalam gagasan-gagasan umat dengan menyiapkan bagi mereka khazanah kekayaan tradisi Kristen serta menantang mereka untuk memperluas horizonnya dengan menampilkan kepada mereka keseluruhan pengungkapan teologi Kristen. Dalam rumusan Leonardo Mercado yang dikutip Bevans, umat adalah pelaku kontekstualisasi yang terbaik dan peran para teolog ialah bertindak sebagai seorang bidan bagi umat ketika mereka melahirkan sebuah teologi yang sungguh-sungguh berakar di dalam sebuah kebudayaan dan pada sebuah momen historis tertentu.

Kontekstualisasi teologi tidak lain merupakan suatu proses dialog dengan memberi kesempatan yang sama kepada umat dan teolog profesional. Dalam dialog tersebut, umat mengungkapkan imannya dalam konteks tertentu dan teolog profesional merumuskan dan memperdalamnya dengan pengetahuan yang lebih luas sesuai dengan tradisi Kristen dan mungkin juga pengungkapan iman dalam konteks-konteks yang lain. Tentang kontekstualisasi teologi sebagai proses dialog, Schreiter menulis: “Mengabaikan sumber-sumber teolog profesional berarti lebih memilih kebodohan dari pada pengetahuan. Tetapi membiarkan teolog profesional mendominasi pengembangan suatu teologi lokal tampaknya memperkenalkan suatu hegemoni baru ke dalam komunitas-komunitas ….”

Perjumpaan antara jati diri budaya dan jati diri kristiani terjadi pada pribadi-pribadi di dalam suatu komunitas tertentu. Di sini, dialog yang autentik tentu akan berujung pada terbentuknya jati diri pribadi yang autentik pula. Hal ini sejalan dengan pandangan eklesiologis Konsili Vatikan II yang memahami Gereja sebagai Umat Allah. Dengan demikian, dialog antara jati diri budaya dan jati diri kristiani sejatinya adalah proses kreatif yang memungkinkan terbentuknya jati diri Umat Allah yang beriman dan berbudaya.

FABC berpegang teguh bahwa pelaku dialog adalah Umat Allah. Dalam rumusan Theological Advisory Commission FABC dikatakan bahwa jemaat Kristen merupakan subjek aktif inkulturasi yang terjadi dalam segala aspek kehidupan, kesaksian dan misi Kristen. Setidaknya dua alasan yang mendasari pendirian ini:
Pertama, karena Gereja adalah satu persekutuan. Oleh sebab itu, semua golongan umat harus atas salah satu cara mengambil bagian dalam segala aktivitas Gereja. Kedua, inkulturasi merupakan sesuatu yang integral. Inkulturasi mempengaruhi setiap aspek kehidupan dan misi Kristen. Jadi, inkulturasi murni tidak dapat dilaksanakan semata-mata melalui karya kelompok elit atau para ahli.

Pendirian FABC ini kembali ditegaskan Fransisco F. Claver dalam Sinode Para Uskup Tentang Asia pada tahun 1998. Bagi Claver, umat adalah pelaku budaya karena budaya merupakan cara khas mereka untuk menjadi manusia, Roh Kudus adalah pemberi dan sumber iman dan iman adalah suatu hadiah cuma-cuma. Jika, proses inkulturatif adalah integrasi antara iman dan budaya, maka aktor utama dalam proses itu adalah umat dan Roh. Dengan demikian, proses inkulturasi tidak lain adalah memberikan kesempatan kepada umat untuk berdialog dengan Roh.

Umat Allah sebagai pelaku dialog juga sangat jelas tertuang dalam Ecclesia in Asia, yang menyatakan:
Termasuk tugas para pastor, berkat kekuatan karisma mereka, memandu dialog itu disertai penegasan rohani. Begitu pula, pakar-piawai dalam ilmu-pengetahuan sakral maupun sekular harus memainkan peran yang penting dalam proses inkulturasi. Tetapi proses harus melibatkan seluruh Umat Allah, sebab hidup Gereja secara keseluruhan harus menampakkan iman, yang diwartakan dan disesuaikan dengan situasi.

Jelaslah, bahwa Gereja Asia begitu konsisten untuk memberi ruang kepada Umat Allah sebagai pelaku dialog. Dengan demikian, dalam simposium tentang evangelisasi di Asia dalam terang Ecclesia in Asia, FABC kembali menegaskan bahwa inkulturasi merupakan suatu proses komunitas yang meliputi seluruh Umat Allah.
Dialog yang memungkinkan terbentuknya jati diri pribadi yang berbudaya dan beriman adalah dialog yang melibatkan Umat Allah bukan hanya sekelompok orang dalam Tubuh Gereja. Proses dialog antara jati diri budaya dan jati diri kristiani bukanlah suatu komando terstruktur dari Gereja sebagai institusi. Proses itu adalah proses alamiah yang terjadi dalam konteks Umat Allah.

