Darah Ata Janto

Oleh: Timotius J

Compang selalu berkisah tentang leluhur yang menyatu dengan semesta. Demi kehidupan, leluhur mencucurkan darah kurban dengan tangan gemetar sembari menggumankan syair tanpa akhir. Kini air mata kaum hawa akan kering untuk mengelap darah kaum adam yang menodainya.

Pencang, kampung tua yang mungkin akan menjadi kenangan semata. Persis di tengah-tengah kampung berdiri compang peninggalan leluhur yang sekarang menebarkan amis darah ke sudut-sudut kampung. Tak satu pun warga kampung tahu berapa usianya sebagaimana juga jejak-jejak kampung yang hilang ditelan angin musim. Hanya Lopo Negong, matanya tak pernah mengalami terang, sedikit bisa berkisah tetang Émpo Sikar yang dituntun babi landak dan akhirnya bermukim di sini.

Tak jauh dari compang, tumbuh pohon beringin raksasa. Warga kampung menjadi resah manakala terdengar madah burung gagak atau hantu menjelang senja. Apalagi kalau ada cabang, dahan atau ranting segar yang patah. Bagi mereka, hal itu pertanda maut siap menjemput siapa saja di kampung ini. Cabang yang patah mengabarkan orang dewasa akan meninggal, dahan untuk anak muda dan ranting untuk anak kecil. Akhir-akhir ini, cabang-cabangnya patah secara beruntun diterpa angin yang mengabarkan musim segera beralih.

Sebelum ayam-ayam meninggalkan sangkarnya, beberapa anak muda telah berjalan dari rumah ke rumah memanggil kaum adam berkumpul di rumah tu’a golo. Mereka juga mengingatkan dan melarang kaum hawa dan anak-anak berada di luar rumah sepanjang hari. Semua pintu dan jendela tidak boleh dibuka!

Matahari baru saja mengintip dari celah Poco. Langit jernih tanpa awan. Biasanya anak-anak muda dan laki-laki dewasa berkumpul di tengah kampung untuk menghangatkan badan di bawah mentari muda sambil berbagi mimpi. Namun, suasana kampung lengang. Bahkan, hari ini tiada kicauan burung kala fajar menjenguk kampung.

Tanpa menunggu sang istri menyuguhkan kopi pahit dan ubi rebus, Éma Ngaduh membuka pintu dan berjalan dengan gagah di tengah kesepian kampung. Ia bergegas menuju rumah tu’a golo di ujung kampung. Di sana, sudah berkumpul kaum adam dengan parang di pinggang. Sementara itu, pintu rumah tu’a golo tertutup rapat.

Lewat pintu belakang, Éma Ngaduh dan “orang-orangnya” masuk ke rumah tu’a golo dengan api berkobar-kobar di kepala. Seorang pria yang rambutnya memutih diikat di siri bongkok. Sedangkan, tu’a golo bersila tidak jauh dari siri bongkok. Tanpa kata, mereka mengambil tempat di samping tu’a golo.

Éma Ngaduh menatap dengan geramnya ke ata janto sembari berujar: “Dalam telanjang kautelah dilahirkan. Kini dengan telanjang pula kaumenebar maut di kampung ini!” Éma Ngaduh bersabar sebentar, mengharapkan tatapannya. Karena ata janto tetap menunduk, Éma Ngaduh kembali bersuara: “Banyak orang melihat kauberkeliaran malam-malam di tengah kampung tanpa busana. Ketika kami sibuk menguburkan Éma Pondik, beberapa anak kecil melihat kaumandi telanjang di mata air. Yah…, lebih baik kauberkumpul bersama anak dan istrimu yang telah kauhisap darahnya!”

Éma Randuh yang duduk di samping Éma Ngaduh menyambung: “Jangan berbohong, malam Jumat kemarin kaumengirim kucing hitam ke rumahku. Anak bungsuku tidak bisa bernafas.” Diam sebentar. Tak ada tanggapan. Ata janto hanya menengadah. Merasa belum puas, Éma Randuh merasa perlu menambah keterangannya: “Kami mengejarmu. Tapi kaubegitu cepat lari ke dalam rumpunan bambu di ujung kampung, lalu hilang.”

