Oleh: Timotius J
Praksis iman Gereja bukan lagi sesuatu yang dicangkokkan dari luar melainkan buah dari suatu pergumulan dalam konteks di mana Gereja berada. Dengan demikian, Gereja mampu menemukan jati dirinya sebagai murid-murid Tuhan dalam konteksnya masing-masing.
Nota Pastoral (NP) 2004 menyuarakan perubahan, keadaban publik sebagai habitus baru. Melalui NP ini, Gereja prihatin dengan kondisi bangsa yang kian kronis di mana ruang publik dipenuhi praktik korupsi, kekerasan, dan kehancuran lingkungan. Bagi Gereja, kondisi tersebut merupakan buah dari pergerakan yang tak terkontrol dari tiga poros kekuatan di ruang publik, yaitu negara, masyarakat pasar, dan masyarakat warga. Selain itu, disadari juga bahwa globalisasi turut berandil dalam memperparah kondisi bangsa sebab globalisasi telah dan akan menggoncangkan dan menghilangkan nilai-nilai tradisi.
Dengan harapan akan masa depan yang baru, NP optimis akan lahir dan bertumbunya suatu habitus baru yang bisa menjadi tandingan terhadap situasi di atas. Untuk itu, Gereja harus bertobat dan praksis hidup beriman harus bersumber dan terinspirasi oleh Yesus. Dengan kata lain, praksis hidup beriman harus sungguh menampilkan wajah Yesus. Praksis hidup demikian merupakan suatu budaya tandingan/alternatif yang akan mendorong lahir dan bertumbuhnya suatu keadaban publik. Gereja yakin, hanya dengan budaya tandingan seperti itu, akar-akar korupsi, kekerasan, dan kerusakan lingkungan dapat tercabut dari akar-akarnya.
Himbaun NP ini tampaknya sejalan dengan gerakan inkulturasi Gereja-Gereja Asia. Wacana inkulturasi ini tampaknya berangkat dari pengalaman belum mengakarnya iman kristiani dan serentak terbersit kerinduan untuk merefleksikan dan menemukan wajah Yesus dalam konteks Indonesia. NP tersebut coba mengetengahkan suatu penghayatan iman yang sungguh mengakar dalam konteks Indonesia sehingga terjadi perubahan paradigma dari “Gereja di Indonesia” menuju “Gereja Indonesia”. [1] Di sini, praksis iman Gereja bukan lagi sesuatu yang dicangkokkan dari luar melainkan buah dari suatu pergumulan dalam konteks di mana Gereja berada. Dengan demikian, Gereja mampu menemukan jati dirinya sebagai murid-murid Tuhan dalam konteksnya masing-masing.
Bertolak dari cara pandang demikian, NP tersebut merupakan bentuk budaya belarasa terhadap pelbagai persoalan yang terjadi di tanah air. Sejalan dengan telaahan James Haire tentang teologi publik Asia, budaya belarasa ini menampilkan dua hal tentang praksis iman Gereja Indonesia, yaitu corak komunal di mana refleksi atas iman tidak dipahami demi tujuan pribadi tetapi dijuruskan kepada seluruh masyarakat dan juga ada saling keterkaitan yang erat antara yang pribadi, politik dan publik.
Dengan kata lain, Gereja Indonesia menekankan interaksi antara kesalehan pribadi dan keterlibatan publik.[2] Penekanan pada interaksi antara kesalehan pribadi dan keterlibatan publik ini sangat jelas dalam SAGKI 2010 di mana para peserta dalam sidang tersebut diajak untuk berkisah tentang Yesus Kristus dalam konteks Indonesia, yaitu mengenali wajah Yesus dalam dialog dengan budaya lain, agama dan kepercayaan lain, serta mengenali wajah Yesus dalam pergumulan hidup kaum marginal dan terabaikan.[3]
Mengenali wajah Yesus adalah model praksis iman yang mengindahkan keterlibatan. Keterlibatan di sini adalah suatu kerelaan untuk keluar dari kungkungan eksklusifisme menuju praksis hidup yang tanggap terhadap konteks sebagaimana Allah keluar dari diri-Nya untuk mendekati dan menyapa dunia. Hal ini sangat jelas dalam artikel satu Gadium et spes: “Kegembiraan dan harapan duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.”
[1] Bdk. Jhon Mansford Prior, Berdiri di Ambang Batas-Pergumulan Seputar Iman dan Budaya (Maumere: Ledalero, 2008), pp. 185-202. [2] James Haire, “Melampui Dunia Latin: Kemuridan Dan Kewargaan Dalam Teologi Publik Kekristenan Asia” dalam Jurnal Ledalero, Vol. 10. No. 2, Desember, 2011, p. 273. [3]Utusan, No. 12 Tahun ke-60, Desember 2010, pp. 28-29.