Salah satu persoalan yang seringkali muncul adalah tegangan antara kebenaran dogmatis dengan relativisme. Berhadapan dengan tantangan ini, para pelaku dialog mesti melakukan analisis yang memadai terhadap realitas budaya sembari membiarkan Roh Allah berkarya. Dari pihak Gereja sebagai institusi, Umat Allah diberi ruang untuk berkreasi dan menghindari hal-hal yang membuat pewartaan terkesan kaku. Ketika kreasi sang pewarta dibatasi oleh kerangkeng “menjaga otoritas”, maka dialog tak akan terlaksana. Dengan kata lain, amatlah tidak mudah bagi pelaku dialog (pewarta) berkreasi dalam situasi kerangkeng/tertekan. Sementara itu, pelaku dialog hendaknya memanfaatkan ruang yang ada sekreatif mungkin.

Perhatian Berimbang Terhadap Jati Diri Budaya dan Jati Diri Kristiani

Kecenderungan yang mengintai karya pewartaan adalah menjadikan salah satu jati diri superior terhadap yang lain. Refleksi antropologis diarahkan untuk memperhatikan secara seimbang kedua belah pihak. Bukan tidak mungkin bahwa jati diri kristiani tidak superior terhadap jati diri budaya.

Inspirasi untuk memperhatikan secara seimbang jati diri kristiani dan jati diri budaya dapat ditemukan dalam AG 11. Dalam dokumen ini, Bapa-Bapa Konsili meyakini bahwa hanya dalam dan melalui dialog, umat kristiani akan menghargai situasi yang khas di suatu tempat dan serentak semakin intensif merindukan kebenaran dan cinta kasih yang diwahyukan oleh Allah. Tentang perhatian berimbang ini, RM 39 merumuskan bahwa semua bentuk kegiatan misioner ditandai dengan suatu kesadaran bahwa orang memajukan kebebasan manusia dengan mempermaklumkan Yesus Kristus.

Perhatian berimbang di sini tidak dimaksudkan bahwa Injil dan pewartaannya identik atau sama dengan kebudayaan. Selain itu, hal tersebut tidak dimaksudkan bahwa harus ada pemisahan antara Injil dan kebudayaan. Hubungan sejati antara Injil dan kebudayaan ini telah diungkapkan oleh Paus Paulus VI sebagaimana dikutip oleh Amalorpavadas, sebagai berikut:

Injil dan karena itu evangelisasi jelas tidak identik dengan kebudayaan dan keduanya (Injil dan evangelisasi) independen terhadap semua kebudayaan. Namun demikian, Kerajaan Allah yang diwartakan Injil itu dihayati oleh manusia yang berkaitan erat sekali dengan suatu kebudayaan dan pembangunan Kerajaan Allah itu tidak dapat terhindar dari penggunaan unsur-unsur kebudayaan manusia. Kendati terlepas dari kebudayaan-kebudayaan, Injil dan evangelisasi itu tidak harus bertentangan dengan kebudayaan-kebudayaan. Injil dan kebudayaan cukup mampu untuk saling meresapi tanpa saling menguasai.

Pemisahan antara Injil dan kebudayaan jelas merupakan suatu drama pada masa kini sebagaimana hal itu terjadi pada masa-masa lain. Karena itu, kita harus berusaha sekuat tenaga untuk menjamin evangelisasi kebudayaan atau lebih tepat kebudayaan-kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan itu harus dilahirkan kembali dalam suatu pertemuan dengan Injil. Namun, pertemuan ini tidak akan terjadi kalau Injil tidak diwartakan (EN 20).

Perhatian berimbang di sini adalah pengakuan sekaligus penegasan akan keistimewaan masing-masing jati diri kristiani dan jati diri budaya. Dalam keistimewaan masing-masing, dua jati diri ini berdialog sehingga kedua-duanya saling diperbarui dan diperkaya demi kepenuhan martabat manusia sebagai Imago Dei. Mengutip Kirchberger, sikap dasar bagi dialog autentik adalah kerelaan untuk memperhatikan dengan sungguh posisi dan pandangan yang berbeda serta keterbukaan terhadap perbedaan itu. Dengan demikian, kontekstualiasi teologi dalam upaya penguatan kekhasan Gereja lokal sejatinya didasari oleh ketetapan hati untuk mengakui dan serentak memperhatikan secara seimbang jati diri budaya dan jati diri kristiani yang memiliki kekhasan dan kekayaan masing-masing.