Ata janto tak menyela sedikitpun atas tuduhan mereka. Tu’a golo membisu, menunduk dan sesekali menatap tanpa rasa kepada pria malang itu dan orang-orang yang mengelilinginya. Tu’a golo telah menangkap desas-desus untuk menggantikan dirinya oleh Éma Ngaduh. Lalu, pada saat ini Éma Ngaduh telah membawa ke hadapannya seorang warga kampung yang dituduh sebagai ata janto. Tu’a golo tak tahu apa yang harus dikatakannya pada saat ini.

Kini seorang muda bersaksi: “Beberapa hari lalu, aku melihat kauberjalan di tengah ladang kami. Ketika aku mengumpulkan kayu api, tanpa sengaja aku menginjak ampas sirih pinang yang pasti berasal dari mulutmu. Sesampai di rumah, kakiku bengkak. Eh…, ternyata di dalamnya ada beling-beling. Untunglah, atas bantuan Amang Ngaduh, beling-beling itu bisa terangkat dari kakiku. Tapi, mau tidak mau aku mengorbankan kambing berbulu merah untuk ase kae-mu yang lapar.”

Tidak ada pembela. Tu’a golo, tidak berkutik. Kecuali tu’a golo, orang-orang di dalam rumah itu maju untuk menampar dan meludahi wajah ata janto. Ada juga yang menjambak rambutnya.

Menjelang Pkl 11.00, ata janto dilepaskan dari siri bongkok. Tangan dan kakinya diikat jadi satu. Mereka menanggalkan pakaiannya. Hanya sepotong kain menutup auratnya. Tiga anak muda berbadan liat menarik ata janto untuk diarak ke tengah kampung.

Di depan rumah almarhum Éma Pondik, iringan itu berhenti. Anak sulung almarhum angkat bicara: “Mengakulah kepada kami, kautelah memanterai ayah kami sehingga pergi sebelum waktunya!” Ata janto tetap tak membuka mulut. Seorang pemuda berteriak: “Anjing…, buka mulutmu!” sambil menendang punggungnya. Ata janto hanya melepaskan pandangan, mencoba beradu pandang dengan Éma Ngaduh. Tetapi, Éma Ngaduh melemparkan pandangannya ke tempat lain. Anak almarhum Éma Pondik bertubi-tubi menonjok perut ata janto hingga dirinya merasa cukup puas dan mengakhiri aksinya dengan berkata: “Baik, kalau memang kautidak mengaku, ayah kami pasti siap menjemputmu.”

Éma Ngaduh memerintahkan anak muda untuk melanjutkan perarakan. Luka dan memar bermunculan di tubuh ata janto. Darah segar membasahi jalan tanah yang gersang di tengah kampung, menyatu dengan debu. Sesampai di tengah kampung, dekat compang, ata janto meratap:

“Doing koé ga, doing koé o mosé dé!
O é mosé dokong lino ho.
Doing koé o mosé dé ….”

Ato janto menyanyikan lagu itu tiga kali. Lalu, berlirih:

“Yo…Amé Eta, Iné Wa, Jari agu Dédék
Néka koé lélo Lité sanggét wintuk toé nipu,
Oké oné waé laun agu léso salén
porong uwa haéng wulang isé , agu langkas haéng tala…”

Tampaknya, ata janto hendak melanjutkan kalimatnya. Namun, secepat kilat parang di tangan Éma Naduh memisahkan kepala dari badannya. Darah segar terpercik dan menodai compang.

Alam tampaknya berduka. Begitu cepat awan mengumpul di langit di atas kampung, bagaikan terpal raksasa. Angin sepoi berubah menjadi angin ribut bersamaan dengan hujan yang makin lebat. Dengan tergesa-gesa, mereka menguburkan Ata janto di antara compang dan pohon beringin.

Éma Ngaduh dan “orang-orangnya” mengurbankan seekor ayam sebagai ucapan terima kasih kepada leluhur yang telah menunjukkan jalan yang benar. Mereka juga memohon agar semua penyakit dan malapetaka terkubur bersama yang meninggal. Setelah semuanya beres, mereka membasuh tubuh mereka di waé téku. Mereka yakin, leluhur pasti berkenan membersihkan amis darah yang menodai tubuh mereka.

Sehari sesudah upacara saung ta’a untuk ata janto, Éma Ngaduh menjabat sebagai tu’a golo. Tetapi tak lama kemudian, Éma Ngaduh menyusul ata janto. Ia tewas dalam perang tanding merebut ladang peninggalan ata janto. Peristiwa ini juga terjadi tak jauh dari compang.

Leave a Comment