Arah Refleksi Teologi Sebagai Pertobatan Dua Sisi

Perjumpaan antara jati diri budaya dan jati diri kristiani pada akhirnya menghantar umat beriman pada pertobatan. Pertobatan sejati yang dimaksudkan di sini adalah Yesus Kristus sungguh mengakar dalam budaya setempat dan di pihak lain budaya setempat semakin diresapi oleh semangat Injil. Diakui bahwa hal ini tidak mudah tercapai. Sebagaimana yang dikatakan oleh Schreiter, pertobatan bukanlah proses sekali jadi. Dengan kata lain, pertobatan adalah suatu proses berkesinambungan dan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Dalam bagian akhir bukunya, Schreiter menulis:

Proses pertobatan … adalah jauh lebih lambat daripada yang pertama kita duga. Sementara komitmen sungguh-sungguh dan tulus dapat dilakukan pada pihak yang dibaptis, ada banyak faktor lain yang terlibat, yang membutuhkan lebih banyak waktu untuk memecahkan dan memadukannya ke dalam suatu budaya. Dengan demikian, apa yang tampak sebagai sinkretisme atau sistem berganda mungkin hanyalah cerminan dari tahap-tahap proses pertobatan.

Pertobatan sejati akan menjadikan Kristus bukan lagi sebagai yang asing dari ziarah kaum beriman dan dengan demikian tidak menghantar umat pada jati diri yang ambigu. Iman akan Kristus sejatinya tidak mungkin membuahkan jati diri yang timpang. Semakin mereka beriman pada Kristus, maka mereka pun semakin mengakar dalam konteks budayanya. Dengan demikian, pertobatan kiranya terinspirasi dan berorientasi pada makna perjumpaan yang sejati antara jati diri budaya dan jati diri kristiani. Melalui refleksi antropologis, pergumulan teologis diarahkan untuk merevitalisasi jati diri budaya dan redefinisi simbol keselamatan seturut konteks budaya yang selaras jaman.

Revitalisasi Jati Diri Budaya

Komitmen Gereja lokal untuk melanjutkan karya pertobatan bukan sekadar tawaran atau pilihan melainkan didasarkan pada hakikat Gereja itu sendiri. Gereja bukan hanya dipahami sebagai misteri tetapi juga sebagai fakta historis. Mengakui Gereja sebagai fakta historis berarti mengakui keberadaan budaya dan serentak menjadikan budaya sebagai jalan untuk mencapai keselamatan. Karena itu, berhadapan dengan realitas ketimpangan jati diri budaya, Umat Allah tak dapat dibenarkan untuk mengurung diri dalam keheningan Gereja. Namun, sebelum melihat lebih jauh tentang bagaimana Umat Allah dalam menghadapi ketimpangan jati diri budaya, pertanyaan yang mesti diindahkan terlebih dahulu adalah apakah berbicara tentang jati diri budaya masih relevan pada era globalisasi ini?

Menjawabi pertanyaan tersebut, hal pertama mesti ditegaskan adalah bahwa globalisasi tidak menegasi keberadaan kebudayaan. Berpijak pada definisi Theological Advisory Commission FABC, kebudayaan adalah cara konkret memanusia di dalam suatu bangsa, kelompok atau negara tertentu. Sementara itu, globalisasi dipahami sebagai perjumpaan antara yang lokal dengan yang global dan hal ini ditandai oleh meningkatnya interkoneksi dan interdependensi. Di sini, globalisasi tidak berbicara soal ada atau tidak adanya budaya, melainkan globalisasi hanya berbicara soal perjumpaan antara budaya. Globalisasi mengakui vitalitas posisi budaya sebagai cara konkret memanusia di dunia. Ketika globalisasi berbicara tentang perjumpaan antara budaya, maka terimplisit penegasan globalisasi atas keberadaan budaya.

Tentang inkulturasi dalam konteks Asia, John Prior mengamati bahwa persoalan yang berhubungan dengan jati diri budaya adalah perjumpaan antara jati diri tradisional dengan jati diri budaya modern dan jati diri siber modern. Maka, John Prior menyatakan:
Tantangan bagi inkulturasi ialah kemampuan merancang ulang jati diri kita sebagai orang Asia, juga ketika kita sedang tercabut dari akar-akar budaya kita. Kita ditantang untuk mengakarkan kebudayaan para orangtua dan kebudayaan anak-anak dalam iman bersama, namun masing-masing dengan caranya sendiri.

Redefinisi Simbol Keselamatan dalam Budaya

Simbol merupakan tanda yang menyatakan suatu kebenaran yang tidak tampak. Sesuatu dikatakan sebagai simbol jika ia mengungkapkan suatu kebenaran yang tersembunyi. Merujuk Paul Puthanangady, simbol merupakan bahasa budaya yang bersumber dari suatu persepsi akan realitas dalam totalitasnya: intelektual, emosional dan personal. Di sini, cara pandang suatu kebudayaan umumnya diekspresikan dalam bentuk simbolik. Demikian halnya dimensi religius dalam kebudayaan juga menjadikan simbol sebagai kunci yang membuka pintu pertemuannya dengan Yang Kudus. Boleh dikatakan, bahwa agama tidak mungkin dipikirkan tanpa simbol.

Sumbangan refleksi antropologis dalam pergumulan tentang jati diri kristiani adalah kontekstualisasi simbol keselamatan. Dalam pergumulan tersebut, simbol-simbol budaya setempat dijadikan sebagai sarana untuk memahami dan juga untuk mencapai keselamatan. Upaya ini mutlak diindahkan dalam konteks perjumpaan antara jati diri budaya dan jati diri kristiani. Dengan upaya demikian, di satu sisi nilai budaya diposisikan pada tempat yang tepat, yaitu sebagai media untuk mencapai keselamatan dan di sisi lain jati diri kristiani akan mengakar dalam budaya setempat.

Dalam perspektif dialog, keselamatan adalah proses kreatif untuk menemukan kehendak Allah yang berbicara dalam setiap budaya. Sebagaimana yang telah diuraikan juga bahwa jati diri budaya tertenun dalam jejaring simbol budaya. Sementara itu, keselamatan hanya dapat dipahami melalui simbol. Di pihak lain, simbol-simbol budaya bukanlah sesuatu yang statis melainkan berkembang seturut zaman. Jika demikian, simbol-simbol keselamatan semestinya juga harus sejalan dengan dinamika simbol budaya. Di sini, revitalisasi budaya kiranya juga mendorong niat yang tulus bagi usaha ke arah redefinisi simbol keselamatan dalam budaya.

Redefinisi simbol keselamatan dalam budaya tidak hanya sekadar mengindahkan perubahan dalam budaya tetapi juga menghargai implikasi sosiologis dari simbol-simbol tertentu. Paul Puthanangady menyatakan bahwa beberapa simbol dapat saja kadang-kadang memadai secara intelektual dan tidak berbahaya, tetapi bisa saja diskriminatif secara sosial. Di sini, setiap simbol mesti dipahami dalam konteks budaya sehingga setiap simbol sungguh menjadi bahasa yang dapat berbicara dan menyapa manusia pada zamannya.

Penutup

Dalam pengembangan teologi kontekstual dengan pendekatan refleksi antropologis, budaya diindahkan sebagai entitas otonom. Karena itu, dalam dialog dengan budaya, jati diri kristiani bukanlah suatu format atau barang siap pakai dan menjadi patokan untuk merangkul nilai budaya yang selaras dengannya. Jati diri kristiani dalam perspektif dialog adalah proses kreatif untuk menemukan kehendak Allah yang berbicara dalam setiap budaya. Dialog antara dua jati diri tersebut akan menghasilkan makna baru bagi masing-masing jati diri. Di satu sisi, jati diri budaya akan diperbarui menjadi sarana keselamatan dan jati diri kristiani diperbarui melalui kontekstualisasi simbol keselamatan.

Dialog antara jati diri budaya dan jati diri kristiani akan menghasilkan kekhasan bagi Gereja lokal. Dalam kesatuan dan persekutuan dengan Gereja Universal, umat Allah didorong untuk menggali sumber-sumber daya dan kekayaan sendiri dalam budayanya masing-masing. Dengan demikian, bentuk konkret Gereja lokal akan dikondisikan oleh kebudayaan pada satu pihak dan pada pihak lain kebudayaan dievangelisasi oleh kehidupan dan kesaksian jati diri kristiani. Di situlah letak warna khas pada masing-masing Gereja lokal.

Referensi

Amalorpavadass, D. S. “Injil dan Kebudayaan: Evangelisasi dan Inkulturasi”, dalam Georg Kirchberger (ed.), Gereja Berwajah Asia. Ende: Nusa Indah, 1995, pp. 88-131. 
Bevans, Stephen B. Model-Model Teologi Kontekstual. Maumere: Ledalero, 2002. 
___. Teologi Dalam Perspektif Global. Maumere: Ledalero, 2010. 
Boff, Leonardo. Yesus Kristus Pembebas. Maumere: LPAJ, 2001. 
Claver, Fransisco F. “Inkulturasi Laksana Dialog”, dalam Georg Kirchberger dan John M Prior (eds.), Yesus Kristus Penyelamat, Misi Cinta Dan Pelayanan-Nya Di Asia. Maumere: LPBAJ, 1999, pp. 189-191. 
Costa, Ruy O. “Introduction: Incuturation, Indigenization and Contextualization”, dalam Ruy O. Costa (ed.), One Faith, Many Cultures. United States Of America: Orbis Books and Boston Theological Institute, 1988, pp. ix-xvii. 
Conterius, Wilhelm Dj. Teologi Misi Milenium Baru. Maumere: Ledalero, 2007. 
Darmaputera, Eka. “Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia”, dalam Eka Darmaputera (Peny.), Konteks Berteologi Di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991, pp. 3-19. 
Dokumen Konsili Vatikan II, penerj. R Hardawiryana. Jakarta: Obor, 1993. 
FABC-OE. “Statement Of The Symposium on Evangelization In The Light Of Ecclesia In Asia”, dalam Mario S. Dias (ed.), Evangelization In The Light Of Ecclesia In Asia. Bangalore: Claretian Publications, pp. 307-320. 
Kirchberger, Georg. “50 Tahun Dibukanya Konsili Vatikan II: Reformasi dan Restorasi”, dalam Jurnal Ledalero. Vol. 12, No. 1, Juni 2013, pp. 11-28. 
Kleden, Ignas. “Kemenduaan Nilai Budaya”, dalam Georg Kirchberger dan John M. Prior (eds.), Yesus Kristus Penyelamat, Misi Cinta Dan Pelayanan-Nya Di Asia. Maumere: LPBAJ, 1999, pp. 157-175. 
Kleden, Paul B. “Yang Lain Sebagai Fokus Berteologi Kontekstual Di Indonesia”, dalam Jurnal Ledalero. Vol. 9, No. 2, 2010, pp. 157-175. 
Prior, John M. Berdiri Di Ambang Batas. Maumere: Ledalero, 2008.
___. “Berteologi Dalam Konteks Sekitar Orthoakousis,Orthopraxis dan Orthodoxi”, dalam Jurnal Ledalero. Vol. 3, No. 1, Juni 2004, pp. 71-96.
___. “Epilog: Kurikulum Kontekstual Indonesia”, dalam Jurnal Ledalero. Vol. 9, No. 2, Desember 2010, pp. 212-218. 
__. “Teologi Kontekstual: Apakah Mungkin?”, dalam Jurnal Ledalero. Vol. 9, No. 2, Desember 2010, pp. 145-156. 
Puthanangady, Paul. “Clarifying The Notions Of Culture And Inculturation”, dalam Mario S. Dias (ed.), Rooting Faith In Asia, Source Book For Inkulturation (Bangalore: Claretian Publication, 2005), pp. 243-254. 
_____. “Inculturation Of Liturgy And Sacraments”, dalam Mario S. Dias (ed.), Rooting Faith In Asia, Source Book For Inkulturation. Bangalore: Claretian Publication, 2005, pp. 353-358. 
Schreiter, Robert J. Constructing Local Theologies. London: SCM Press LTD, 1985. 
Singgih, E. G. Berteologi Dalam Konteks. Yogyakarta: Kanisius dan Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
___. Dari Israel Ke Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982. Theological Advisory Commission FABC. “Tesis-Tesis tentang Gereja Lokal: Suatu Refleksi Teologi dalam Konteks Asia”, dalam Georg Kirchberger (ed.), Gereja Berwajah Asia. Ende: Nusa Indah, 1995, 14-87. 
Ule, Silvester. “’Vetera Novis Augere et Perficere’ Memahami Arah Dasar Teologi Bernard J. F. Lonergan”, dalam Berbagi. Vol. 2, No.1, Januari 2013, pp. 124-148. 
Yohanes Paulus II. Gereja Di Asia, penerj. R Hardawiryana. Jakarta: Dokpen KWI, 2001. Yohanes Paulus II. Ensiklik Redemptoris Missio, penerj. Marcel Beding. Ende: Nusa Indah, 1992.

Leave a Comment